Rahasia Ikatan Bathin

بسم الله الرحمن الرحيم. والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا وحبيبنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلي يوم الدين. أما بعد.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ  ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh, katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 85).

Dalam satu maqalah/ungkapan ulama ahli hikmah telah dikatakan:

قد يكون أقرب الناس إليك أبعدهم ويكون أبعدهم عنك أقربهم. فالقرب بالشعور لا بالحضور.

Terkadang orang terdekatmu menjadi orang yang paling jauh darimu, dan orang yang paling jauh darimu serasa paling dekat denganmu. Sebab kedekatan itu dengan perasaan, bukan dengan kehadiran.

Semua orang pasti sering merasakan suatu perasaan yang sedemikian rupa terhadap temannya, atau pasangannya, yakni merasakan adanya suatu kecocokan hubungan antara satu sama lain, merasakan seolah ada ikatan bathin dengan sahabatnya, atau pasangan hidupnya, bahkan terkadang kemana-mana selalu berdua atau saling bergerombol satu kelompok.

Dalam sebuah pertemanan kita sering mendengar istilah-istilah semisal sebutan “Konco kenthel, konco CS, konco plek, atau seperti saudara sendiri”, atau kebalikan dari itu semua, yakni pertentangan atau perpisahan, ketidak-akuran, berselisih paham, atau perasaan kurang sreg dengan temannya. Keadaan seperti ini merupakan bentuk hubungan non verbal yang mana seseorang kebingungan mencari alasan mengapa keakraban dan ketidak cocokan bisa terjadi antara satu sama lain, dan uniknya di satu sisi antara mereka saling berbeda usia, berbeda latarbelakang keluarga, dan lingkungan.

Dalam hal kecocokan ada semacam chemistry, yakni sebuah perasaan yang bertaut dan terkoneksi dengan orang lain secara naluriyah, sehingga terjadi komunikasi yang intens, ditunjang pula dengan karakter satu sama lain sama-sama saling mendukung, atau bahkan melengkapi satu sama lain. Sejauh ini sebagian besar orang masih bertanya-tanya ketika ditanya alasan mengapa dia bisa klop atau cocok dengan temannya, atau komunitasnya. Kalau kita hanya berpikir saja mencari alasan logisnya, maka pasti kesulitan akan menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.

Sebab untuk mencari jawaban mengenai persoalan ini tidak bisa tidak, kita harus masuk ke dimensi lain selain dari hal-hal yang bisa diperoleh dengan berangan-angan, atau berpikir keras. Kita harus masuk ke dimensi maknawi atau spiritual, yang dalam hal ini adalah ruh. Dengan begitu baru dapat kita peroleh jawaban logisnya.

Pada dasarnya Islam membangun pemahaman hukum yang tidak hanya berdasar logika manusia semata (ta’aqquli), sehingga manakala ia bisa memahami realitasnya baru merasa yakin, akan tetapi juga memakai logika Tuhan, yakni Allah Ta’ala, yang hanya bisa di imani tanpa harus ditanyakan mengapa, bagaimana, dan kapan itu ada (ta’abbudi), sehingga peran aqliyah/bersifat akal menjadi terhenti karena keterbatasan yang dimilikinya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ra dan Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Rasulullah SAW disebutkan:

الأرْواحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَما تَعارَفَ منها ائْتَلَفَ، وَما تَناكَرَ منها اخْتَلَفَ.

Ruh-ruh itu (seperti halnya) tentara yang direkrut, yang saling mengenal satu sama lain akan saling menyesuaikan, sedangkan yang bertentangan akan terpecah satu sama lain.

