Syathohat, atau dalam bahasa sederhananya adalah isyarat atau aktivitas (ruhaniyah), yang ditimbulkan dari celoteh bathin sebagian para shufi yang disebabkan oleh fana’nya mereka kepada Allah Ta’ala, yang telah memenuhinya dengan Nur Ilahiyah, sehingga terkadang menyebabkan kesalah-pahaman dalam pandangan awam, terutama sebagian fuqoha. Mereka para fuqoha maupun para awam yang masih belum menekuni tentang dunia metafisis dari mistik shufi seringkali menjustifikasi dengan label kufur, gila, dan istilah-istilah negatif lainnya yang disandarkan pada sebagian kaum shufi yang sedang “blank” karena sebab begitu mendalamnya rasa cintanya kepada Allah Ta’ala.
Pada kesempatan kali ini, saya mencoba memberi gambaran agak detail dengan maksud agar “miss perception” dari sebagian orang yang mengingkari ahwal (aktifitas) bathiniyah para shufi mulai sedikit mendapat pencerahan logika ataupun nalar, sekalipun beberapa orang mungkin sulit memahami bahasa celoteh bathin seperti ini. Karena hal ini adalah masalah bahasa rasa, sugesti, rumus-rumus maupun kelokan-kelokan yang diucapkan oleh sebagian shufi yang mengalami “blank” atau ekstase. Sebagaimana kata Imam Dzin Nun Al-Mishri, salah seorang murid Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki) yang para ahli tashawwuf menggelarinya sebagai bapak ahli makrifat. Beliau mengatakan dalam salah satu maqalahnya yang amat terkenal:
من لم يذق لم يعرف
“Barang siapa tidak pernah merasai, maka tidak akan mengerti”.
Istilah syathohat, dalam kitab Mu’jam al-Alfadz Ash-Shufiyah, karya DR. Hasan Asy-Syarqowy, Hal. 182, cetakan pertama tahun 1987, penerbit Mukhtar-Mesir, menyebutkan;
الشطح في لغة العرب بمعنى الحركة, اى شطح يشطح اذا تحرك وفاض علي جانبيه كالنهر الضيق من حافيته اذا زاد الماء فيه. وكذالك حال المريد اذا زاد وجده، ولم يستطع حمل ما يريد على قلبه من سطوة انوار حقائقه شطح ذلك على لسانه، فيترجم عنه بعبارة غريبة، تستشكل مفهوم السامعين، الا اذا كان المريدين الصادقين، ويكون متبحرا في هذا العلم، وسمى ذلك على لسان اهل الاصطلاح شطحا (¹) اللمع، ص. ٢١٣.
Asy-syathhu, menurut bahasa Arab berarti pergerakan atau aktifitas. Ketika terjadi aktifitas dan menjalar pada segala sisi seperti halnya sungai yang sempit (yang dibatasi sisinya) maka akan meluber sampai pada tepinya ketika bertambahnya volume air didalamnya. Begitupula keadaan Murid (thariqah) ketika bertambah wajd (mendalamnya rasa cinta kepada Allah Ta’ala) serta tidak mampu menopang atau mengontrol apa yang diinginkan hatinya dari pengaruh kendali Nur-nur haqiqat yang bersemayam dalam qolbunya, maka terjadilah aktifitas tersebut pada ucapan lisannya dan selanjutnya lisan menterjemahkannya dengan ungkapan-ungkapan aneh (gharib), yang menimbulkan kemusykilan pemahaman bagi orang-orang yang mendengarnya. Kecuali jika itu terjadi dari murid-murid yang shadiq (jujur dalam ubudiyahnya), maka jadilah ilmu itu menyamudera. Keadaan ini dalam pandangan ahli istilah dinamakan ” Syathohat (syath hu)”. (¹) Al-Luma’, Hal. 213 karya Imam Abu Nasr As-Sarraj.
Tokoh-tokoh shufi yang mengalami syathohat semisal Husein Manshur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar ibnul Faridh, Maulana Jalaluddin Rumi, At-Tilmitsani adalah sebagian besar tokoh-tokoh yang ucapan nyelenehnya menjadi bahan perdebatan dikalangan fuqaha maupun akademisi pemerhati peradaban shufisme.
Dalam mistisme jawa, di era Wali Songo kita kenal tokoh yang bernama Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang. Di Kalimantan Selatan kita kenal Syeh Abdul Hamid Abulung yang hidup diera Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Di sumatera kita kenal penyair mistis Syaikh Hamzah Al-Fanshuri yang memberi corak sendiri dalam ajaran sufistik nya.
Dibawah ini saya tampilkan beberapa ucapan-ucapan sebagian tokoh Shufi dalam syathohatnya;
1.Husein Manshur Al-Hallaj.
ما في الجبة الا الله
“Tiada dibalik jubah ini melainkan Allah”.
