Beberapa tahun belakangan ini seringkali terjadi perbedaan masuknya 1 syawal, sehingga umat dibuat bingung. Karena banyak metode penentuan 1 syawal. Siapakah yang berwenang untuk menetapkan 1 syawal (tentunya menurut al-Qur’an & hadits)? Bolehkah seorang pemimpin kelompok menetapkan itu dengan mendasarkan pada ayat yang artinya: Hai orang-orang muslim, taatlah kamu kepada Allah, dan rasulnya dan Ulil Amri di antara kamu….Apakah pemimpin kelompok bisa juga disebut “Ulil Amri Minkum”
Karena sudah pasti ada perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam menetapkan jatuhnya tanggal 1 Syawwal, maka khusus untuk masalah ini, harus ada penengah yang perkataannya ditaati oleh semua mujtahid tersebut. Apalagi mengingat urusan jatuhnya lebaran ini menyangkut kepentingan orang banyak, maka kesepakatan harus diambil dan persatuan harus lebih diutamakan.
Kita bisa maklum kalau ada perbedaan pendapat yang didiamkan saja, karena memang tidak ada solusi. Misalnya, perbedaan pendapat tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih, atau perbedaan pandangan tentang kesunnahan qunut sholat shubuh dan kebid’ahannya. Demikian juga perbedaan pendapat dalam hukum penyelenggaraan hari besar seperti maulid nabi, isra’ mi’raj, nuzulul quran dan seterusnya. Biarlah masing-masing mujtahid berpendapat sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran.
Asalkan satu sama lain tidak saling mengejek, mencemooh, mencaci atau memerangi dengan jalan memboikot, tidak mau bertegur sapa hingga menuduhnya sebagai calon penghuni neraka jahannam. Perbedaan pendapat dalam banyak masalah cabang syariah adalah sebuah kepastian, tidak mungkin ditampik dan mustahil dihilangkan. Demikian secara umum yang berlaku untuk setiap masalah furu’iyah dalam masalah kajian fiqih.
Namun khusus untuk penetapan tanggal 1 Syawwal, 1 Ramadhan atau pun 1 Dzulhijjah, seharusnya ada kesepakatan di antara para mujtahid. Tidak diserahkan kepada masing-masing orang untuk menetapkan sendiri-sendiri. Sejarah agama kita sejak 14 abad yang lampau, baik selama masih ada khilafah Islamiyah atau pada periode setelah keruntuhannya, tidak pernah ada mujtahid yang menetapkan sendiri jatuhnya hari raya itu.
Ilmu hisab dan ilmu rukyatul hilal boleh berkembang dan dipelajari oleh orang banyak, akan tetapi urusan penanggalan dan jatuhnya jadwal puasa serta lebaran, tetap harus diserahkan kepada satu pihak di dalam dunia Islam. Di masa khilafah masih ada dulu, seorang khalifah adalah pengambil keputusan terakhir untuk masalah ini. Itu merupakan hak preogratifnya karena memang demikian yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara tertinggi di masa lalu.
Dan hal yang sama selalu dilakukan oleh para khalifah pengganti beliau, baik Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, keputusan ada di tangan khalifah sebagai otoritas tertinggi umat Islam. Dan semua khalifah dari berbagai dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan Bani Utsmaniyah juga melakukan hal yang sama. Tidak ada satu pun elemen umat Islam yang secara lancang menetapkan jadwal Ramadhan dan Syawwal sendiri. Meski mereka ahli di bidang astronomi, hisab bahkan rukyatulhilal, namun biar bagaiamana pun mereka sangat menghormati khalifah.
Pasca Runtuhnya khilafah
Di masa kita sekarang ini di mana khilafah sudah tidak ada lagi, tradisi menyerahkan urusan jadwal Ramadhan dan Syawwal kepada otoritas penguasa tertinggi yang ada di tengah umat Islam tetap berlangsung.
Rakyat Mesir yang merupakan gudang ulama dan ilmuwan, tetap saja menyerahkan masalah ini kepada satu pihak. Bersama dengan pemerintah yang resmi mereka sepakat menyerahkan masalah ini kepada Grand Master Al-Azhar (Syaikhul Azhar). Dan yang menarik, begitu Syaikhul Azhar menetapkan keputusannya, semua jamaah di Mesir baik Ikhwanul Muslimin, Ansharussunnah, Takfir wal jihad, Salafi sampai kepada kelompok-kelompok sekuler sepakat untuk taat, tunduk dan patuh kepada satu pihak.
Hal yang sama juga kita saksikan di Saudi Arabia. Meski di sana ada banyak jamaah, kelompok, dan aktifis yang sering kali saling menyalahkan dan berbeda pendapat, tetapi khusus untuk jadwal Ramadhan dan Syawwal, mereka bisa akur dan patuh kepada keputusan mufti Kerajaan. Dan hal yang sama terjadi di semua negeri Islam, mereka semua kompak untuk menyerahkan urusan ini kepada satu pihak, yaitu pemerintah muslim.
Entah bagaimana ceritanya, di negeri kita yang konon negeri terbesar dengan jumlah penduduk muslim di dunia, justru setiap pihak tidak bisa berbesar hati untuk menyerahkan masalah ini ke satu tangan saja. Setiap ormas merasa punya hak 100% untuk menetapkan jatuhnya jadwal ibadah itu.
Bahkan tanpa malu-malu melarang otoritas tertinggi yaitu pemerintah untuk bersikap dan menjalankan tugasnya. Padahal yang diperselisihkan hanya urusan ijtihad yang mungkin benar dan mungkin salah. Nyaris tidak ada kebenaran mutlak dalam masalah ini. Sebab sesama yang rukyat sudah pasti berbeda. Dan sesama yang berhisab juga berbeda. Dan perbedaan itu akan selalu ada.
Padahal maslalah ini adalah masalah nasional dan menyangkut kepentingan orang banyak. Seharusnya 200 juta umat Islam menyerahkan masalah ini kepada satu pihak yang dipercaya dan konsekuen untuk patuh dan tunduk. Satu pihak itu seharusnya adalah pihak yang netral, tidak punya kepentingan kelompok, ahli di bidang rukyat dan hisab serta punya legitimasi. Dan menurut kami, pihak itu adalah pemerintah sah negeri ini. Karena dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang merupakan otoritas tertinggi umat Islam. Dan direpresentasikan sebagai Menteri Agama RI.
Kalau hukum hudud diberlakukan di negeri ini, maka beliau pula yang punya hak untuk merajam pezina, memotong tangan pencuri, mencambuk peminum khamar. Dan selama ini, beliau pula yang memiliki hak secara sah untuk menikahkan wanita yang tidak punya wali.
Sebuah ormas tidak punya hak apapun untuk mengeksekusi hukum hudud, sebagaimana tidak punya hak untuk menikahkan wanita tak berwali. Maka logika sederhananya, seharusnya juga tidak punya hak untuk menetapan secara nasional tentang jatuhnya puasa dan lebaran. Sepintar apa pun orang yang ada di dalam ormas itu.