Salah satu faktor yang paling menentukan dalam urusan boleh tidaknya suatu pernikahan terjadi adalah status wanita yang menjadi pengantin. Bila wanita itu termasuk yang haram untuk dinikahi, maka hukum pernikahan itu haram. Dan sebaliknya, bila wanita itu termasuk yang halal untuk dinikahi, maka hukumnya halal.
Kita dapat membagi klasifikasi tentang wanita yang haram dinikahi berdasarkan hubungan kemahramam, agama dan juga mantan pezina. Para ulama membagi wanita yang merupakan mahram menjadi dua klasifikasi besar, mahram yang bersifat abadi (ู ูุคูุจููุฏ) dan mahram yang tidak abadi (ุบูููุฑู ู ูุคูุจููุฏ) alias sementara.
Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya, yaitu karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan (perbesanan) dan karena hubungan akibat persusuan.
Tidak semua penyusuan secara otomatis mengakibatkan kemahraman. Ada beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini. Seandainya yang diminum bukan air susu manusia, seperti air susu hewan atau susu formula, maka tidak akan menimbulkan kemahraman.
Demikian juga bila air susu itu di dapat dari seorang laki-laki, atau wanita yang belum memungkinkan untuk punya anak, misalnya wanita yang belum baligh, maka para ulama sepakat penyusuan seperti itu tidak akan menimbulkan kemahraman.
Selain itu, untuk bisa dikatakan mahram, air susu harus mengalir sampai perut. Yang menjadi ukuran sebenarnya bukan bayi menghisap puting, melainkan bayi meminum air susu. Sehingga bila disusui namun tidak keluar air susunya, tidak termasuk ke dalam kategori penyusuan yang menimbulkan kemahraman.
Sebaliknya, meski tidak melakukan penghisapan lewat puting susu, namun air susu ibu dimasukkan ke dalam botol dan dihisap oleh bayi atau diminumkan sehingga air susu ibu itu masuk ke dalam perut bayi, maka hal itu sudah termasuk penyusuan. Namun harus dipastikan bahwa air susu itu benar-benar masuk ke dalam perut, bukan hanya sampai di mulut, atau di lubang hidung atau lubang kuping namun tidak masuk ke perut
Para ulama sepakat bahwa bila seorang bayi menyusu pada wanita yang sama sebanyak lima kali, meski tidak berturut-turut, maka penyusuan itu telah menimbulkan akibat kemahraman. Kalau baru sekali atau dua kali penyusuan saja, tentu belum mengakibatkan kemahraman. Ketentuan ini didasari oleh hadits yang diriwayatkan ibunda mukminin Aisyah radhiyallahuanha
ููุงูู ูููู ูุง ุฃูููุฒูู ู ููู ุงููููุฑูุขูู ( ุนูุดูุฑู ุฑูุถูุนูุงุชู ู ูุนููููู ูุงุชู ููุญูุฑููู ููู ) ุซูู ูู ููุณูุฎููู ุจูุฎูู ูุณู ู ูุนููููู ูุงุชู ููุชูููููููู ุฑูุณููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู ู ููููููู ูููู ูุง ููููุฑูุฃู ู ููู ุงููููุฑูุขูู
Dahulu ada ayat yang diturunkan dengan lafadz :Sepuluh kali penyusuan telah mengharamkan. Kemudian ayat itu dihapus dan diganti dengan 5 kali penyusuan. Dan Rasulullah SAW wafat dalam keadaan para wanita menyusui seperti itu. (HR. Muslim)
Namun ada pendapat dari mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah bahwa satu kali penyusuan yang sempurna telah mengakibatkan kemahraman. Mereka mendasarinya dengan kemutlakan dalil yang sifatnya umum, dimana tidak disebutkan keharusan untuk melakukannya minimal lima kali
ููุฃูู ููููุงุชูููู ู ุงููุงููุชูู ุฃูุฑูุถูุนูููููู ู
Dan ibu-ibu yang telah menyusui dirimu (QS. An-Nisa : 23)
Hitungan satu kali penyusuan bukanlah berapa kali bayi mengisap atau menyedot air susu, namun yang dijadikan hitungan untuk satu kali penyusuan adalah bayi menyusu hingga kenyang. Biasanya kenyangnya bayi ditandai dengan tidur pulas. Ada pun bila bayi melepas puting sebentar lalu menghisapnya lagi, tidak dianggap dua kali penyusuan, tetapi dihitung satu kali saja. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW
ุงูุฑููุถูุงุนูุฉู ู ููู ุงููู ูุฌูุงุนูุฉู
Penyusuan itu karena lapar (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu hanya bayi yang belum berusia dua tahun saja yang menimbulkan kemahraman. Sedangkan bila bayi yang menyusu itu sudah lewat usia dua tahun, maka tidak menimbulkan kemahraman.