  1. Riwayat dari jalur Sayyidah Aisyah ra, status haditsnya shahih. (Lihat: Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, hadits No. 3336 (hadits Muallaq), dan Muslim, Shahih Muslim, No. 2638).
  2. Riwayat dari jalur Abu Hurairah ra, status haditsnya shahih. (Lihat: Muslim, Shahih Muslim, No. 2638, Ibnu Hibban, Shahih Ibni Hibban, No. 6168, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, No. 4834 (isnad haditsnya dihukumi shalih/bagus), Az-Zarqani, Mukhtashar Al-Maqashid, hal. 88, statusnya shahih. Sedangkan dalam kitab Tarikh Baghdad-nya Khathib Al-Baghdadi: 4/99, status isnadnya gharib/janggal).
  3. Riwayat dari jalur Ali bin Abi Thalib ra, status haditsnya dha’if. (Lihat: Al-Uqaily, Adh-Dhu’afa Al-Kabir: 1/135 (hadits mauquf), Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath, No. 5220, Abu Syaikh, Amtsalul Hadits, No. 107, Abu Nuaim, Ma’rifat Ash-Shahabah, No. 4945, sedangkan pada kitabnya yang lain, Hilyatu Al-Auliya’: 4/118, statusnya gharib/janggal).
  4. Riwayat dari jalur Abdullah Ibnu Mas’ud ra, status isnad haditsnya shahih. (Lihat: Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawa’id Wa Manba’ Al-Fawa’id: 8/90, Al-Bushiri, Ithaf Khaira Mahrah: 6/163 (perawi haditsnya tsiqat/terpercaya), dan As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, No. 3036 (shahih).
  5. Riwayat dari jalur Salman Al-Farisi ra, status isnad haditsnya tafarrud (menyendiri). (Lihat: Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath: 2/160), karena adanya seorang perawi yang bernama Muhammad bin ‘Ammar yang menyendiri dalam periwayatan.
  6. Riwayat dari jalur Amir bin Watsilah Abi Thufail ra, statusnya gharib. (Lihat: Abu Nuaim, Hilyatu Al-Auliya’: 5/78).

Tentang redaksi hadits ini para ulama berbeda pendapat, sebagian dari mereka menjelaskan pengertiannya sebagaimana berikut:

اختلف في معنى قوله صلى الله عليه وسلم: الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف، وما تناكر منها اختلف، فقيل: هو إشارة إلى معنى التشاكل في الخير والشر، والصلاح والفساد، وأن الخير من الناس يحث إلى شكله، والشرير يميل إلى نظيره، فتعارف الأرواح يقع بحسب الطباع التي جبلت عليها من خير أو شر، فإذا اتفقت تعارفت، وإذا اختلفت تناكرت.

ereka berselisih tentang arti sabda Nabi SAW: “Ruh itu adalah seperti iringan tentara yang berbaris, yang saling mengenal satu sama lain maka akan saling akrab, sedangkan yang saling bersebrangan (tidak saling kenal/akrab) maka akan berselisih paham. Dikatakan mengenai maknanya hadits ialah tentang arti kesamaan dalam hal kebaikan dan kejahatan, antara kerukunan dan kerusakan, dan bahwa kebaikan seseorang memotivasi bentuknya, dan si jahat cenderung pada pasangannya, sehingga pengenalan jiwa terjadi sesuai dengan kodratnya, karakter pembawaan (dominasi antara) baik atau jahat.” (Lihat: As-Suyuthi, Syarhus Shudur, hal. 570).

وقيل: المراد: الإخبار عن بدء الخلق؛ على ما ورد: أن الأرواح خلقت قبل الأجساد، فكانت تلتقي فتتشام، فلما حلت الأجساد تعارفت; بالمعنى الأول، فصار تعارفها وتناكرها على ما سبق من العهد المتقدم. وقال بعضهم: الأرواح وإن اتفقت في كونها أرواحا؛ لكنها تتمايز بأمور مختلفة، تتنوع بها، فتشاكل أشخاصا؛ كل نوع تألف نوعها، وتنفر من مخالفها.

