Islam sangat menganjurkan ketelitian periwayatan/sanad sebagai mata rantai atas penyandaran keilmuan, terutama dalam bidang Qur’an (qira’at) dan Hadist (matan). Untuk itu Islam mengajak kita selaku ummatnya agar mengetahui kebenaran, mencari, dan meneliti setiap yang kita dengar maupun yang kita lihat.
Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, Juz 26, ayat 6, Allah SWT berfirman;
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Kemudian dalam suroh Al-Isra’, Juz 15, Ayat 36;
(وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
Begitupun Nabi SAW memperingatkan agar tidak berdusta secara umum dan khususnya tidak berdusta atas nama Nabi SAW. Dalam hadist mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ibn Hajjaj, Rasulullah SAW bersabda;
ان كذبا علي ليس ككذب علي احد، فمن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. رواه البخاري (1229) ، ورواه مسلم في مقدمة صحيحه (3)
“Berbohong atas namaku tidak lah sama seperti berbohong atas nama orang lain, maka barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempatnya di neraka”. (HR. Al Bukhari (1229), Muslim dalam muqaddimah Shahih Muslim (3).
Untuk itu dalam kaedah musthalah hadist, periwayatan yang teliti dan benar sangat dibutuhkan agar senantiasa jauh dari kedustaan dan kecurangan. Imam Muslim ibn Hajjaj meriwayatkan;
من حدث بحديث يرى انه كذب فهو احد الكاذبين. رواه مسلم (1).
“Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadist yang diketahui kebohongannya, maka ia termasuk salah satu dari pembohong juga”. (HR. Muslim, (1).
Sekarang mari kita coba lihat ketelitian periwayatan hadist dimasa sahabat. Sebagaimana kita ketahui bahwa Khulafa’ ar-Rasyidin terutama Abu Bakar ra dan Umar ibn Khatthab ra sangat hati-hati dalam menerima hadist. Beliau meneliti hadist dan perawinya serta meminta kesaksian dari orang lain atas kebenaran hadist tersebut. Begitu juga ketika seseorang menceritakan hadist kepada sahabat Ali ibn Abi Thalib krw, maka beliau meminta sumpah orang tersebut, jika berani bersumpah barulah beliau mau menerima hadist yang diriwayatkan orang tersebut. beliau berkata;
حدثوا الناس بما يعرفون ودعوا ما ينكرون، اتحبون ان يكذب الله ووسوله. (تذكرة الحفاظ، ص 12)
“Ceritakanlah apa yang mereka ketahui dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari, apakah engkau senang apabila Alloh dan RosulNya didustakan” (Tadzkirah al-Huffadz, Hal. 12)
Masih dalam kitab yang sama (Tadzkirah al-Huffadz, Hal. 15) Sahabat Abdullah ibn Mas’ud ra berkata;
كفي بالمرء اثما ان يحدث بكل ما سمع. ما انت تحدث قوما حديثا لا تبلغه عقولهم الا كان فتنة لبعضهم.
“Cukuplah sebagai suatu dosa orang yang mencetitakan segala apa yang ia dengar. Janganlah engkau menceritakan kepada suatu kaum dengan hadist yang tidak terjangkau oleh akal mereka, karena akan menimbulkan fitnah bagi sebagian dari mereka”.
Nah, sekarang kita rujuk ketelitian periwayatan dimasa Tabi’in.
Dalam kitab “Fii Rihaab as-Sunnah al-Kutub as-Sihah as-Sittah” yang ditulis oleh DR. Muhammad Abu Syuhbah, Hal 33 (terj), menukil dari Shahih Muslim, bahwa Imam Ibnu Sirin berkata;
قال ابن سرين، ان هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu hadist ini adalah agama, maka telitilah orang yang engkau ambil ajaran agama itu”.
وقال سفيان الثوري، الاسناد سلاح المؤمن
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy, “Sanad Hadist adalah senjata orang mukmin”.
وقال عبدالله ابن المبارك، الاسناد من الدين لو لا الاسناد لقال من شاء ما شاء
Berkata Abdulloh Ibn Al Mubarok, “Sanad itu merupakan ketentuan agama, seandainya tanpa sanad maka orang akan berbicara seenaknya”.
وقال الشافعي، مثل الذي يطلب الحديث بلا اسناد كحاطب ليل
Imam Asy-Syafii berkata, “Perumpamaan orang yang mencari hadist tanpa sanad, bagaikan pencari kayu bakar dimalam hari”.
Dan ini berlaku dalam fan keilmuan lainnya agar otoritas dan urgensinya terjaga dengan baik. Jadi dalam Islam tidak dikenal yang namanya ilmu “gothak-gathuk asal mathuk”.
Wallahu a’lam Bisshawab.