Kalau cuma tanda baca, tidak perlu kaget kalau memang selalu ada perbedaan tanda baca antara satu mushaf dengan mushaf yang lain. Karena memang sejak awal sudah berbeda-beda, meski tidak menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu keliru atau salah tulis.
Perlu kita pahami secara objektif bahwa tanda baca yang termuat di dalam mushaf itu memang bukan termasuk ‘wahyu’. Maksudnya bahwa Al-Qur’an yang pertama kali turun dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW itu memang tidak ada tanda bacanya. Bahkan yang turun bukan berupa teks yang terdiri dari huruf-huruf, tetapi yang turun wujudnya adalah suara.
Jadi jangan sekali-kali kita membayangkan bahwa ketika Allah SWT menurunkan Al-Qur’an, wujud fisiknya berupa buku atau lembaran kertas bertuliskan huruf-huruf Arab yang turun dari langit. Lalu huruf Arabnya sudah berharakat plus ada tanda-tanda bacanya.
baca : Diterimanya Taubat Orang Mengolok-olok Ayat Al-Qur’an
Ketika pertama kali Al-Qur’an diturunkan secara berkala, keadaannya lebih banyak dilafadzkan atau dibunyikan ketimbang dituliskan. Karena aslinya memang berwujud bacaan yang dilantunkan. Lalu ayat demi ayat Al-Qur’an yang turun kepada Nabi ditulis oleh para shahabat, baik yang sifatnya pribadi ataupun yang sifatnya resmi atas perintah Nabi Muhammad SAW kepada para sekretarisnya.
Namun juga perlu diingat bahwa ragam dan corak serta teknik penulisannya pun belum baku, dalam arti belum ada standarisasinya. Sehingga antara teknik penulisan satu orang shahabat dengan penulisan shahabat yang lainnya, bisa saja berbeda-beda.
Dan perlu juga diketahui bahwa dalam teknis penulisan huruf Arab di masa itu, orang-orang Arab sama sekali belum menggunakan titik untuk membedakan antara huruf ba’, ta’, tsa, jim, ha, kha, dal, dzal, ra’, zai, sin, syin, shad, dhad, tha’ dzha’, ‘ain, ghain, fa’, qaf dan ya’.
baca : Hadits Banyak yang Palsu, Gunakan Al-Qur’an Saja
Maka hari ini orang Arab asli sekalipun, kalau melihat teks asli yang ditulis di masa itu, jelas pasti tidak bisa membacanya. Begitu juga orang Arab tidak terbiasa menambahkan harakat pada tiap huruf seperti fathah, kasrah, dhammah, sukun, tasydid. Kalau yang ini, sampai hari ini pun semua buku berbahasa Arab rata-rata tidak pakai harakat. Kalau sampai ada harakatnya, kita yang sudah biasa berbahasa ini malah jadi pusing dan ribet sekali membacanya.
Sementara buat orang awam yang tidak bisa bahasa Arab, kalau melihat teks tulisan Arab gundul dalam arti tanpa harakat, justru jadi kebingungan sendiri. Kesimpulannya bahwa semua teknis penulisan, adanya titik, tanda batas ayat, tanda baca serta harakat memang hasil dari penambahan para ulama dan bukan asli turun dari langit. Oleh karena itu kalau sampai ada perbedaan-perbedaan, maka sangat masuk akal dan manusiawi, tetapi jelas sama sekali tidak ada kaitannya dengan keaslian Al-Qur’an sendiri. Sebab Al-Qur’an yang sesungguhnya adalah pada bacaannya dan bukan pada teknis penulisannya.
Kalau kita lihat sejarah, beragamnya teknis penulisan yang memang tidak bisa dihindari itu sempat membuat Khalifah Utsman bin Affan masyghul. Oleh karena itulah di masa beliau memerintah, diadakan mega proyek untuk menyeragamkan teknik penulisan huruf-huruf Al-Qur’an. Lalu kita mengenal istilah rasam Utsmani hingga hari ini.
baca : Mushaf Dibukukan Dimasa Khalifah Utsman
Penyeragaman dan standarisasi ini tentu bukan wahyu yang turun dari langit, melainkan hasil ijtihad para shahabat termasuk Utsman bin Affan sendiri. Dan langkah itu sama sekali tidak merubah Al-Qur’an yang asli. Kalau dibunyikan maka hasilnya tetap sama. Hanya saja orang-orang yang bukan Arab akan lebih banyak mendapatkan kemudahan ketika belajar mengeja huruf-huruf Al-Qur’an.
Di masa sekarang ini malah ada inovasi lebih jauh, yaitu teks Al-Qur’an malah dicetak berwarna warni. Konon untuk menjelaskan hukum-hukum bacaan dalam tajwid. Buat pemula mungkin teknis itu sangat bermanfaat. Tetapi bagi saya pribadi, ketika baca mushaf yang teksnya warna-warni jadi bingung sendiri.