Riba Era Modern : Bank Konvensional, Asuransi, Koperasi Simpan Pinjam

Salah satu pelaku utama praktek riba adalah bank konvensional, baik ketika bank itu meminjamkan uang atau ketika menerima tabungan nasabah. Di era ekonomi modern ini, nyaris hampir semua bidang kehidupan tidak bisa dilepaskan dari peranan bank. Bank nyaris menjadi urat nadi kehidupan, karena segala masalah keuangan selalu diselesaikan lewat bank.

Mulai dari menabung secara tradisional, membayar segala macam tagihan, biaya perjalanan ibadah haji, hingga berbagai bentuk transaksi pembiayaan, tidak ada satupun yang terlepas dari peranan bank.

Namun dalam kenyataannya teramat disayangkan bahwa bank yang banyak gunanya itu sulit melepaskan diri dari unsur praktek ribawi, khususnya bank konvensional. Bahkan boleh dibilang bahwa nyawa sebuah bank itu terletak pada ribanya. Tidak bisa dibayangkan sebuah bank bisa hidup tanpa menjalankan praktek riba.

Salah satu alternatif jalan keluarnya memang berharap pada keberadaan bank-bank syariah. Walaupun tetap saja disana-sini bank-bank syariah pun tidak pernah lepas dari keterbatasan. Sehingga meski sudah ada bank syariah, tetap saja keberadaan bank konvensional masih dibutuhkan.

Selain itu ada juga bentuk riba di era modern yang beruap asuransi. Riba pada perusahaan asuransi konvensional terletak pada investasi pada usaha-usaha dengan cara bunga. Dalam prakteknya, uang masuk yang bersumber dari premi para peserta yang sudah dibayar, kemudian diinvestasikan atau diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek ribawi.

Maka perusahaan asuransi itu mendapatkan bunga dari peminjaman uang, lalu sebagian keuntungan dari riba itulah nantinya yang di-share kepada pemilik anggota yang membayar premi. Maka secara langsung atau tidak langsung, ketika kita ikut suatu program dalam asuransi konvensional, bisa dipastikan uang kita pun akan ikut menjadi bagian dari perputaran ribawi.

Sementara di sisi lain, walaupun sekarang ini sudah banyak bermunculan produk asuransi berbasis syariah, namun tetap saja masih dalam keterbatasan, sehingga belum bisa menjadi alternatif utama agar kita terhindar secara 100% dari akad-akad ribawi

Selain bank konvensional dan asuransi, ada praktek riba di era modern ini yaitu koperasi simpan pinjam. Salah satu solusi untuk menguatkan ekonomi rakyat adalah dengan mendirikan koperasi. Karena prinsip koperasi adalah kebersamaan dan kegotong-royongan, dimana koperasi itu didirikan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun meski demikian, dalam prakteknya kadang koperasi pun melakukan hal-hal yang ribawi, justru kepada anggotanya sendiri.

Di antara bentuk praktek ribawi yang sering dijalankan oleh koperasi adalah produk simpan pinjam. Biasanya koperasi punya uang yang merupakan tabungan dari para anggotanya. Lalu tabungan itu dipinjamkan kepada siapa saja dari anggota yang membutuhkan uang, baik terkait dengan kebutuhan konsumtif ataupun produktif.

Lalu yang menjadi titik masalah adalah pada akadnya, yaitu keharusan memberikan ‘uang jasa’ atas pinjaman. Sudah pasti uang jasa ini tidak akan dinamakan bunga, namun sering diberi istilah lain, yang sekiranya orang tidak menyangkanya sebagai riba. Misalnya diberi-nama uang administrasi, atau fee keanggotaan, atau fee pencairan dan seterusnya.

Tentu saja penyebabnya bukan semata-mata ingin memeras anggota, tetapi boleh jadi justru lantaran ketidak-tahuan atau keawaman terhadap ilmu syariah. Namun bila prinsip riba terlaksana, sebenarnya apapun istilah yang digunakan, tetap saja termasuk akad ribawi yang hukumnya haram. Dan prinsip riba sederhana saja, yaitu pinjam uang yang ada kewajiban untuk memberikan tambahan pada saat pengembaliannya.

Namun kadang banyak orang yang berasalan bahwa fee atau uang jasa itu bukan termasuk riba, dengan alasan-alasa yang bermacam-macam. Banyak orang mengira hal tersebut menjadi halal asalkan peminjamnya ridha dan ikhlas. Seolah-olah ‘illat riba berada pada ketidak-ikhlasan peminjam

Padahal ‘illat haramnya riba bukan pada faktor keridhaan atau keikhlasan. Sebab dosa riba dan laknat Allah juga terkena kepada mereka yang diuntungkan dari praktek riba. Sementara orang yang diuntungkan dari praktek riba tentu saja ridha dan ikhlas.

آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama. (HR. Muslim)

Banyak juga orang mengira bahwa ‘illat haramnya riba itu semata-mata karena riba itu memberatkan peminjam, sehingga dianggap sebagai perbuatan zalim dan menindas. Lalu bila tidak ada unsur pemberatan bagi peminjam, lantas riba menjadi halal. Seringkali logika ini memanfaatkan ayat Al-Quran yang berbunyi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imran : 130)

Padahal ayat ini masih harus disempurnakan lagi dengan ayat lainnya, yang secara tegas mengharamkan sisa-sisa riba.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(Al-Baqarah : 278-279

Dan juga ada beralasan kehalalan riba dengan alasan dananya dari uang sendiri. Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa riba itu tidak berlaku keharamannya apabila dilakukan atas uang sendiri. Dan dari uang yang dipinjam itu sebenarnya ada hak anggota yang menjadi milik bersama.

Alasan ini punya kelemahan, yaitu ketika uang itu bukan 100% milik sendiri. Misalnya A sebagai anggota koperasi punya uang tabungan di koperasi 10 juta. Lalu dia pinjam kepada koperasi 20 juta. Memang benar sebagian dari uang itu adalah hak miliknya sendiri, namun sisanya tetap saja milik orang lain.

Oleh karena itu praktek ini tetap termasuk riba yang diharamkan. Karena tetap saja ada unsur pinjam uang orang lain dan ada kewajiban mengembalikan dengan kelebihan. Lain halnya bila seseorang punya tabungan sendiri sebesar 10 juta. Lalu dia ‘meminjam’ dari uang pribadinya itu sebesar 5 juta. Dan ketika mengembalikannya, ditambahkanlah 2 juta lagi sehingga menjadi 7 juta.

Praktek ini bukan riba karena tidak ada pihak kedua yang dipinjam uangnya. Dia hanya pinjam uangnya sendiri, yang sebenarnya secara akad tidak termasuk kategori pinjam. Sebab tidak ada istilah pinjam kalau harta itu miliknya sendiri.

Bagikan artikel ini ke :