Sholatnya Orang Sakit

Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib sholat dengan menghadap kiblat. Namun caranya memang agak berbeda-beda di antara para ulama. Sebagian mengatakan bahwa caranya dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah dan bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat yang masuk ke liang lahat.

Dalilnya karena dalam pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap kiblat harus dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa menghadap kiblat. Dan caranya dengan sholat dengan posisi miring. Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk sholat di atas lambung.

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ

Dari Imran bin Hushain berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Sholatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka sholatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, sholatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)

Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki, bukan dada. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah memenuhi syarat. Maka orang yang sakit itu dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke arah kiblat.

Namun akan jauh lebih baik bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan bersender di bantal, karena baik dada mau pun kaki sama-sama bisa menghadap kiblat. Umumnya ranjang di rumah sakit bisa ditinggikan di bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih baik lagi. Adapun seseorang yang sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi menggerakkan badan atau menggeser posisinya agar menghadap ke kiblat, dan juga tidak ada yang membantunya untuk menggeserkan posisi sholat menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah mana saja.

Orang Sakit Menjama’ Sholat

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan orang yang sedang sakit untuk menjama’ sholatnya. Sebagian ulama tidak memperbolehkannya, namun sebagian yang lain membolehkan adanya sholat jama’ bagi orang yang sedang sakit. Mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ sholat di antaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari mazhab Al-Malikiyah.

Dasarnya dalam Hasyiatu Ibnu Abidin, dijelaskan hal tersebut tidak sah karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW yang membolehkan hal itu. Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri sebuah aturan tentang sholat. Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan sholat sesuai dengan waktu-waktu sholat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’.

Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama’ karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi’iyyah. Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama’ sholat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi’iyyah menyebutkan dalam Syarah An-Nawawi bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama’ sholat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi’iyyah.

Begitu juga dengan Ibnul Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama’ ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan. (QS. Al-Hajj : 78)

لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)

Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua sholat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir. Dalil lainnya adalah asumsi bahwa Nabi SAW pernah menjamak sholat di Madinah, yang mana alasannya bukan karena safar, takut, hujan atau haji. Maka asumsinya adalah karena sakit.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menjama’ zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan. (HR. Muslim)

Lebaran Jatuh Hari Jumat, Gugurkah Kewajiban Sholat Jumatnya?

Meskipun ada pendapat yang membolehkan orang sakit menjama’ sholatnya, namun perlu digaris-bawahi bahwa qashar tetap tidak berlaku. Artinya, orang sakit tidak diberikan keringanan untuk mengqashar sholat. Selama ini banyak orang yang terlanjur menyamakan antara jama’ dan qashar, sehingga dalam benak mereka kalau boleh menjama’ berarti juga boleh mengqashar.

Padahal tidak demikian, mengqashar sholat itu hanya dibolehkan karena satu alasan, yaitu safar. Safar adalah satu-satunya alasan dari dibolehkannya qashar sholat. Sedangkan jama’ memang dibolehkan untuk selain alasan safar, seperti karena hujan, sakit dan udzur lainnya, meski tetap dalam hal ini para ulama berbeda-beda pendapat. Maka dimungkinkan dengan menggunakan pendapat tertentu bagi orang sakit untuk menjama’ sholat, tetapi seluruh ulama sepakat bahwa orang sakit tetap tidak diperbolehkan mengqashar sholat.

Mengganti Sholat Yang Terlewat

Apabila karena alasan sakit seseorang terpaksa harus meninggalkan sholat fardhu dari waktunya, maka hukumnya secara syariah tidak berarti kewajiban sholat atasnya menjadi gugur. Sholat fardhu lima waktu tetap menjadi kewajiban atasnya, hanya saja ketika sakit dan tidak mampu dikerjakan, sementara tidak perlu dikerjakan.

Misalnya ketika seorang pasien sedang dioperasi yang membutuhkan waktu panjang, dan tidak mungkin sholat-sholat itu dijamak sebelum atau sesudahnya. Maka apabila selama masa operasi kedokteran itu pasien harus meninggalkan beberapa waktu sholat, ada kewajiban untuk mengganti sholat-sholat itu begitu nanti sudah mampu dilakukan.

Demikian juga para ulama sepakat bahwa orang yang pingsan, hukumnya sama dengan orang yang tidur. Bila ada pasien berada dalam keadaan pingsan atau koma, maka semua sholat fardhu yang ditinggalkannya itu wajib diganti kalau sudah sehat.

Bagikan artikel ini ke :