Pembuatan Mushaf Al-Qur’an Seperti Menyusun Puzzel

Dahulu pada jaman Nabi banyak sahabat huffadz, kenapa susah-susah mengumpulkan bagian-bagian Al-Qur’an yang tersebar di kalangan sahabat. Kenapa tidak mengandalkan saja hafalan dari para huffadz, dan menulis ulang lagi dari hafalan huffadz.

Memang logika sederhana kita serta kapasitas ilmu kita yang terbatas pasti berpikir begitu. Namun kalau kita belajar ilmu rasm, jawabnnya akan menjadi jelas. Intinya masalah penulisan teks ayat Al-Qur’an ternyata bukan sesuatu yang sifatnya ijtihadi, dimana apa yang kita hafal bisa dengan seenaknya kita tuliskan begitu saja.

Dalam ilmu rasm. teknis penulisan itu justru masuk wilayah tauqifi. Tidak bisa seenaknya ditulis sesuai bunyinya, namun harus ikut petunjuk NAbi SAW. Asal tahu saja ketika wahyu turun, Nabi SAW memerintahkan para shahabat untuk menuliskannya di hadapan Beliau. Kenapa menuliskannya harus dihadapan Beliau? Karena penulisan Al-Qur’an tidak selalu sesuai bunyinya, sehingga nilai tulisan itu menjadi berifat tauqifi dan bukan semata-mata ijtihadi.

Perhatikan huruf alif pada lafaz bismillah (بسم الله). Seharusnya kan ditulis (بإسم الله). Namun saat menuliskannya di depan Nabi SAW, semua shahabat kompak menghilangkan huruf alif pada kata ism. Ternyata huruf alif menghilang dari kata ism. Tidak ada alasan ilmiyah kenapa huruf alif harus menghilang di lafadz basmalah.

Sekarang bandingkan keberadaan huruf alif pada lafadz yang sama, tapi di ayat pertama surat Al-‘Alaq yaitu iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq. Ternyata huruf alif pada kata ism muncul dan dituliskan dengan apa adanya menjadi (باسم ربك). Tidak ada alasan ilmiyah kenapa huruf alif tetap ada di lafadz ini.

Penjelasannya bahwa cara menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu bersifat tauqifi, bukan ijtihadi. Maka Zaid bin Tsabit tidak menuliskan ayat Al-Qur’an berdasarkan hafalannya, melainkan berdasarkan naskah asli yang bersifat tauqifi dari masa Nabi SAW.

Bagikan artikel ini ke :