Syarat Dasar Menafsirkan Al-Quran

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam, tidak bisa dikotori oleh tangan-tangan kotor orang jahiliyah. Kesucian Al-Qur’an telah dijamin Allah SWT di dalam Al-Qur’an sendiri.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)

Bahkan di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah menantang orang Arab untuk bisa membuat tandingan yang seperti Al-Qur’an. Akan tetapi mereka tidak bisa menjawab tangtangan itu. Dan di masa sekarang, setiap kali ada orang yang ingin memalsukan Al-Qur’an, selalu ketahuan dan justru malah dipermalukan.

Jadi kita sebenarnya tidak usah khawatir atau terlalu takut kalau muncul Al-Qur’an palsu. Cara semacam itu sudah ada sejak dahulu dilakukan orang, dan tak satu pun ada yang berhasil menyesatkan umat Islam. Upaya untuk memalsu Al-Qur’an adalah usaha terbodoh yang pernah dilakukan orang.

Mereka yang sedikit cerdas pasti tidak akan memalsukan isi Al-Qur’an, karena hal itu percuma saja. Hal yang bisa dilakukan adalah mengacaukan umat Islam dalam upaya memahami isi kandungan Al-Qur’an. Jadi yang diserang bukan Al-Qur’annya, melainkan cara menafsirkannya atau cara memahaminya. Dan itu memang upaya yang sangat mudah, karena dalam urusan memahami kandungan Al-Qur’an memang tidak ada aturan atau jaminan dari Allah SWT bahwa penafsirannya tidak menyimpang.

Maka disitulah kesempatan orang-orang jahiliyah bermain, mereka mulai mengubah caranya, tidak lagi memalsukan Al-Qur’an, tetapi mereka melakukan cara mengotak-atik dan mengobok-obok tafsir ayat Al-Qur’an. Sehingga sering terjadi suatu ayat diplintir kesana-kemari oleh mereka dengan alasan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Pandangan kebebasan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an ini kemudian merebak bagaikan fenomena penyebaran virus Korona. Mulailah ada orang-orang yang tidak punya kapasitas dan otoritas ilmu dalam menafsirkan Al-Qur’an bicara ngawur seenaknya dan semaunya. Dan seringkali orang macam ini dimanfaatkan demi untuk kepentingan oleh pihak tertentu.

Lalu bagaimana cara mengantisipasinya?

Ulama ahli tafsir sebenarnya sudah sejak lama membuat semacam syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Kalau dalam ilmu hadits kita mengenal hadits shahih, dhaif atau maudhu’ maka dalam tafsir seperti itulah kira-kira.

Dalam ilmu hadits ada istilah adil dan dhabith, jika seorang perawi tidak adil dan dhabith maka haditsnya bisa kita buang. Dan dalam ilmu tafsir ada syarat-syarat semacam itu juga. Jikalau ada mufassir tidak memenuhi syarat dan kriteria baku dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka hasil tafsirannya tidak dianggap atau kita bisa membuangnya ke tong sampah sebagai kotoran yang harus dijauhi.

Lalu apa saja syarat dan kriteria baku dan standar yang harus dimiliki oleh mufassir? Dinukil dari Dr. Manna’ Al-Qaththan dalam Mabahits fi Ulum Al-Qur’an berikut :

1. Sehat Aqidah

Seorang yang aqidahnya menyimpang tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan mengolok-olok ayat-ayat Al-Qur’an demi kepentingan penyelewengan pada aqidahnya. Maka kitab-kitab tafsir dari penulis dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, bisa dikatakan tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu untuk kepentingan pribadi, baik untuk kelompok atau jamaah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuat pendapatnya menjadi tidak objektif. Dia harus betul-betul meninggalkan kepntingan pribadi dan golongan serta memastikan pendapatnya objektif, profesional dan menggunakan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Karena Al-Qur’an turunnya dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah ayat Al-Qur’an sendiri. Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah dia melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.

Hal itu berarti mufassir harus sering membaca, mengerti dan harus meneliti terlebih dahulu seluruh ayat yang ada di dalam Al-Qur’an secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan dari suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi

Mufassir juga harus sudah membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu juga menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.

Tentang kekuatan dan kedudukan hadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath’i sebagaimana ayat Al-Qur’an juga.

5. Merujuk kepada Atsar Shahabat

Para shahabat nabi merupakan orang yang meyaksikan langsung bagaimana ayat per ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Qur’an. Maka bisa dibilang orang yang paling paham dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.

Maka tidak ada rumusnya bagi mufassir jika meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Mufassir yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi’in Tabi’in merupakan penerus dari para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat. Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Qur’an adalah para tabi’in.

7 Dapat Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Qur’an diturunkan di tanah Arab dan bahasa arap merupakan dialog kepada orang Arab, maka bahasanya adalah wajib bahasa Arab. Walaupun kandungan ayat Al-Qur’an tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi dapat dipakai untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaitu Al-Qur’an menjadi mutlak dan absolut. Kearaban tidak hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, ‘urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir tidak hanya wajib paham akan bahasa Arab saja, namun harus ngerti sekaligus dapat paham betul akan budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Qur’an turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Qur’an tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan ‘urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya. Dan kalau dipecah, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-‘arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat wajib yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.

8. Menguasai Beberapa Cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan ‘Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lain  ilmu asbabun nuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-‘aam wal khash, Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya. Tidak ada ceritanya seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat yang terakhir harus dilakukan oleh orang yang ingin menafsirkan Al-Qura’an adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Supaya dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Qur’an. Mufassir harus merupakan seorang yang punya logika kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas sebagai seorang ilmuwan. Demikianlah beberapa syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna’ Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi ‘Ulumil Quran.

Bagikan artikel ini ke :