Sejak kecil kita diajarkan bahwa tidak mengapa menyentuh mushaf meski tanpa berwudhu’. Tetapi ketika besar kita tahu bahwa menurut jumhur ulama hukumnya memang tidak boleh. Yang membolehkan cuma pendapat satu ulama saja, sedangkan semua ulama yang lain sepakat mengharuskan dengan wudhu’.
Ketika kita membuka khazanah fiqih klasik, langsung ke kitab-kitab turats para fuqaha asli, kita akan menemukan beberapa fakta yang akan membuat kita agak terheran-heran. Hal itu karena kita jarang membuka kitab-kitab yang amat mulia itu, yang jelas memang banyak sekali praktek fiqih kita dihari ini yang cuma sekedar ikut-ikutan dari sumber yang kurang jelas. Mungkin cuma sekedar penjelasan sekilas dari penceramah tertentu yang bukan pakar ilmu fiqih.
Akibatnya kita sering kesulitan kalau membahas detail fiqih. Dan begitu ketemu dengan rujukan fiqih aslinya, malah jadi terheran-heran tidak percaya. Tetapi mau bagaimana lagi, pihak yang paling berkompeten bicara masalah detail fiqih tidak lain dan tidak bukan adalah para ulama fiqih, yaitu para fuqaha dari empat mazhab dengan segala kemampuan mereka dalam melakukan tahqiq atas kesimpulan hukum tiap mazhab.
baca : Al-Qur’an Terjamin Keasliannya
Sudah seharusnya kita merujuk ke kitab-kitab turats yang asli, dimana para penyusunnya memang para fuqaha nomor wahid dan diakui oleh umat Islam sepanjang 15 abad ini. Kita tidak perlu lagi merujuk hukum syariah kepada mereka yang berprofesi sebagai ‘tukang ceramah’ atau ‘motivator lokal dan abal-abal’. Tipe tokoh macam itu hari ini sering naik panggung dakwah, mengaku-ngaku sebagai ahli agama, tetapi ilmu syariahnya nol besar.
Kemampuannya hanya hafal dua tiga potong ayat dan satu dua terjemahan hadits, ditambah hasil download dari google yang entah sumbernya dari mana. Lalu tiba-tiba merasa dirinya sudah menjadi ulama paling pandai sejagat, merasa berhak untuk bikin-bikin fatwa seenaknya, padahal tidak jelas asal usulnya.
Lucunya, ketika pendapatnya itu bertentangan dengan jumhur ulama, tiba-tiba dia merasa bahwa jumhur ulama itu sekedar sekumpulan kerbau tolol yang dianggapnya tidak mengerti hadits Nabi. Dia merasa hanya dirinya saja yang paham ilmu musthalah hadits, yang lain hanya sekumpulan orang-orang goblok yang perkataannya harus dibuang. Jumhur ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al-Qur’an bila seseorang dalam keadaan hadats kecil atau dalam kata lain bila tidak punya wudhu’.
baca : Akhlaq Imam An-Nawawi Terhadap Pencuri
Golongan ulama dari mazhab Al-Hanafiyah umumnya berpendapat bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci. Di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ yang ditulis oleh Al-Kasani (w. 587 H) ulama mazhab Al-Hanafiyah
فللحدث أحكام وهي أن لا يجوز للمحدث أداء الصلاة لفقد شرط جوازها، وهو الوضوء قال – صلى الله عليه وسلم – «لا صلاة إلا بوضوء» ، ولا مس المصحف من غير غلاف عندنا
Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hadats kecil yaitu tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil melakukan shalat karena ketiadaan syarat bolehnya, yaitu wudhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “tidak sah shalat kecuali dengan wudhu”, dan tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an tanpa tempatnya dalam mazhab kami.
Al-Marghinani (w. 593 H) juga ulama dari golongan mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayah Al-Mubtadi juga menyebutkan hal serupa:
وكذا المحدث لا يمس المصحف إلا بغلافه
Begitu juga orang yang berhadats kecil tidak boleh menyentuh mushaf kecuali dengan tempatnya.
baca : Kisah Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Tukang Roti
Para ulama mazhab Al-Malikiyah juga mempunyai pandangan tidak boleh orang yang berhadats menyentuh mushaf Al-Qur’an secara sengaja, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut :
وأما المصحف فلا يمسه أحد قاصدا إليه مباشرا له أو غير مباشر إلا وهو على طهارة
Mushaf tidak boleh disentuh oleh siapa pun dengan sengaja baik secara langsung atau pun tidak kecuali dalam keadaan suci.
