Siapa Yang Boleh Menilai Bahwa Suatu Hadits itu Dhaif?

Suatu ketika ada pertanyaan, “Saat sujud yang lebih rajih didahulukan tangan dahulu atau lutut dahulu?” kemudian dijawab, “Silahkan pilih diantara keduanya. Asal tidak kepalanya dahulu saja” “Tapi kalo tidak salah, hadits yang menjelaskan lutut dahulu itu haditsnya lemah. Jadi yang lebih benar itu tangannya dahulu?”

Ulama memang khilaf terkait mana yang turun dahulu saat sujud, keduanya silahkan dipilih mana yang sekiranya nyaman. Ada satu hadits yang dianggap lemah oleh beberapa ahli hadits, hadits itu adalah hadits Wa’il bin Hujr:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد يضع ركبته قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه. رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجة والدارقطني

Saya melihat Rasullullah ketika sujud, beliau turun dengan dua lututnya sebelum tangannya, ketika naik beliau mengangkat tangannya dahulu sebelum lututnya. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan Daraquthni)

Hadits ini dianggap lemah oleh Nashiruddin al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, hal. 2/75 dan Imam Baihaqi dalam Sunannya, hal. 2/101. Maka mereka berpendapat bahwa yang lebih rajih adalah mendahulukan tangan dahulu. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Auza’i.

Tetapi hadits itu oleh ulama lain dinilai tidak lemah. Madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayatnya memilih lebih mendahulukan lutut, inilah yang diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu (Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hal. 2/57). Pendapat ini dipilih juga oleh, Ibnu Qayyim (w. 751 H), Bin Baz, dan Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Maka, ketika kita mendapat suatu hadits dinilai dhaif, yang menjadi pertanyaan pertamanya adalah siapakah yang menghukumi dhaif hadits itu?

Memang ada beberapa hadits yang oleh ulama disepakati keshahihannya, ada juga hadits yang disepakati kedhaifannya. Tetapi ada juga hadits yang menjadi perbedaan diantara para ulama terkait shahih dan dhaifnya. Jika sekali waktu ada yang bilang, “Itu haditsnya dhaif”, maka bertanyalah: “Siapakah yang mendhaifkannya”.

Pertanyaan pertama yang layak kita ajukan ketika ada seseorang bilang, “Itu haditsnya dhaif” adalah siapa yang mendhaifkannya. Setidaknya ada dua hal yang akan kita cari tahu lebih lanjut, setelah kita bertanya “siapa”.

Fiqhul Qur’an

Pertama, untuk mengetahui posisi ulama hadits tersebut. Posisi disini bisa dari segi zamannya; apakah termasuk ulama hadits mutaqaddimun (klasik) atau ulama mutaakhirun (kontemporer). Selain itu bisa juga dilihat dari kecenderungan penilaiannya terhadap hadits, apakah termasuk golongan ulama yang mutasyaddidun (ketat) atau termasuk mutasahilun (longgar), atau termasuk mu’tadilun (pertengahan).

Termasuk juga posisi keilmuan ulama hadits tersebut, apakah ulama hadits itu diakui hasil ijtihadnya oleh para ulama atau tidak, apalagi jika hasil ijtihadnya ternyata berbeda dengan ulama hadits lain. Untuk mengetahui alasan penilaian suatu hadits. Sebagaimana kita tahu ada 5 syarat hadits dinilai shahih, tersambungnya sanad, rawinya adil, dhabith, serta tidak syadz dan tidak ada illat.

Kadang-kadang hadits dhaif karena salah satu perawinya dianggap kurang memenuhi kriteria shahih atau hasan. Sebagai contoh adalah hadits shalah tasbih. Ibnu al-Jauzi mengkritisi hadits shalat tasbih itu dhaif. Salah satu jalur yang dikiritisinya adalah jalur sanad yang melalui Musa bin Abdul Aziz.. Menurut Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam kitab al-Maudhu’at, Musa bin Abdul Aziz ini majhul atau tidak diketahui. Beliau menyebutkan

وأما الطريق الثاني فإن موسى بن عبد العزيز مجهول عندن

Jalur kedua yaitu lewat Musa bin Abdul Aziz. Dia itu tak kami ketahui

Bisa dikatakan, jalur sanad paling baik tentang shalat tasbih adalah sanad yang melewati Musa bin Abdul Aziz. Para ulama berbeda pendapat terkait hukum shalat tasbih ini dikarenakan perbedaan para ahli hadits dalam menilai kualitas Musa bin Abdul Aziz.

Musa bin Abdul Aziz Abu Syuaib al-Qanbari adalah orang Yaman, beliau wafat tahun 175 H. Muhammad bin Hibban Abu Hatim al-Busti atau dikenal Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya as-Tsiqat, yaitu kitab yang khusus berbicara rawi-rawi yang dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban. Bahkan Abu Hafsh Umar Ibn Syahin (Ibnu Syahin) (w. 385 H) dengan jelas menuliskan bahwa Musa bin Abdul Aziz ini tsiqah

Yahya bin Main dalam kitab al-Jarhu wa at-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi, ketika ditanya terkait Muhammad bin Musa ini beliau berkomentar: La ara bihi ba’san, saya menganggapnya tidak apa-apa. Imam Bukhari (w. 256 H) juga meriwayatkan hadits dari Musa bin Abdul Aziz dalam kitabnya al-Qira’ah Khalfa al-Imam dan kitab al-Adab al-Mufrad. Imam Bukhari (w. 256 H) juga menuliskan sedikit biografinya dalam kitab at-Tarikh al-Kabir

Meski begitu adapula ulama hadits yang menganggapnya lemah, diantaranya Ibnu al-Madini, ad-Hafidz ad-Dzhahabi (w. 748 H) mengomentari Musa bin Abdul Aziz dalam kitab Mizan al-I’tidal bahwa haditsnya munkar

Dari paparan diatas, alasan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) bahwa salah satu jalur haditsnya ada rawi yang majhul, sepertinya sudah terjawab. Karena ternyata banyak ulama hadits yang menuliskan biografi Musa bin Abdul Aziz. Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) juga cukup fair dengan mengatakan: majhul indana, tidak diketahui oleh saya. Artinya mungkin saja Ibnu al-Jauzi ini memang belum mengetahui siapa itu Musa bin Abdul Aziz. Hanya saja kurang fair jika menilai status hadits menjadi maudhu’ hanya gara-gara tertulis dalam kitab al-maudhu’at tanpa pembahasan lebih lanjut.

Bagikan artikel ini ke :