Buat masyarakat Arab di abad ketujuh masehi, tuhan itu memang ada, bahkan mereka menyebutnya : Allah. Wajar kalau Ka’bah mereka sebut sebagai baitullah alias rumah milik Allah. Padahal mereka masih jahiliyah belum kenal agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Wajar kalau mereka terbiasa menyebut lafadz : Bismikallahumma, karena mereka percaya bahwa Allah adalah tuhan yang melindungi mereka. Dalam kepercayaan mereka yang dari hasil ajaran nenek moyang, Allah SWT itu bukan hanya Maha Pencipta, bahkan juga Maha Pemberi rizki, bahkan juga Allah itu Maha Melindungi dan seterusnya. Secara konsep dasar kebertuhanan, orang-orang Arab di masa itu jelas bukan atheis yang anti tuhan. Mereka mengakui adanya tuhan, bahkan namanya pun jelas yaitu Allah.
Terus kenapa mereka menentang dakwah Nabi Muhammad SAW yang sama-sama mengajarkan ketuhanan Allah dan bawa pesan-pesan dari Allah? Bukankah mereka juga bertuhan dan tuhannya pun sama, yaitu Allah. Kenapa mereka menentang dakwah Nabi Muhammad SAW?
Nah itulah masalahnya. Buat logika mereka, Allah itu ghaib dan adanya di langit sana. Kalau pun Allah SWT ada keperluan atau ingin agar hamba-hamba-Nya menjalankan perintah-Nya, maka kenapa Allah SWT itu tidak bicara langsung saja kepada umat manusia? Bukankah Allah SWT bisa melakukannya?
Kenapa juga pakai acara mengutus manusia biasa sebagai utusan mewakili diri-Nya? Sebab kalau lewat manusia biasa, resikonya bisa saja banyak yang tidak percaya kalau dia utusan dari Allah. Orang Arab saat itu masih tidak bisa memahami konsep kenabian.
Dalam logika mereka, Tuhan yang menciptakan alam dan manusia, ketika ingin memerintahkan sesuatu kok tidak langsung saja tapi malah lewat utusan seorang manusia? Mana utusannya cuma seorang manusia biasa pula. Dia makan minum dan berjalan di pasar sebagaimana umumnya anak mansuia. Kok bisa-bisanya mengaku sebagai utusan Allah?
Buat logika bangsa Arab, konsep kenabian berupa sosok anak manusia itu sangat tidak masuk logika. Manusia itu sangat tidak representatif sekali untuk dijadikan sebagai utusan resmi dari Allah. Setidak-tidaknya yang jadi utusan itu malaikat dong. Kan lebih keren, ada makhluk dari luar angkasa melayang di langit atau turun dari langit dengan sayap-sayapnya, biar penampilannya lebih meyakinkan bahwa dia memang utusan dari Tuhan Pencipta alam. Kalau utusan resmi Allah kok beruwjud anak manusia biasa, mana ada yang percaya?
Dipikir-pikir, kayaknya logika yang dikemukakan bangsa Arab itu ada benarnya juga. Iya ya, kenapa yang jadi utusan resmi dari Allah SWT itu sesosok malaikat saja? Misalnya Malaikat Jibril yang sosoknya besar sekali memenuhi jagad dan menampakkan dirinya. Yakin lah semua bangsa Arab saat itu pasti langsung menyatakan beriman. Soalnya sang utusan memang benar-benar representatif sekali. Jibril menampakkan diri melayang di langit.
Begitu ada yang tidak beriman, langsung terkena sambaran petir dan mati gosong seketika itu juga. Yakin pasti semua langsung beriman. Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dan berbagai macam abu-abu yang lain langsung baca syahadat. Tapi kalau yang jadi utusan hanya seorang anak manusia biasa, mana penampakannya biasa-biasa saja, terus makan dan minum serta berjalan di pasar, sangat tidak meyakinkan kalau dia itu seorang utusan resmi dari Allah. Logika bangsa Arab kayak gitu bukan ngarang, tetapi demikian lah diceritakan di dalam ayat-ayat Al-Quran :
وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ ۙ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا
Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia? (QS. Al-Furqan : 7)
Logika bangsa Arab saat itu yang mempertanyakan konsep kenabian berupa manusia biasa memang logis dan masuk akal. Soalnya, sejak terakhir adanya Nabi Ibrahim dan puteranya Ismail alaihimassalam di tanah Arab kurang lebih 2000-an tahun sebelum masehi, tanah Arab nyaris tidak pernah kedatangan seorang nabi pun.