ููุงููููุงููุฏูุงุชู ููุฑูุถูุนููู ุฃููููุงูุฏูููููู ุญููููููููู ููุงู ููููููู ููู ููู ุฃูุฑูุงุฏู ุฃููู ููุชูู ูู ุงูุฑููุถูุงุนูุฉู
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. Al-Baqarah : 233
ูุงู ุฑูุถูุงุนู ุฅููุงูู ู ูุง ููุงูู ููู ุงููุญููููููููู
Tidak ada penyusuan (yang mengakibatkan kemahraman) kecuali di bawah usia dua tahun. (HR. Ad-Daruquthny)
Dengan dalil-dalil di atas, maka dalam kasus seorang suami menelan air susu istrinya, maka hal itu tidak akan menimbulkan kemahraman di antara mereka. Sebab semua syarat penyusuan yang menimbulkan kemahraman tidak terpenuhi
Suami bukan bayi karena usianya sudah lebih dari 2 tahun. Suami tidak akan kenyang perutnya dengan menelan air susu istrinya. Kalau pun dia meminumnya dengan jumlah yang banyak, bukan kenyang tapi malah muntah.
Bila seorang bayi laki-laki menyusu kepada seorang wanita selain ibunya, sebagaimana sudah lazim kita pahami, maka wanita itu akan berstatus mahram alias haram menikah dengan bayi itu. Selain wanita yang langsung menyusuinya, kemahraman juga terjadi secara otomatis dengan beberapa wanita lainnya yang masih ada hubungan nasab, atau mushaharah atau pun dengan sesama bayi lain yang menyusu kepada wanita itu.
Maka kalau kita daftarkan semuanya, kita bisa menemukan para wanita yang menjadi mahram karena sebab penyusuan. Pertama, wanita yang menyusui, wanita yang secara langsung menyusui bayi orang lain secara otomatis menjadi mahram terhadap bayi tersebut. Jumlah wanita yang menyusui tidak harus hanya satu orang saja, tetapi dimungkin ada beberapa orang. Contohnya adalah Rasulullah SAW, beliau pernah disusui oleh setidaknya dua wanita, yaitu Tsuwaibah Al-Aslamiyah budak Abu Lahab dan juga Halimah As-Sa’diyah.
Kedua, anak wanita dari wanita yang menyusui. Bila wanita yang menyusui itu punya anak perempuan, maka anak perempuan itu otomatis menjadi saudari sesusuan dengan bayi itu, sehingga hubungan mereka menjadi mahram selama-lamanya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW punya saudari perempuan sesusuan, yaitu puteri dari Halimah As-Sa’diyah, yang bernama Syaima’.
Ketiga, saudari wanita dari wanita yang menyusui. Demikian juga bila wanita yang menyusui bayi itu punya saudari perempuan, baik sebagai kakak ataupun adik, maka dia pun ikut jadi mahram juga. Keempat, Ibu dari wanita yang menyusui. Meski tidak menyusui langsung bayi itu, tetapi ibu dari wanita yang menyusui juga berstatus mahram kepada bayi itu.
Kelima, ibu dari suami wanita yang menyusui Dan kemahraman ini juga menjalar kepada kerabat suami dari wanita yang menyusui, yaitu ibunya suami serta saudarinya. Cukup menarik untuk diperhatikan, bahwa kemahraman ini juga menjalar ke pihak keluarga suami. Ibu dari suami wanita yang menyusui bayi itu pun ikut jadi mahram juga kepada si bayi.
Keenam, saudari dari suami wanita yang menyusui Demikian juga dengan saudari wanita dari suami yang istrinya menyusui bayi itu, ikut juga menjadi mahram atas si bayi. Ketujuh, bayi wanita yang menyusu pada wanita yang sama Bila ada dua bayi disusui oleh satu orang wanita yang sama, maka kedua bayi itu menjadi saudara sesusuan. Bila bayi pertama laki-laki dan bayi kedua perempuan, maka hubungan keduanya menjadi mahram, alias haram terjadi pernikahan untuk selama-lamanya.
amun hubungan saudara sesusuan ini hanya berdampak dalam masalah kemahraman saja, dan tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap masalah waris. Maksudnya, saudara sesusuan bukan termasuk ahli waris, sehingga tidak akan terjadi hubungan saling mewarisi antara bayi tersebut dengan orang-orang yang sudah disebutkan di atas.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, diantaranya kebolehan berkhalwat (berduaan), kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya, kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.