Pada dasarnya, prinsip kartu kredit adalah memberikan uang pinjaman kepada pemegang kartu untuk berbelanja di tempat-tempat yang menerima kartu tersebut. Setiap kali seseorang berbelanja, maka pihak penerbit kartu memberi pinjaman uang untuk membayar harga belanjaan.
Untuk itu seseorang akan dikenakan biaya beberapa persen dari uang yang dipinjamnya yang menjadi keuntungan pihak penerbit kartu kredit. Biasanya uang pinjaman itu bila segera dilunasi dan belum jatuh tempo tidak atau belum lagi dikenakan bunga, yaitu selama masa waktu tertentu misalnya satu bulan dari tanggal pembelian
Tapi bila telah lewat satu bulan itu dan tidak dilunasi, maka akan dikenakan bunga atas pinjaman tersebut yang besarnya bervariasi antara masing-masing perusahaan. Jadi bila dilihat secara syariah, kartu kredit itu mengandung dua hal. Pertama, pinjaman tanpa bunga yaitu bila dilunasi sebelum jatuh tempo. Kedua, pinjaman dengan bunga yaitu bila dilunasi setelah jatuh tempo.
Bila seseorang bisa menjamin bahwa tidak akan jatuh pada opsi kedua, maka menggunakan kartu kredit untuk berbelanja adalah halal hukumnya. Tapi bila sampai jatuh pada opsi kedua, maka menjadi haram hukumnya karena menggunakan praktek riba yang diharamkan oleh Allah SWT
Praktek ribawi yang paling klasik dan paling tua umurnya tidak lain adalah praktek peminjaman uang oleh para rentenir yang banyak beroperasi di tengah masyarakat umum. Dan lebih banyak lagi kita temukan mereka di pasar-pasar tradisional. Sebab di dalam pasar itu banyak sekali pedagang yang butuh modal kilat, kemudian setelah mereka berdagang seharian, sebagian dari keuntungannya digunakan buat membayar bunga renten
Para rentenir itu menyediakan jasa peminjaman uang tunai yang bisa dicairkan dalam waktu cepat, sehingga menjadi rujukan buat mereka yang butuh dana segar secara cepat. Tentu saja jasa itu bukan jasa gratisan, tetapi ada konsekuensi berat, yaitu kewajiban membayar bunga yang amat tinggi dalam waktu yang amat singkat. Dengan ketentuan seperti itu, hutang yang pokoknya tidak seberapa, akan segera menggelembung menjadi keuntungan puluhan kali lipat dalam waktu amat singkat.
Maka praktek bisnis meminjamkan uang dengan cara mudah dengan bunga tinggi cukup dikenal masyarakat bawah. Bahkan kadang disebut dengan ‘koperasi berjalan’, walaupun sebenarnya tidak lain hanyalah rentenir.
Meski jaman sudah maju, bank berdiri di setiap kota dan lorong, tapi rentenir tetap ada. Pelanggannya tetap banyak, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah. Meskipun mencekik, mereka yang terjerat tetap merasa berterima kasih karena tertolong. Namun mengaku lebih memilih rentenir karena urusan dengan mereka tidak ribet, dan cepat. Sedangkan untuk meminjam uang ke bank perlu mekanisme yang panjang, dan lama.
Peminjam langsung mendapatkan uang begitu saja dari rentenir. Hari ini pinjam, hari ini langsung cair. Berbeda dengan bank yang harus survei dan melihat kelayakan peminjam. Memang, uang yang diterima tidak utuh, karena dipotong biaya administrasi. Tapi umumnya peminjam lebih memilih rentenir karena kemudahan pencairan meski harus bayar lebih.
Selain itu ada juga praktek ribawi yang dijalankan sebagian BMT, BMT seharusnya menjadi salah satu alternatif agar masyarakat kelas bawah terhindar dari jerat para rentenir yang menghisap darah. Singkatannya saja baitul mal wat-tamwil, yang sangat kuat dikesankan punya loyalitas pada sistem syariah yang anti riba.
Namun kalau kita telusuri lebih dalam, tak jarang kita malah mendapatkan fakta-fakta yang menyedihkan. Tentu tidak terjadi pada semua BMT. Namun juga tidak bisa dibilang tidak ada. Ada sebagian dari BMT itu yang justru malah menerapkan akad-akad ribawi, yang seharusnya diperangi. Hanya saja karena BMT ini punya embel-embel syariah, maka orang merasa semua akad yang dijalankan sudah dijamin kehalalannya.
Bahkan tidak sedikit yang berkesimpulan, kalau peminjaman uang pakai bunga dijalankan oleh lembaga yang pakai embel-embel baitul mal, hukumnya lantas berubah menjadi halal. Padahal embel-embel syariah sama sekali tidak difungsikan untuk jadi jaminan.
Salah satu trik pelanggaran syariah yang dilakukan oleh para pengelola BMT adalah akad pembiayaan. Para pedangan kecil di pasar biasanya jadi sasarannya. Pagi mereka diberi uang pinjaman, besok sore mereka sudah harus bayar. Dan tentu saja pengembaliannya harus melebihi jumlah pinjaman.
Yang jadi haramnya adalah bahwa kelebihan pengembelian uang pinjaman itu sudah dipatok duluan di awal. Memang tidak disebut bunga, tetapi diganti dengan istilah yang lain, seperti prediksi keuntungan dan bagi hasil.
Seolah-olah kalau disebut dengan prediksi keuntungan dan bagi hasil, maka akad itu menjadi halal. Sedangkan kalau disebut dengan bunga, maka akad itu menjadi haram. Padahal keduanya sama persis dan tidak ada bedanya. Bedanya hanya pada penyebutan, tetapi hakikatnya satu juga.