Penting Mengetahui Azbabun Nuzul Suatu Ayat

Secara etimologis asbabun-nuzul terdiri dari dua kata, yaitu Asbab (أسباب ) adalah bentuk jamak dari sabab (سبب ) dengan arti sebab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebab adalah hal yang menyebabkan sesuatu, lantaran, karena dan (asal) mula. Kata kedua adalah Nuzul yang artinya turun, dalam KBBI arti dari kata turun adalah bergerak dari atas ke bawah, bergerak ke tempat yang lebih rendah daripada tempat semula

Jika dihubungkan dengan Al-Qur’an, menurut seorang umalama Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani dalam kitab Manahil al-iIrfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, asbabun nuzul harus dipahami secara majazi (metaforis), bukan hakiki, yaitu الإظهار (menampakkan) atau الإعلام (memberitahukan) atau الإفهام (memahamkan). Dengan pemahaman secara metaforis tersebut Nuzul Al-Qur’an berarti peroses penampakan, pemberitahuan dan pemahaman Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian secara istilah yang dimaksud dengan asbabun nuzul adalah hal yang menjadi sebab turunnya satu ayat.

Hal yang menjadi sebab bisa suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Dalam bentuk peristiwa misalnya yang telah dijelaskan oleh az-Zarqani, dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an, beliau menjelaskan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur Ikrimah dari Ibn Abbas bahwasanya Hilal ibn Umayyah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa isterinya berzina dengan Syarik ibn Samhak, lalu Nabi memintanya menunjukkan bukti dengan menghadirkan empat orang saksi. Kalau tidak, justru punggung Hilal yang akan dicambuk. Hilal menyatakan kepada Nabi, apakah jika seseorang mendapatkan isterinya sedang berzina dengan seorang laki-laki, dia harus pergi mencari saksi terlebih dahulu

Nabi tetap dengan keputusannya, yaitu apabila Hilal tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka justru dia sendirilah yang akan dihukum. Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi, maka Hilal berharap Allah akan menurunkan ayat yang akan membebaskan dirinya dari hukuman karena dia merasa benar. Hilal berkata “Demi Allah, Dzat yang mengutus engkau dengan haq, sesungguhnya aku benar dan mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang menghindarkanku dari hukum cambuk” . Maka turunlah Jibril AS membawa surat An-Nur 6-9 sebagai petunjuk bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah seperti ini.

Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتٍ بِٱللَّهِ ۙ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ. وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ. وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتٍ بِٱللَّهِ ۙ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ. وَٱلۡخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (Q.S. AnNur 24: 6-9)

Dalam bentuk pertanyaan misalnya apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Ishaq dari Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa pendeta-pendeta Yahudi di Madinah mengatakan kepada utusan Quraisy yang datang menemui mereka: “Tanyakanlah kepada Muhammad tentang tiga hal. Jika ia tidak dapat menjawabnya, maka ia hanyalah orang yang mengaku-ngaku jadi Nabi. Tanyakanlah kepadanya tentang pemuda-pemuda zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi pada mereka, karena cerita tentang pemuda itu sangat menarik. Tanyakanlah kepadanya tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa pula yang terjadi padanya. Dan tanyakan pula kepadanya tentang ruh, apakah ruh itu?”

Ketika utusan Quraisy menanyakan hal itu kepada Nabi, beliau menjawab: “Aku akan menjawab apa yang kalian tanyakan itu besok.” Besok wahyu tidak turun menjawab pertanyaan tersebut, bahkan Nabi menunggunya sampai 15 malam, Jibril pun tidak datang membawa wahyu. Nabi sedih dan tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy. Pada suatu ketika datanglah Jibril membawa Surat Al-Kahfi ayat 9-26 menjawab semua pertanyaan mereka tentang Ashhab al-Kahfi, Zulqarnain dan tentang ruh. Salah satu di antara ayat yang turun itu menegur Nabi karena telah menjanjikan sesuatu tanpa menyatakan insya Allah.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاْىۡءٍ إِنِّى فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا. إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّى لِأَقۡرَبَ مِنۡ هَٰذَا رَشَدًا