Salah satu ulama yang juga dari kalangan malikiyah Imam Ar Ru’iyni (w. 954 H) dalam kitabnya Mawahib Al Jalil Fi Syarhi Mukhtashar Khalil menyebutkan:
يعني أن المحدث يمنع من مس المصحف هذا مذهب الجمهور
Maksudnya adalah orang yang berhadats dilarang menyentuh mushaf Al-Qur’an, dan ini adalah Mazhab jumhur.
baca : Kisah Ketawadhu’an Imam asy-Syafi’i Terhadap Muridnya
Para ulama mazhab Asy-Syafi’iyah juga berpendangan sama, yaitu bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats menyentuh mushaf Al-Qur’an. Imam An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq besar dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Raudlatu At-Thalibin wa ‘Umdatu Al-Muftiyyin menuliskan sebagai berikut :
يحرم على المحدث جميع أنواع الصلاة، والسجود، والطواف، ومس المصحف
Haram bagi orang yang berhadats melakukan semua jenis shalat, sujud, thawaf dan menyentuh mushaf.
Dan juga Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Al-Minhaj Al-Qawim menuliskan sebagai berikut :
ويحرم بالحدث الصلاة إجماعا ونحوها كسجدة تلاوة وشكر وخطبة جمعة وصلاة جنازة. والطواف, ولو نفلا لأنه صلاة كما في الحديث ،وحمل المصحف ومس ورقه وحواشيه وجلده المتصل به
Haram ketika sedang berhadats melakukan shalat secara ijma’ dan hal yang sejenisnya seperti sujud tilawah, sujud syukur, khutbah jum’at, shalat jenazah, thawaf sekalipun sunnah seperti terdapat dalam hadits, dan membawa mushaf, menyentuh kertasnya, hasyiyahnya serta covernya yang menyatu.
baca : Al-Qur’an Memerintahkan Bunuh Semua Orang Kafir?
Para ulama mazhab Al-Hanabilah juga ternyata berpendapat sama seperti tiga mazhab sebelumnya, yaitu bahwa haram menyentuh mushaf Al Qur’an kecuali dalam keadaan suci. Ibnu Qudamah (w. 620) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
ولا يمس المصحف إلا طاهر يعني طاهرا من الحدثين جميعا
Tidak boleh menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci, suci dari hadats kecil dan besar.
Bahkan yang menarik, ulama sekelas Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dari yang sering dinisbatkan kepada mazhab Al-Hanabilah di dalam buku beliau Majmu’ Fatawa menyebutkan pendapat jumhur ulama dalam masalah ini:
مذهب الأئمة الأربعة أنه لا يمس المصحف إلا طاهر كما قال في الكتاب الذي كتبه رسول الله صلى الله عليه وسلم لعمرو بن حزم: أن لا يمس القرآن إلا طاهر
Mazhab imam empat adalah tidak boleh menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci sebagaimana tertulis dalam surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikirim ke ‘amar bin hazm: “bahwa tidaklah seseorang menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci.
baca : Baca Dua Mushaf Berbeda, Apakah Al-Qur’an Dipalsukan?
Satu-satunya ulama salaf yang berbeda pandanganya dengan pandangan jumhur ulama adalah Ibnu Hazm, yang sering disebut-sebut bahwa beliau itu menganut aliran mazhab ‘aneh’, yaitu mazhab Azh-Zhahiriyahyah. Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
وقراءة القرآن والسجود فيه ومس المصحف وذكر الله تعالى جائز، كل ذلك بوضوء وبغير وضوء وللجنب والحائض
Membaca Al Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf serta berzikir boleh, semuanya boleh baik berwudhu atau tidak, dan boleh bagi orang junub dan haidh.
Alasan yang dikemukakan bahwa ayat yang dipakai sebagai larangan orang tanpa wudhu menyentuh mushaf ditafsirkan sebagai bukan larangan, melainkan hanya berita atau kabar saja.
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)
Perhatikan hujjah Ibnu Hazm dalam ayat ini, katanya di dalam ayat ini kita tidak menemukan kata ‘dilarang’ atau ‘diharamkan’. Ayat ini cuma menyebutkan bahwa orang yang tidak berwudhu tidak menyentuh Al-Quran, dan bukan ‘jangan menyentuh Al-Quran. Sementara jumhur ulama selain menggunakan ayat di atas sebagai dasar larangan, juga menguatkan pendapat mereka dengan hadits yang mereka shahihkan, yaitu hadits berikut ini :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik)