Taat Kepada Penguasa Muslim

Kesempurnaan Islam meliputi sisi individu maupun kenegaraan. Islam menuntut penguasa untuk adil, amanah, menegakkan hukum Allah, serta menjamin keamanan harta, darah, dan kehormatan rakyatnya. Sebaliknya, Islam juga menuntut rakyat untuk taat kepada penguasa.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ ۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya (QS. An Nisaa : 59)

Terdapat perbedaan penafsiran mengenai definisi ulil amri. Abu Hurairah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dengan sanad sahih, beliau berkata, “Ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah”. Mujahid, Atha’, Al Hasan, dan Abul Aliyah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para ulama. Mujahid juga mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah para sahabat. Pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu maksud ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah (Fath Al Bari, 8/106)

Kewajiban penguasa

Seorang pemimpin wajib bertakwa kepada Allah dalam memimpin rakyatnya. Hendaknya dia menyadari bahwa dia adalah pekerja yang dipilih Allah untuk mengurus umat ini, berkhidmat untuk agama Allah dan syariat-Nya, serta merealisasikan hukum Allah kepada seluruh rakyatnya. Pemimpin hendaknya seorang yang kuat, tidak takut dengan celaan manusia, dan sanggup memikul amanah menjaga umat, agama, darah, harta, kehormatan, dan maslahat mereka. Menciptakan keamanan, menjaga urusan, dan akhlak mereka. Tidak menyiksa seseorang karena tendensi pribadi, akan tetapi marahnya adalah karena Allah.

مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ

Tidaklah seorang diamanahi sebagai pemimpin bagi rakyatnya oleh Allah, kemudian dia menemui ajalnya, sementara dia khianat terhadap rakyatnya, melainkan Allah akan haramkan baginya surga (HR. Muslim)

Pokok akidah ahlussunnah wal jamaah

Diantara pokok akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah wajib taat kepada penguasa kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak boleh ditaati perintah tersebut. Namun tetap wajib menaati perintah kebaikan lainnya.

Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia taat kepada Allah. Barangsiapa tidak taat kepadaku, maka berarti dia tidak taat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada pemimpin mereka, maka dia telah taat kepadaku. Barangsiapa tidak taat kepada pemimpin, berarti dia tidak taat kepadaku (Muttafaqun alaih)

Shalat jumat, ied dan jihad bersama penguasa

Ahlussunnah wal Jamaah berpandangan pentingnya mengikuti penguasa dalam shalat wajib, shalat jum’at, dan shalat ied. Bahkan amar ma’ruf dan nahi mungkar juga bersama penguasa. Tidak luput pula perkara haji bahkan jihad pun mesti bersama mereka baik penguasa tersebut orang yang baik maupun orang muslim yang zhalim.

Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berhari raya, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang berqurban” (HR. Tirmidzi, Ad Daruquthni)

As Sindi menjelaskan, “Dari hadits ini jelaslah bahwa urusan waktu puasa, lebaran, dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini” (Hasyiah As Sindi, 1/509)

Mendoakan kebaikan untuk penguasa

Ahlussunnah wal Jamaah mendoakan kebaikan untuk penguasa. Mereka menginginkan agar penguasa diberikan keistiqamahan dalam menjalankan Islam dengan baik. Tak luput, mereka memberikan nasehat kepada para penguasa dengan baik.

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذينَ تُحِبُّونهُم ويُحبُّونكُم، وتُصَلُّونَ علَيْهِم ويُصَلُّونَ علَيْكُمْ. وشِرَارُ أَئمَّتِكُم الَّذينَ تُبْغِضُونَهُم ويُبْغِضُونَكُمْ، وتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ

Pemimpin terbaik diantara kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan untuk kalian dan kalian mendoakan kebaikan untuk mereka. Pemimpin terjelek diantara kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah mendeskripsikan bentuk nasehat kepada para penguasa adalah dengan membantu mereka dalam kebaikan, menaati perintah mereka, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, dan meluruskan mereka manakala mereka keliru.

Menasehati penguasa bisa melalui beberapa cara. Diantaranya mendoakan mereka agar tetap dalam keadaan baik dan istiqamah (di atas agama dan kebenaran). Sesungguhnya, mendoakan kebaikan bagi penguasa muslim termasuk ketentuan syariat. Terutama, mendoakan mereka pada saat-saat dikabulkannya doa dan di tempat-tempat yang diharapkan terkabulkan. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Andai kami memiliki doa yang mustajab, sungguh akan kami tujukan doa tersebut bagi penguasa”

Imam Al Barbahari rahimahullah mengatakan, “Apabila engkau melihat seseorang mendo’akan kejelekan terhadap penguasa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu pengikut hawa nafsu. Namun bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah sesungguhnya dia adalah pengikut Sunnah, insya Allah”

Bersabar dengan kekurangan penguasa

Dengar dan taatilah (penguasa kalian) meskipun yang diangkat jadi penguasa adalah seorang budak dari Habasyah yang kepalanya hitam seperti kismis (HR. Bukhari)

Dengar dan taatilah penguasa, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Dengar dan taatilah (HR. Muslim)

Barangsiapa yang membenci pemimpinnya, maka hendaknya dia bersabar. Tidak ada seorangpun yang memberontak kepada penguasa, kemudian dia mati, melainkan dia mati jahiliyah (HR. Muslim)

Taat kepada penguasa muslim dalam kebaikan adalah perkara agung, diantara pokok akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Para ulama memasukkan permasalahan tersebut dalam permasalahan akidah. Taat kepada penguasa muslim adalah kewajiban yang ditetapkan syariat kepada setiap muslim. Karena dengannya bisa diwujudkan ketertiban dalam bernegara.

Taat dalam kemaksiatan dilarang

Begitu besar hak penguasa dalam Islam. Namun demikian, jika memerintahkan perbuatan maksiat, maka perintah tersebut tidak boleh ditaati.

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Seorang muslim wajib taat dan mendengar (pemimpin mereka) baik dalam perkara yang disukai maupun dibenci, selama yang diperintahkan tersebut bukan kemaksiatan. Jika diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak perlu taat dan mendengar (HR. Bukhari)

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal kebaikan (HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan memberontak kepada penguasa muslim

Pemimpin terbaik diantara kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan untuk kalian dan kalian mendoakan kebaikan untuk mereka. Pemimpin terjelek diantara kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.

Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah boleh kami memberontak kepada mereka?”

Nabi bersabda, “Jangan! Selama mereka masih menegakkan shalat. Jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci pada penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya. Namun janganlah engkau melepaskan ketaatan dari mereka” (HR. Muslim)

Bagikan artikel ini ke :