Dikatakan pula bahwa yang dimaksud ialah tiada lain untuk memberikan informasi tentang awal suatu penciptaan menurut apa yang telah disebutkan bahwa ruh telah diciptakan sebelum tubuh/jasad, dan ruh-ruh itu sebelum terciptanya jasad sudah terbiasa saling bertemu dan berpelukan, dan ketika tubuh diciptkan maka ruh-ruh itu berkenalan, menurut pengertian yang pertama (yakni terkait baik dan buruk, dsb). Jadi pengenalan dan pertentangan ruh-ruh saat masuk ke dalam jasad menjadi sesuai dengan apa yang dahulu terjadi di masa sebelumnya, yakni masa dimana Allah belum menciptakan jasad/tubuh.” (Lihat: Al-Hakim At-Tirmidzi, Kitab Nawadir Al-Ushul, hal. 409).

Beberapa dari para ulama mengatakan: “Ruh itu, sekalipun sesuai dengan keadaannya yang memang berupa ruh, akan tetapi dibedakan dengan ciri-ciri yang berbeda pula, beraneka macam bentuk, sehingga kemudian saat terbentuk wujud manusia (Allah menciptakan jasad), maka setiap jenis dari ruh itu akan akrab dengan jenisnya, sedangkan yang tidak sejenis akan bersebrangan (menjauh).”

Penjelasan di atas dapat kita sederhanakan begini: Saat ruh dimasukkan oleh Allah ke dalam jasad, yakni terlahir ke dunia, maka ruh itu akan menuntun jasad untuk mencari siapa teman-temannya dahulu ketika di alam ruh. Sedangkan tiap-tiap kelahiran tidaklah bersamaan waktunya, sehingga jasad yang berisi ruh-ruh itu ketika di dunia akan mengalami perbedaan dari berbagai segi, mulai dari masa kelahiran, usia, lingkungan, keluarga, bakat, profesi, dan sebagainya.

Sekalipun demikian, ruh-ruh itu tidak berubah, ia tetap akan mengenali siapa-siapa yang menjadi temannya dahulu kala, dan dalam hal pengenalan, ruh-ruh itu kemudian menuntun jasad untuk mulai mencari. Sehingga sering kita jumpai seseorang yang usianya lebih tua terkadang sangat akrab dengan yang usianya terpaut beberapa tahun di bawahnya, atau selisih lebih sedikit daripada itu, tanpa melihat jenis gender, ras, suku bangsa, status sosial kaya atau miskin, berkedudukan atau tidak, dan sebagainya.

Di satu sisi, dalam proses pencarian ini ruh-ruh itu akan memberikan sinyal berupa ta’alluq atau ikatan dengan satu sama lain saat manakala jasad-jasad itu bertemu. Di tahap ini, seringkali terjadi fase adaptasi saat seseorang tengah menjalin hubungan satu sama lain. Adakalanya di awal pertemuan itu, ruh-ruh tersebut saling memberi sinyal satu sama lain, diantaranya muncul perasaan “klik” atau keragu-raguan, yang mana tidak disadari oleh aqliyah (akal)

Hingga pada tahap-tahap selanjutnya dengan seiring berjalannya waktu akal pikiran mulai menyadari dan menemukan jawaban dari perasaan yang muncul pertama kali tersebut. Inilah mengapa terkadang seseorang mengatakan, “Dari awal dalam hati saya sudah agak ragu…”, atau ungkapan “Dari pertama kali bertemu saya sudah merasa klik dengan dia, saya merasa nyaman”, atau ungkapan-ungkapan lainnya yang mengindikasikan kecocokan dan tidak.

Terkadang pula ruh-ruh itu memberikan sinyal melalui isyarat-isyarat berupa bahasa tubuh. Semisal ketika duduk dengan orang yang baru dijumpainya, adakalanya kita merasakan suatu ketidaknyamanan sehingga tidak betah duduk berlama-lama disampingnya, atau apabila ruh itu memberi isyarat positif, maka terjadilah obrolan panjang lebar sehingga terjalinlah suatu keakraban yang langgeng.

Dalam hal jodoh pun demikian. Terkadang kita menjumpai sepasang suami istri yang tiap terjadi suatu masalah berujung pada pertengkaran, tapi tak lama kemudian akur kembali, dan demikian seterusnya sampai keduanya dipisahkan oleh kematian, dan ini disamping ketentuan takdir Allah, juga karena ruhnya sudah saling cocok satu sama lain. Di sisi lain, ada pula yang romantisnya ndak ketulungan hingga membuat orang lain cemburu, tapi begitu sekali terjadi pertengkaran, eh, ujung-ujungnya cerai.

