Sholat Witir Harus Dilakukan pada Waktunya

Bagi kita yang terbiasa sholat witir, atau minimal terbiasa di bulan ramadhan, barangkali pembahasan ini bukan pembahasan yang terlalu penting. Karena rata-rata kita melaksanakannya di waktu yang memang disepakati sebagai waktu sholat witir. Akan tetapi bagi yang pernah safar dan ingin melakukan sholat witir saat safar, maka akan menemukan satu problem waktu yang perlu dicarikan jawabannya.

Salah satu contohnya adalah jika ada seseorang yang safar yang menjamak sholat maghrib dan isya di waktu maghrib, maka tentu saja sebelum waktu maghrib itu habis, sang musafir tadi sudah melaksanakan sholat isya. Lalu, apakah dia diperbolehkan untuk sholat witir meski belum masuk waktu isya ?

Ada yang mengatakan boleh melakukan sholat witir walau belum waktu Isya. Ini adalah pandangan yang muktamad (otoritatif madzhab) dalam madzhab syafi’i. Dalam kasus musafir tadi, walaupun belum masuk waktu isya, asal dia sudah sholat isya, maka boleh baginya untuk melaksanakan sholat witir. Sebab syarat masuk waktunya adalah sudah sholat isya dan bukan waktu isya.

Maka sebaliknya, jika ada seseorang yang bangun di waktu malam dan kebetulan belum sholat isya, dalam madzhab ini justru tidak boleh melaksanakan sholat witir. Sedangkan pandangan lain dalam madzhab syafi’i, ada yang menyatakan bahwa batas waktunya bukan pada sudah sholat isya atau belum, akan tetapi pada masuknya waktu isya itu sendiri.

Dengan demikian dalam madzhab ini, sah-sah saja jika seseorang yang bangun malam dan kebetulan belum sholat isya untuk melaksanakan witir dulu sebelum isya. Walaupun dalam praktiknya, hukum boleh ini hampir-hampir tidak diamalkan oleh kaum muslimin. Sebab, pelaksanaan yang seperti itu memang tampak tidak urut sebagaimana biasanya.

Selain itu ada juga yang mengatakan boleh witir asal belum terbit fajar. Ini adalah batas akhir waktu sholat witir. Dan banyak ulama yang menyepakati hal ini. Berbeda terkait dengan waktu awal tadi yang diperselisihkan para ulama, dalam batas akhirnya, waktu sholat witir relatif disepakati.

Berapakah batas minimal dan maksimal jumlah raka’at witir yang boleh dikerjakan?

Secara umum batas minimal dalam sholat witir adalah satu raka’at dan batas maksimalnya menurut jumhur adalah sebelas rakaat. Namun dalam praktiknya, sengaja memilih batas minimal tanpa faktor-faktor yang mebolehkannya termasuk hal yang tidak disukai dalam syariat.

Kalau ada seseorang yang berpikiran minimalis dalam ibadah seperti ini tanpa ada faktor-faktor tertentu, dalam madzhab syafi’i dan banyak madzhab lain hal ini diperbolehkan saja. Karena satu rakaat atau lebih, itu adalah pilihan. Dan walaupun dari sisi praktiknya (fi’liyah) masih diperselisihkan apakah nabi pernah witir satu kali saja atau tidak, akan tetapi beberapa sabda beliau yang membolehkan witir dengan satu raka’at cukup sebagai landasan kebolehannya.

Meski demikian, dalam pandangan hanafiyah, hal ini tidak diperbolehkan. Salah satu argumentasinya adalah adanya hadits larangan untuk menjadi butaira, yaitu seseorang yang hanya mencukupkan witir dengan satu raka’at saja. Dengan hadits yang sama, ada riwayat dari Imam Ahmad bahwa beliau menyimpulkan bahwa larangan butaira itu sifatnya hanya makruh saja tidak sampai menjadi keharaman.

Hanya saja hadits tentang larangan butaira ini memiliki masalah dari sisi validitasnya, sehingga tidak cukup kuat dijadikan sebagai landasan untuk melarang witir hanya satu raka’at. Meski disimpulkan bahwa hadits larangan butaira itu tidak cukup kuat, bukan berarti kita benar-benar hanya mencukupkan diri saja dengan batas minimal sah. Akan lebih baik jika kita mau memilih batas minimal, maka memilih batas minimal sempurna yaitu tiga raka’at.

