Akad salam adalah salah satu bentuk akad dalam fiqih muamalah. Salam yang dimaksud disini bukan salam yang artinya perdamaian atau memberi salam. Salam yang dimaksud dalam pembahasan ini terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan bukan berarti perdamaian.
Dari kata salam inilah istilah Islam punya akar yang salah satu maknanya adalah berserah diri. Sedangkan kata salam yang bermakna perdamaian terdiri dari 4 huruf, sin-lam-alif-mim (سلام). Istilah salam (سلم) sering juga disebut juga dengan salaf (سلف). Di kebanyakan hadits nabawi, istilah yang nampaknya lebih banyak digunakan adalah salaf. Namun dalam kitab fiqih, lebih sering digunakan salam.
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i’tha’ (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats-tsauba lil al-khayyath bermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit. Sedangkan secara istilah syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi
بَيْعٌ مَوْصُوْفٍ فِي الذِّمَّةِ بِبَدْلٍ يُعْطَى عَاجِلًا
Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Dengan bahasa yang mudah, akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutang bukan uang pembayarannya, melainkan barangnya. Sedangkan uang pembayarannya justru diserahkan tunai. Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit. Kalau jual-beli kredit, barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salaf, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya belum diserahkan dan menjadi hutang.
Akad salam bukanlah uang muka. Biasanya sebelum sebuah transaksi jual-beli terjadi, ada semacam kesepakatan awal antara penjual dan pembeli, dengan ditandai dengan semacam uang muka sebagai jaminan. Dibandingkan dengan uang muka atau uang jaminan, akad salam berbeda kedudukannya dalam beberapa hal. Di dalam akad salam, jual-beli sudah resmi terjadi dan sudah sah. Yang belum dilakukan hanya tinggal serah terima barang yang diperjual-belikan.
Sedangkan dalam masalah uang jaminan, jual-beli belum selesai dan masih dalam proses. Hal itu ditandai bahwa uang muka bisa saja menjadi ‘hangus’, bila pembeli tidak segera melunasi uangnya sesuai dengan waktu jatuh tempo. Maka akad salam ini berbeda dengan uang muka atau uang jaminan.
Akad salam juga tidak sama dengan jual-beli sistem ijon yang sering terjadi antara petani dan tengkulak. Contohnya seorang petani sudah ‘menjual’ apa yang bakalan menjadi hasil panennya kepada tengkulak, padahal belum lagi masa panen. Tanamannya itu belum berbuah, kalau pun ada, masih berupa pentil buah. Bahkan kadang jual-beli ijon sudah dilakukan sejak sebelum dia menanam.
Sistem ijon yang mereka lakukan itu adalah jual-beli haram, karena termasuk jual-beli yang mengandung unsur jahalah atau ketidak-jelasan barang yang diperjual-belikan. Tentu saja barang yang dijual tidak jelas, sebab masih mentah di pohon, bahkan belum lagi ditanam.
Sedangkan akad jual-beli salam berbeda dengan sistem ijon yang haram itu. Yang membedakannya bahwa dalam akad salam ini, hasil panen yang dijual harus ditetapkan spesifikasinya sejak akad disepakati secara tepat, baik jenisnya kualitas, kuantitas dan lainnya dan tidak boleh digantungkan pada semata-mata hasil panen.
Sehingga apabila hasil panennya tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati, hutangnya dianggap tetap belum terbayar. Petani itu wajib membayar dengan hasil panen yang sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati, bagaimana pun caranya termasuk dengan membeli dari petani lain.
Sedangkan sistem ijon itu haram, karena barang yang dijual semata-mata apa adanya dari hasil panen. Bila hasil panennya jelek atau tidak sesuai harapan, maka yang membeli hasil panen itu rugi. Sebaliknya, bila hasilnya bagus, maka boleh jadi petaninya yang rugi, karena harga jualnya jauh lebih rendah dari harga pasar yang berlaku saat itu.
Akad salam juga bukanlah menjual barang milik orang lain. Menjual barang tertentu yang belum menjadi milik kita hukumnya haram. Alasannya lantaran tidak ada jaminan bagi si penjual untuk bisa mendapatkan barang itu untuk diserahkan kepada pembelinya. Misalnya, Ahmad menjual mobil milik Budi kepada Eko. Padahal Ahmad dan Budi tidak punya kesepakatan apa-apa tentang jual-beli mobil. Maka Ahmad tidak bisa main jual barang milik Budi begitu saja kepada Eko. Hal itu karena sama sekali tidak bisa memastikan apakah Budi mau menjual mobilnya ke Ahmad untuk dijual lagi ke Eko. Maka akad ini adalah akad haram.
