Sembelihan Ahli Kitab Zaman Sekarang Masihkah Dihalalkan?

Membahas tentang kebolehan memakan sembelihan Ahli kitab bagi muslim, kini menimbulkan beragam pertanyaan. Salah satunya adalah masihkan hukum tersebut berlaku? Dan apakah masih sama hukum yang berlaku pada Ahli Kitab zaman dulu dan sekarang? Bahkan lebih ekstrim lagi, apakah Ahli Kitab masih ada?

Pendapat Para Ulama Tentang Makan Sembelihan Ahli Kitab

Dalam Al Quran sendiri ada ayat yang mengindikasi kebolehan memakan sembelihan Ahli kitab yakni yang tertera dalam surat Al Maidah ayat 5:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. al-Maidah: 5)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, Atha’, dan yang lainnya, bahwa makna makanan ahli kitab yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, yang dikarenakan mereka percaya kepada injil dan taurat, bukan karena penyebutan nama Allah. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 3/40).

Para Ulama madzhab dalam hal ini sepakat tentang kebolehan memakan sembelihan yang halal bagi umat Islam dari Ahlul Kitab. Namun mereka hanya berbeda dalam syarat kebolehannya sebagai berikut:

Menurut Hanafiyah, Ahli Kitab yang dimaksud adalah nasrani dan Yahudi yang ketika menyembelih memang tidak menyebut nama siapapun seperti atas nama Al Masih atau yang lainnya selain Allah. Metode penyembelihannya pun harus serupa dengan metode yang ditetapkan oleh Islam. Namun jika seorang muslim yang diberi daging sembelihan ini tidak tau betul bagaimana prosesinya, maka hal tersebut dibolehkan baginya untuk mengkonsumsinya, namun lebih baik lagi ditinggalkan.

Menurut Malikiyah, diperbolehkan makan sembelihan ahlul kitab asalkan memang benar-benar dalam rangka makan-makan, bukan menyembelih atas dasar ritual kepercayaan mereka, yang artinya sembelihan tersebut bukan berupa sesajian.

Dalam pandangan Syafiiyah, sembelihan Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, asalkan tidak disebutkan sembelihannya nama siapapun, seperti al Masih, atau untuk hari dan ritual perayaan apapun.

Sedikit berbeda dengan yang lainnya, Al Hanabilah mensyaratkan bahwa jika disembelih atas nama Allah maka boleh, namun jika sengaja meninggalkan penyebutan nama Allah maka tidak boleh dimakan sembelihan ahli kitab tersebut, kecuali jika memang betul-betul tidak tau akan prosesinya. (Lihat : Al Fiqhu ‘ala Madzahib al Arba’ah (2/26) , Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid (2/212).

Secara umum, tidak terlihat perbedaan yang signifikan dari para ulama madzhab tentang kebolehannya kecuali hanya perbedaan kecil dalam syaratnya saja.

Apakah Masih Sama Ahli Kitab yang Dulu dan Sekarang?

Polemik tentang eksistensi hukum terkait ahli kitab dalam Syariat sempat menjadi perdebatan panjang, hal ini karena terdapat keraguan di beberapa kalangan tentang keoriginalitasan kepercayaan dan kitab mereka. Jadi seolah, hukum-hukum syariat Islam yang sempat berlaku untuk ahli kitab hanyalah berlaku di era Rasulullah SAW, dan tidak berlaku di zaman ini.

Sebelum jauh membahas status ahli kitab ini, akan lebih baik jika kita bahas tentang makna ahli kitab itu sendiri. Jumhur ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab itu adalah terbatas untuk Yahudi dan Nasrani dengan segala jenis sektenya. Sementara Hanafiyah berpendapat bahwa Ahli Kitab adalah setiap orang yang beriman kepada Nabi dan Kitab yang diturunkannya, maka termasuk juga orang-orang yang percaya kepada Daud AS dan Zaburnya, Suhuf nabi Ibrahim dan Syits.

Dalam Tafsir Tahrir wa Tanwir, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah Ahli Kitab dalam al-Quran adalah untuk menyebut orang Yahudi dan Nasrani yang tidak masuk islam. Karena yang dimaksud dengan al-Kitab di sini adalah Taurat dan Injil, apabila di depannya di tambahkan kata ‘ahlu’. (Lihat: at-Tahrir wa at-Tanwir,27/249).

Pasca Tidak Orsinilnya Kitab dan Kepercayaan Mereka Apakah Hukum dan Status Masih Sama?

Pada titik inilah terjadi perbedaan kuat antara kelompok yang berpendapat bahwa syariat terkait ahli kitab tidak bisa berlaku kembali, karena ideologi dan isi kitab disinyalir telah dirubah dan dirombak total, dengan kelompok yang tetap ngotot bahwa hukum masih berlaku karena sebenarnya mereka sudah tidak orsinil sejak sebelum Muhammad SAW menjadi rasul.

Menarik untuk dikaji, bahwa golongan kedua yang berpendapat masih berlakunya hukum untuk mereka, berdalil dengan ayat:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ

Sungguh telah kafir orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu unsur dari trinitas. Padahal tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali satu tuhan. (QS. al-Maidah: 73).

Dari ayat ini diyakini bahwa kekafiran Ahli Kitab sudah diidentifikasi sejak zaman Rasulullah SAW karena perombakan yang mereka lakukan jauh-jauh hari sebelum Nabi Muhammad lahir.

Dari ulasan yang ada di atas dapat disimpulkan secara general bahwa sembelihan ahli kitab dalam pandangan para ulama adalah halal dengan syarat bahwa sembelihan tersebut bukanlah dalam rangka ritual keagamaan mereka, dan tidak disengaja dengan menyebut nama tuhan lain selain Allah. Adapaun jika tidak diketahui prosesinya maka sah saja untuk dimakan namun lebih utama untuk ditinggalkan.

Adapun tentang status Ahli Kitab saat ini dan dahulu, maka sebenaranya ada dua pandangan yang berbeda, dimana golongan pertama menganggap bahwa hukum sudah tidak berlaku kembali, sedangkan golongan kedua tetap menganggap hukum ini masih berlaku karena sebenarnya perombakan atau perubahan itu telah terjadi jauh sebelum era Nabi Muhammad SAW.

Bagikan artikel ini ke :