Selain lebih banyak pahalanya, juga dalam rangka mura’atan (mempertimbangkan) adanya khilaf tentang hukum butaira tadi. Atau kalau mau mencukupkan diri dengan dengan satu raka’at, maka ada sebagian ulama syafi’iyyah yang mensyaratkan agar satu rakaat witir itu sudah didahului dengan sholat sunnah lain yang genap misalnya dua rakaat ba’diyah isya.

Dan semakin banyak jumlah raka’at witirnya tentu akan semakin baik. Hanya saja, sebaik apapun jumlah yang banyak itu, janganlah lebih dari sebelas raka’at. Karena itulah batas maksimal yang sudah ditentukan oleh para ulama dari sabda Nabi SAW

Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa seseorang boleh saja menurut mayoritas ulama untuk mencukupkan diri dengan satu raka’at dalam witirnya. Walaupun hal ini tentu menjadi kurang utama. Jika hanya satu raka’at, maka kita tak perlu membahas tantang washl dan fashl. Dua istilah ini perlu untuk dibahas, jika witir yang dilakukan minimal terdiri dari tiga raka’at.

Fashl artinya adalah memisahkan. Maksud dari kata memisahkan dalam konteks ini adalah memisahkan tiga raka’at atau lebih menjadi dua bagian atau beberapa bagian. Misalnya jika ada yang witir tiga raka’at, maka dia bisa melakukan fashl dengan salam di akhir raka’at kedua setelah tahiyat. Setelah salam tentu dia sudah tidak lagi dalam kondisi sholat. Itulah jeda yang memisahkan antara dua raka’at yang baru saja ditunaikan dengan satu raka’at sisanya yang akan segera diselesaikan. Inilah fashl dengan salam.

Praktik ini adalah praktik yang paling utama menurut madzhab syafi’i berdasarkan pada hadits Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasul melakukan fashl dengan salam ini. Bahkan Ibnu Umar sendiri juga melakukannya sampai sempat memerintahkan sesuatu setelah salam pemisah itu. Selain itu, dengan adanya jeda selain bisa mengurangi rasa lelah dengan sedikit istirahat, juga lebih memudahkan penghitungan raka’at jika lebih dari tiga.

Walaupun lebih utama dalam pandangan syafi’iyyah, akan tetapi jika dia menjadi imam, maka meninggalkan fashl ini lebih utama. Yaitu dengan melakukan washl (menyambungkan dua rakaat pertama dengan satu rakaat berikutnya tanpa ada jeda apapun). Dalam pandangan syafi’iyyah, jika mau melakukan fashl, hendaknya saat mau sholat dua rakaat pertama, diniatkan sebagai dua rakaat bagian dari witir yang (nanti keseluruhannya) ganjil itu.

Demikian juga jika jumlah rakaatnya lebih dari tiga. Maka bisa ada beberapa kali salam setiap selesai dua raka’at sebagai fashl (jeda) antara raka’at-raka’at genap itu dengan raka’at terakhir yang ganjil.

Washl Adalah melakukan sholat witir tiga atau lima atau tujuh raka’at dan seterusnya dengan tanpa ada jeda duduk maupun salam sama sekali. Pada saat dua rakaat sudah dilakukan, maka langsung berdiri lagi untuk melaksanakan raka’at yang ketiga. Dalam pandangan syafi’iyyah, ini baik dilakukan oleh seorang imam, jika dalam makmum terdapat seseorang yang madzhabnya tidak menyepakati fashl. Namun jika sendirian (munfarid), fashl lebih utama daripada washl ini.

Fashl dengan duduk tasyahud awal, merupakan cara witir yang direkomendasikan oleh madzhab Hanafi. Dalam pandangan madzhab syafi’i, tatacara seperti ini hukumnya makruh. Karena sekilas mirip seperti sholat maghrib. Perbedaannya terletak pada adanya kesunnahan baca surat di rakaat ketiga.

Dalam melaksanakan sholat witir, surat yang disepakati sebagai sunnah untuk dibaca adalah surat Al A’la untuk raka’at pertama, surat Al Kafirun untuk rakaat kedua dan surat Al Ikhlas untuk raka’at ketiga. Dalam pandangan sebagian ulama syafi’iyyah ada tambahan surat Al Falaq dan An Naas untuk raka’at ketiga berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ibunda Aisyah dalam sunan At Tirmidzi.

Bagikan artikel ini ke :