Dalam akad salam, barang yang diperjual-belikan bukan barang yang spesifik dimiliki oleh seseorang, melainkan barang yang bisa dibeli dari siapa saja yang memilikinya dan memang tersedia dalam jumlah yang banyak. Dalam hal ini Ahmad bukan menjual mobil milik Budi, melainkan menjual mobil dengan spesifikasi tertentu, dimana Ahmad bisa dengan mudah mendapatkannya dari banyak sumber, tidak harus milik Budi.
Contoh lain A menjual secara salam berupa seekor sapi kepada B. A dan B sepakat bahwa spesifikasi sapi itu misalnya sapi jenis tertentu, betina, usia 3 tahun, berat badan sekian dan seterusnya. Akad itu menjadi haram kalau sapi yang dimaksud adalah harus sapi milik C yang tertentu yaitu yang bernama Paijo, padahal C belum tentu menjualnya kepada A.
Tapi akad itu menjadi halal dalam salam, karena sapinya tidak harus si Paijo milik C, bisa sapi yang bernama siapa saja asalkan kriterianya tepat sesuai dengan yang disepakati. Dan tentunya sapi seperti itu tersedia dimana-mana asalkan ada uangnya.
Akad salam ditetapkan kebolehannya di dalam Al-Quran,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكۡتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS. Al-Baqarah : 282)
Sedangkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah, dalil dengan salam ini disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas RA.
عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةُ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِالثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ. متّفق عليه
Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa melakukan akad salam pada kurma untk satu dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,”Siapa yang melakukan akad salam pada kurma, maka lakukan dengan timbangan yang ditentukan dan dalam jangka waktu yang ditentukan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى وَعَبْدِ اللّٰهَ بْنِ أَبِيْ أَوْفَى َضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَا: كُنَّا نَصِيْبُ الْمَغَانِمَ مَعَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ يَأْتٍبْنَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ الشَّامِ فَنُسْلِفُهُمْ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَعِيْرِ وَالزَّبِيْبِ. وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيْلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ؟ قَالَا: مَاكُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan,”Kami biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami bertransaksi secara akad salam dengan mereka dengan gandum, jelai -dalam riwayat lain : lemak- dan kismis, dengan jangka waktu tertentu”. Ketika ditanyakan kepada kami,”Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat ini,”Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim)
قال ابن عباس : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحل اللّٰه في كتابه وأذن فيه ثم قرأ هذه الأية
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi’i dalam musnadnya)
Secara umum memang ada larangan jual-beli ketika barangnya belum ada, seperti yang disebutkan dalam hadits
لا تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)
Namun akad salam merupakan pengecualian yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebut di dalam hadits-hadits di atas. Ibnu Al-Munzir dalam Ibnu Qudamah Al-Mughni menyebutkan bahwa semua orang yang kami kenal sebagai ahli ilmu telah bersepakat bahwa akad salam itu merupakan akad yang dibolehkan.
Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad salam. Dengan menggunakan akad salam yang memang hukumnya halal, ada keuntungan yang bisa diraih oleh pihak pembeli.
Beberapa di antara keuntungan itu misalnya Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan. Keuntungan seperti ini bisa terjadi dalam kasus tertentu, seperti pada saat barang akan menjadi langka dan sulit didapat, tetapi saat itu justru dibutuhkan orang.
Maka pembeli yang sudah melakukan akad jual-beli secara salam tentu tidak perlu repot mencari barang yang langka itu. Sebab dia pada dasarnya sudah membeli dan sudah memiliki barang itu, karena transaksi sudah selesai. Tinggal menunggu pengiriman saja.
Contoh yang paling sederhana adalah membeli tiket kereta api atau pesawat beberapa bulan sebelum musim mudik. Tiket sudah dibayar penuh dan uangnya sudah lunas. Sedangkan barang atau jasanya belum kita nikmati. Maka pada saat musim mudik tiba, ketika orang kelimpungan mencari tiket, kita tinggal santai saja.
Keuntungan kedua dengan menggunakan akad salam ini adalah kita tidak akan jadi korban permainan harga. Biasanya hukum pasar yang berlaku adalah ketika barang langka, maka harga cenderung akan naik. Ketika demand tinggi sementara suplay tidak bisa memenuhi, harga akan melambung.