Dan kalau dirunut-runut lagi, Nabi Ibrahim sendiri bukan orang Arab asli. Beliau itu datang ke Mekkah sebagai pendatang yang bawa istri dan anak. Dan sebentar kemudian anak dan istrinya pun ditinggalkannya. Ibrahim balik lagi ke negeri tempat tinggalnya yaitu di Palestina. Dan kalau kita usut lagi, bahkan Nabi Ibrahim juga bukan asli bangsa Palestina. Konon ada yang berpendapat Beliau berasal dari peradaban Babilonia atau Mesopotamia, pokoknya bukan Arab.
Bangsa Arab sendiri sebenarnya membanggakan diri sebagai keturunan Nabi Ibrahim, lewat jalur anak pertama yang bernama Nabi Ismail. Sayangnya, sejak Nabi Ismail hingga 26 abad kemudian, tak satu pun nabi yang Allah utus kepada mereka. Maka wajar sekali kalau bangsa Arab agak kurang nyambung dengan konsep kenabian, dimana Tuhan yang amat sangat berkuasa itu tidak bicara langsung, tapi malah mengutus manusia biasa sebagai utusan.
Mereka tetap masih kenal sosok Ibrahim dan Ismail sebagai leluhur, namun mereka tidak paham bahwa kedua leluhur mereka itu adalah utusan resmi dari Allah. Mereka tahunya kedua orang itu tokoh besar yang legendaris. Taip kalau status mereka sebagai nabi utusan Allah, mereka rada nge-blank. Berbeda jauh dengan Bani Israil, yaitu anak cucu keturunan Nabi Ibrahim dari jalur putera kedua yaitu Ishak. Anaknya Ishak itu bernama Ya’qub, juga diangkat menjadi nabi utusan Allah mendapat wahyu samawi.
Lalu anaknya Ya’qub juga seorang nabi utusan Allah bernama Yusuf. Jadi mulai dari mbah buyut hingga anak cucu, semuanya pada jadi nabi. Bapaknya Nabi Yusuf itu NAbi Ya’qub, bapaknya Nabi Ya’qub adalah Nabi Ishak. Dan bapaknya Nabi Ishak adalah Nabi Ibrahim. Dari turun temurun keluarga yang rata-rata pada jadi nabi inilah kemudian kita mengenal istilah Bani Israil, yang artinya : anak-anaknya Israil. Lalu Israil itu siapa?
Israil itu nama lain dari Nabi Ya’qub, bapaknya Nabi Yusuf. Selain punya anak bernama Yusuf, juga punya beberapa anak lagi. Beliau memiliki empat orang istri, Pertama Liya : menurunkan tujuh orang anak, kedua Rahel : memberinya dua orang anak (Yusuf dan Bunyamin), ketiga Balha : memberinya dua orang anak, dan terkahir Zulfa : memberinya dua orang anak.
Sehingga, total anak-anak Nabi Ya’kub berjumlah 7+2+2+2= 13 anak. Namun yang terkenal adalah 12 orang. Karena ada perbedaan versi dari sumber sejarah. Nantinya dari anak-anak itu lahir banyak generasi berikutnya. Dan banyak sekali dari mereka yang berstatus nabi dan rasul. Termasuk nanti ada Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa dan Harun, Nabi Zakaria, Yahya dan Isa alaihimussalam. Mereka semua satu keturunan yaitu masih anak cucu keturunan Bani Israil.
Maka di dalam tradisi keluarga Bani Israil, konsep kenabian itu sangat mereka pahami. Sebab nenek moyang dan leluhur mereka bertabur dengan para nabi dan rasul. Dan yang namanya nabi dan rasul itu selalunya berwujud manusia biasa, bukan malaikat atau pun mahluk halus yang lain. Bagi mereka, seroang nabi atau rasul kok memakan makanan dan berjalan di pasar, no big deal. Itu sesuai dengan penjelasan ayat Al-Quran berikut ini :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?, dan adalah Tuhanmu maha Melihat. (QS. Al-Furqan : 20)
Tapi bagi bangsa Arab, konsep kenabian berwujud anak manusia justru jadi masalah besar sekali. Setidaknya Nabi Muhammad SAW butuh waktu bertahun-tahun harus meyakinkan bangsa Arab bahwa dirinya memang seorang utusan Allah.
Setidaknya 23 tahun waktu yang Beliau SAW butuhkan, agar akhirnya bangsa Arab pada meyakini kenabiannya. As-Suyuthi mencatat bahwa orang yang menyatakan diri masuk Islam di masa kenabian dan sempat bertemu langsung face to face dengan Beliau langsung berjumlah tidak kurang dari 124 ribu orang.
Mereka digelari sebagai shahabat nabi ridwanullahi alaihim. Mereka adalah generasi pertama dari bangsa Arab yang menerima konsep kenabian. Dan mereka juga percaya bahwa sebelumnya sudah ada banyak nabi-nabi yang lain.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. (QS. Al-Ahqaf : 9)
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (QS. Ali Imran : 144)