Untuk memperkuat alasan ini, di dalam kitab Tarikh Madinah Damsyiq-nya Ibnu Asakir disebutkan:

عن هرم بن حيان قال: أتيت أويس القرني، فسلمت عليه، ولم أكن رأيته قبل ذلك، ولا رآني، فقال لي: وعليك السلام ياهرم بن حيان. قلت: من أين عرفت اسمي واسم أبي ولم أكن رأيتك قبل اليوم ولا رأيتني قال: عرفت روحي روحك حيث كلمت نفسي نفسك. إن الأرواح لها أنفاس، كأنفاس الأجساد وأن المؤمنين ليعرف بعضهم بعضا، ويتحابون بروح الله، وأن لم يلتقوا.

“Telah diriwayatkan dari Haram bin Hayyan, bahwa ia berkata: “Aku datang menemui Uwais Al-Qarni dan menyapanya, sedangkan aku belum pernah melihat dia sebelumnya, demikian pula dia juga tidak pernah melihatku. Saat aku berucap salam padanya, Uwais menjawab: Wa’alaikassalam wahai Haram bin Hayyan.” Maka Haram bin Hayyan terkejut dan berkata padanya: “Bagaimana Anda tahu nama saya dan nama ayah saya, sedangkan saya belum pernah melihat Anda sebelumnya selain hari ini, dan Anda juga tidak pernah melihat saya?”

Maka Uwais berkata: “Ruh-ku kenal dengan ruh-mu seperti saat aku berbicara kepada dirimu (saat ini). Sesungguhnya ruh-ruh itu memiliki nafas, seperti halnya tubuh bernafas, dan sesungguhnya orang-orang yang beriman (mukmin) itu saling mengenal satu sama lain, dan saling mencintai sebab rahmatnya Allah, bahkan jika mereka tidak saling bertemu sekalipun.” (Lihat: Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Damsyiq: 9/447. Maksud dari anfasun ka anfasil ajsad ialah bentuk seperti halnya bentuk jasad, hanya saja ruh berupa lathaif, bukan jisim).

Ath-Thusi pada kitabnya, Uyun Al-Akhbar, menyebutkan riwayat dari Sayyidah Aisyah ra:

عن عائشة رضي الله تعالى عنها أن امرأة كانت بمكة تدخل على نساء قريش تضحكهم، فلما هاجرت إلى المدينة قدمت علي، فقلت: أين نزلت؟ قالت: على فلانة امرأة كانت تضحك بالمدينة، فدخل رسول الله، فقال: فلانة المضحكة عندکم؟ قلت: نعم. قال: على من نزلت؟ قلت: على فلانة المضحكة. قال: الحمد لله إن الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف.

“Riwayat dari Sayyidah Aisyah ra, bahwa seorang wanita di Makkah biasa memasuki (perkumpulan) wanita Quraisy untuk membuat mereka tertawa, dan ketika dia berpindah ke Madinah, dia datang kepadaku, dan aku bertanya padanya: “Dari mana kamu datang?” Dia menjawab: Dari tempat si fulanah seorang wanita yang suka tertawa (bercanda) di Madinah,

Lalu Rasulullah SAW masuk dan bertanya: “Si fulanah yang suka melucu/bercanda ada bersama kalian?” Si wanita itu bilang; “Iya”. Kemudian Nabi SAW bertanya lagi: “Kepada siapa kamu datang (ke Madinah ini)?” Lalu si wanita menjawab: “Pada si fulanah yang suka bercanda itu.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Segala puji bagi Allah, bahwa ruh-ruh itu (laksana) tentara yang beriringan….” (Lihat: As-Sakhawi, Al-Maqashid Al-Hasanah Fi Bayani Katsir Min Al-Ahadits Al-Musytaharah Ala Al-Sinah, hal. 103-104, No. 95).

Bagikan artikel ini ke :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *