Membicarakan pensyariatan dan hukum sholat witir termasuk salah satu bentuk ibadah karena hal tersebut bagian dari tholabul ilmi, akan tetapi dari sisi informasi tidak lebih dari sekedar pengulangan ilmu semata. Akan tetapi masih tetap memandang bahwa sebagian kita juga ada yang masih memerlukan pelajaran tentang sholat witir ini.
Pensyariatan adalah landasan syar’i tentang disyari’atkannya sholat witir. Dan landasan banyak bisa kita jumpai dalam hadits-hadits Nabi. Ada yang memerintahkan sholat witir kepada Ahlul Qur’an, ada yang memberikan ancaman kepada mereka yang meninggalkan sholat witir, ada yang menjanjikan cinta Allah kepada mereka yang melaksanakan witir, dan beragam hadits-hadits yang lain dengan jumlah yang cukup banyak.
Namun landasan yang paling kuat adalah ijma para ulama bahwa witir memang merupakan sholat yang disyariatkan. Hukum sholat witir dalam pandangan jumhur ulama ini yang dimaksud adalah witir dalam amal umat Muhammad SAW. Sebab dalam syariat khusus pribadi Nabi, witir memiliki hukumnya sendiri.
Menurut pandangan banyak ulama, witir tidaklah dihukumi sebagai sunnah. Bagi seorang Nabi dan Rasul, witir adalah sebuah kewajiban yang mau tidak mau harus dikerjakan. Dalam kajian ushul fiqih, syariat semacam ini disebut sebagai bagian khususiyah bagi Nabi SAW. Yaitu syariat yang sifatnya memang hanya berlaku khusus untuk nabi, bukan untuk umatnya. Ada banyak contoh yang bisa disebutkan untuk syariat seperti ini. Sholat witir hanya salah satu di antara yang banyak itu. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW bersabda
ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ : الْوِتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلاَةُ الضُّحَى
Ada tiga hal yang bagiku hukumnya fardhu namun bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu : sholat witir, menyembelih dan sholat Dhuha. (HR. Ahmad)
Dalam pandangan jumhur ulama, sholat witir dihukumi sebagai sebuah ibadah sunnah untuk umat islam. Meski ada sekian perintah dalam hadits, ada ancaman bagi yang meninggalkannya, ada sekian keutamaan yang ditawarkan, hadits-hadits semua tentang itu belum cukup untuk melandasi bahwa sholat witir adalah sebuah kewajiban.
Kalau yang dibahas adalah betapa pentingnya sholat witir ditunaikan, maka kita semua tentunya sepakat bahwa sholat witir jelas sangat amat penting. Akan tetapi yang menjadi fokus dan objek bahasan kita adalah tantang hukum. Dan dengan seabreg hadits-hadits itu, ternyata jumhur tetap menetapkan tidak ada kewajiban untuk melaksanakan sholat witir.
Tentu jumhur ulama tidak asal begitu saja menyimpulkan hukum tidak wajib. Ada sekian landasan dalil yang mereka temukan. Hadits ibnu Umar yang telah berlalu tentang sholat witir Rasulullah di atas onta. Padahal ibnu Umar mengatakan bahwa beliau selalu turun atau tidak pernah sholat fardhu di atas kendaraan.
Hadits tentang kewajiban sholat lima waktu dan tidak ada lagi sholat wajib selain itu kecuali jika mau sholat sunnah. Dan tentu saja sholat witir bukan termasuk yang lima. Dan juga hadits tentang khususiyah Nabi diatas adalah kewajiban sholat witir itu atas dirinya
Sedangkan dalam pandangan Imam Abu Hanifah sholat witir dihukumi sebagai sholat wajib. Walaupun hukum wajib dalam madzhab beliau memang berbeda dengan hukum fardhu. Pandangan ini bukan saja berbeda dengan jumhur atau mayoritas ulama. Bahkan kedua muridnya pun, ternyata juga tidak sepakat dengan beliau. Meskipun berbeda dengan jumhur, akan tetapi argumentasi beliau tentu saja harus kita pertimbangkan dan hormati.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya sholat witir menurut beliau adalah hadits yang mengancam mereka yang tidak malaksanakan sholat witir. Rasulullah SAW bersabda,
الْوِتْرُ حَقٌّ، فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا كَرَّرَ ثَلاَثًا
Sholat witir itu haq (wajib). Dan siapa yang tidak sholat witir, maka tidak termasuk golongan Kami (mengatakan tiga kali) (HR. Abu Dhawud)
Selain hadits ini, ada juga hadits-hadits lain yang secara jelas memerintahkan sholat witir. Dan kaidah dalam ushul fiqih menyatakan, “redaksi perintah mengkonsekuensikan kewajiban”. Apalagi jumlah hadits yang memerintahkan tidak bisa kita katakan sedikit jumlahnya.
Hanya saja kalau kita baca dalam kitab-kitab hanafiyah, memang riwayat dari imam Abu Hanifah cukup beragam. Ada yang meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah menyatakan witir itu sunnah, ada yang meriwayatkan wajib, dan ada yang meriwayatkan fardhu.
Namun dalam penafsiran para ulama hanafiyah, riwayat yang cukup beragam itu tidaklah dianggap sebagai pandangan yang kontradiktif. Untuk memahami perbedaan tersebut, Imam Ibnul Humam menjelaskan dalam kitabnya bahwa yang dimaksud sunnah dalam sebuah riwayat adalah bahwa kewajiban witir ditetapkan oleh sunnah, dan yang dimaksud fardhu adalah bahwa kewajiban witir itu fardhu ‘amali dan fardhu ‘amali adalah wajib.