Harga tiket akan naik beberapa kali lipat, baik resmi atau tidak resmi, di musim liburan (high season). Tetapi mereka yang sudah beli tiket jauh-jauh hari, tentu tidak perlu membayar lebih. Tiket yang mereka punya harganya pasti jauh lebih murah.
Sedangkan di pihak penjual, akad salam ini pada momen tertentu juga bisa menjadi pilihan yang menguntungkan. Dengan sistem akad salam, pihak penjual bisa dapat uang segar tanpa harus segera menyerahkan barang. Seolah-olah penjual mendapatkan modal gratisan untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun. Selain mendapat modal, pihak penjual juga memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Rukun jual-beli secara salam ada tiga sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Badai’ Ashna’i dan Kitab Al-Muhadzdzab jilid 3, pertama adalah shigat. Shighat itu adalah ijab dan qabul, dimana penjual mengicpakan lafadz ijab kepada pembeli, seperti aslamtuka (aku jual secara salam) atau aslaftuka (aku jual secara salaf), atau dengan kata-kata lain yang menjadi musytaq dari keduanya. Misalnya lafadz : A’thaituka salaman (aku serahkan kepadamu secara salam). Sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak yang membeli secara salam, seperti ucapan : qabiltu (saya terima), atau radhitu (saya rela), atau sejenisnya yang punya makna persetujuan.
Rukun yang kedua harus ada kedua belah pihak. Yang dimaksud dengan kedua-belah pihak adalah keberadan penjual dan pembeli yang melakukan akad salam. Penjual sering disebut dengan musallim (مسلم), sedangkan pembeli sering disebut musallam ilaihi (مسلم إليه). Tanpa keberadaan keduanya, maka salah satu rukun salam tidak terpenuhi, sehingga akad itu menjadi tidak sah. Pada masing-masing harus terdapat syarat, yaitu syarat ahliyah atau syarat wilayah.
Syarat ahliyah maksudnya mereka masing-masing itu adalah pemilik orang yang beragama Islam, aqil, baligh, rasyid. Rasyid sering diartikan sebagai orang yang tidak tidak gila, bodoh, budak, idiot, mabuk, ayan, dipaksa dan seterusnya. Sedangkan syarat wilayah, maksudnya masing-masing menjadi wali yang mewakili pemilik aslinya dari uang atau barang, dengan penujukan yang sah dan berkekuatan hukum sama.
Yang ketiga adalah uang dan barang. Uang sering disebut juga dengan ra’sul maal (رأس المال), sedangkan barang disebut dengan musallam fiihi (مسلم فيه). Akad salam memastikan adanya harta yang dipertukarkan, yaitu uang sebagai alat pembayaran dan barang sebagai benda yang diperjual-belikan.
Uang yang dijadikan alat pembayaran dalam akad salam diharuskan memenuhi beberapa kriteria, diantaranya uangnya harus disebutkan dengan jelas nilainya atau kursnya. Kalau di zaman dahulu, harus dijelaskan apakah berbentuk koin emas atau perak.
Pembayaran uang pada akad salam harus dilakukan secara tunai atau kontan pada majelis akad salam itu juga, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda. Bila pembayarannya ditunda (dihutang) misalnya setahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَىَ عَنٔ بَيْعِ الْكَالِئ بِالكَالِئ
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW melarang jual-beli piutang dengan piutang. (HR Ad-Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy).
Ibnul Qayyim berkata: Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan salam, karena adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang yang haram hukumnya.
Ada beberapa syarat akad salam pada barang, diantaranya barang yang dijual bukan Ain-nya tapi spesifikasinya. Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi tertentu. Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru dua bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo dua bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan. Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.
Syarata kedua ialah barang harus jelas spesifikasinya. Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَىَ عَنٔ بَيْعِ الْغَرَرِ
Nabi SAW melarang jual-beli untung-untungan. (HR Muslim)
Syarat yang ketiga barang tidak diserahkan saat akad. Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ. متّفق عليه
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.
Syarat keempat akad salam adanya batas minimal penyerahan barang. Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu. Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya satu hari. Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah dua atau tiga hari sejak akad dilakukan. Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.
Yang kelima harus jelas waktunya penyerahannya harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. إلى أجل مسمى Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama. Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.
Yang keenam bisa diserahkan pada saatnya. Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari’at Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: “Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga”, maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَى
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan. (HR. Ahmad)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
Kemudian syarat yang ketujuh harus jelas tempat penyerahannya. Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha dikarenakan suatu hal tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.