2. Abu Yazid Al-Busthami atau yang dikenal dengan panggilan Bayazith (khusus syathohat Abu Yazid ini saya sadur dari kitab “Abu Yazid Al-Basthamiy, al Majmu’ah ash Shufiyyah al Kamilah, Hal. 45, yang ditahqiq oleh Qasim Muhammad Abbas, penerbit Al-Mada, cetakan pertama tahun 2004, Damaskus-Syiria). Dalam kitab ini ada sekitar 94 syathohat Abu Yazid, akan tetapi saya cukupkan beberapa saja. Diantaranya adalah;
انا اللوح المحفوظ
“Akulah Lauh al mahfudz itu.”
انا ربى الاعلى
“Akulah Tuhan Yang Maha Tinggi.”
تالله ان لوائى اعظم من لواء محمد صلعم، لوائى من نور تحته الجان والجن والإنس كلهم من النبيين
“Demi Allah, sesungguhnya pangkat (panji) ku lebih agung dari pangkat (panji) Muhammad SAW. Panji ku dari cahaya (Nur) yang dibawahnya terdapat golongan Peri, jin dan manusia yang kesemuanya dari golongan para Nabi.”
بطشى اشد من بطشه بى
“Kekuatanku lebih kuat daripada kekuatanNya padaku.”
سبحانى ما اعظم شٱنى
“Maha suci aku, tiada yang lebih agung daripadaku.”
طاعتك لى يا رب اعظم من طاعتى لك
“KetaatanMu kepadaku wahai Tuhan, lebih besar daripada ketaatanku kepadaMu.”
كنت اطوف حول البيت وٱطلبه، فلما وصلت اليه رايت البيت يطوف حولى
“Aku melakukan thawaf disekeliling Baitullah dan mencariNya. Maka ketika aku sampai kepadaNya, aku melihat Baitullah itu thawaf mengelilingiku.”
3.Ibnu Araby.
Banyak syair Ibnu Arabi yang menjebak pembaca awam pada pemahaman yang amat dangkal. Beberapa di antaranya:
يامن يرانى ولا اراه كم ذا أراه ولا يرانى
“Aduhai, Dia yang melihatku
dan aku tidak melihat-Nya
Betapa sering aku melihat-Nya
Dan Dia tidak melihatku”.
Mendengar syair ini mereka marah. Kata mereka: “Bagaimana Tuhan tidak melihat dia. Ibnu Arabi segera menjelaskannya dengan gaya bahasa yang manis:
يا من يرانى مجرما ولا أراه آخذا
كم ذا أراه منعما ولا يرانى لائذا
“Aduhai Dia yang melihatku pendosa
Tetapi aku tidak melihat-Nya marah
Betapa sering aku melihat-Nya pemurah
Meski Dia tidak melihat aku minta ampun”.
Atau syair yang diungkapkannya pada kesempatan yang lain:
فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده
Dia memujiku, aku memuji-Nya
Dia mengabdi padaku, aku mengabdi padanya,
Mereka juga marah. Bagaimana mungkin Tuhan menyembah dia. Ibnu Arabi segera menerangkan. Arti “Dia memujiku” adalah Dia senang karena aku taat pada-Nya, dan arti “Dia mengabdi padaku” adalah Dia mengabulkan doaku.
4.Syeh Siti Jenar.
Dalam kitab Babad Tanah Pasundan yang ditulis oleh pangeran Sulaiman Sulendraningrat.
“Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” dilain waktu dia berkata,” Allah tidak ada, yang ada Siti Jenar”.
Keadaan seperti ini dalam Fihi Ma Fihi-Nya Maulana Rumi disebabkab Istighraq (tenggelam dalam samudera Ilahiyyah). Sebagaimana ungkapan Rumu dalam Fihi Maa Fihi-nya: “Apabila seekor lebah tercelup dalam madu, seluruh anggota tubuh-nya terserap oleh keadaan yang sama, dan ia tidak dapat bergerak. Demikian pula istilah istighraq (terserap dalam Tuhan) digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai kesadaran atau inisiatif ataupun sendiri. Setiap tindakannya bukan miliknya. Apabila ia masih meronta dalam air, atau apabila ia berseru, ”Oh, aku tenggelam,” ia tidak bisa di-katakan berada dalam keadaan terserap.
Inilah yang diisyaratkan oleh kata-kata Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan). Orang menganggap itu adalah pernyataan yang sombong, padahal adalah benar-benar sombong pernyataan yang menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan); dan ”Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan) adalah sebuah ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam. Orang yang menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan) menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan dia yang menyatakan Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) membuat dirinya bukan suatu wujud dan menyerahkan dirinya seraya berseru ”Aku adalah Tuhan,” yakni ”Aku tiada, Dia-lah segalanya: tiada wujud kecuali wujud Tuhan. Inilah ke-rendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan. Jalaluddin Rumi, Kitab ;Fihi ma Fihi, Hal. 49 (terjemah).
Saya cukupkan sampai disini dikarenakan masih banyak yang belum saya tulis dari ungkapan tokoh-tokoh lainnya. Sekarang mari kita telusuri sebab-sebab yang melatar belakangi timbulnya ungkapan-ungkapan syathohat yang keluar melalui lisan sebagian para Ahlullah ini.