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi”, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”, dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”. (Q.S. Al-Kahfi 18: 23-24)

Tidak Semua Ayat Ada Asbabun Nuzulnya

Perlu dijelaskan di sini bahwa tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan karena ada peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan. Menurut Syekh Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani dalam kitab Manahil al-iIrfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, ada ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT sejak semula tanpa terkait dengan sebab-sebab khusus, semata memberikan petunjuk kepada umat manusia untuk menuju kebenaran. Ayat-ayat tanpa asbabun nuzul ini merupakan bagian terbesar dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Paling sedikit ada tiga kemungkinan mengapa tidak seluruh ayat Al-Qur’an dapat diketahui sebab-sebab yang melatarbelakangi penurunannya. Dan masing-masing kemungkinan itu terkait erat antara satu dengan yang lain. Kemungkinan pertama tidak semua hal yang bertalian dengan proses turun Al-Qur’an ter-cover oleh para sahabat yang langsung menyaksikan proses penurunan wahyu Al-Qur’an.

Kedua, penyaksian para sahabat terhadap hal-hal yang berkenaan dengan proses penurunan wahyu Al-Qur’an tidak semuanya dicatat. Kalaupun kemudian dicatat, pencatatan itu sendiri dapat dikatakan sudah terlambat. Sehingga, kalaupun semua proses penurunan Al-Qur’an itu secara keseluruhan terekam oleh para sahabat, tentu ada yang hilang dari ingatan mereka mengingat keterlambatan pencatatan itu tadi.

Muhammad Amin Suma menambahkan dalam tulisannya Ulumul Qur’an, sebab yang ketiga, terbuka lebar kemungkinan ada sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang penurunannya memang tetap dipandang tepat dengan atau tanpa dikaitkan langsung dengan suatu peristiwa/untuk mengenali sebab nuzul ayat, selain bisa ditelusuri melalui sejumlah kitab tafsir, atau dengan pertanyaan yang mendahuluinya.

Tidak ada cara untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih dari Nabi dan para sahabat yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan mengetahui peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Menurut Al-Hafizh Jalal ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi dalam maestronya Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Cetakan Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 89. “Tidak boleh berpendapat mengenai asabun nuzul kecuali dengan berdasarkan kepada riwayat atau mendengar langsung dari orangorang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sugguh dalam mencarinya“.

Riwayat seorang sahabat tentang asbabun nuzul dapat diterima sekalipun tidak dikuatkan oleh riwayat lain, karena pernyataan seorang sahabat tentang sesuatu yang tidak masuk lapangan ijtihad dinilai sebagai riwayat yang marfu’ kepada Nabi. Telah disepakati oleh para ulama bahwa para sahabat tidak mungkin berbohong atas nama Nabi Muhammad SAW. Mereka semua mengetahui dan takut dengan ancaman Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas RA

Berhati-hatilah dalam meriwayatkan hadits dariku, kecuali yang kalian benar-benar mengetahuinya. Sebab barangsiapa yang mendustakan atas diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia besiap-siap menempati neraka. Dan barangsiapa berdusta atas Al-Qur’an tanpa ilmu, meka hendaklah ia bersiap-siap juga menempati neraka.(H. R. Ahmad dari Ibn Abbas)

Syekh Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani menambahkan Apabila asbabun nuzul diriwayatkan oleh hadits mursal shahabi (dalam sanadnya gugur seorang sahabat dan hanya sampai tabi’in), maka riwayat tersebut tidak dapat diterima kecuali jika dikuatkan oleh hadits mursal lainnya dan perawinya termasuk imam-imam tafsir yang meriwayatkan dari para sahabat seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa’id ibn Jabir.

Bagikan artikel ini ke :