Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.
إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat meski ada ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, tetapi bukan berarti tubuh mereka najis. Ada dua alasan mengapa kita tidak mengambil ayat ini secara lahiriyah.
Pertama, para ulama dalam Al-Khatib Asy-syarbini mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secara fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu yang merupakan najis adalah aqidah mereka yang mereka yakini. Aqidah orang kafir yang menyekutukan Allah itulah yang hukumnya najis. Kedua, bahwa ayat di atas tidak terkait dengan najis secara hakiki atau ‘ain, melainkan secara hukmi. Najis hukmi maksudnya bukan najis, melainkan berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Maksudnya tubuh orang tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Dan mereka memang tidak pernah melakukannya. Namun tubuh mereka bukan benda najis, yang apabila terkena pada badan kita harus dicuci.
Hujjah lainnya bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota-bene adalah orang kafir di dalam masjid.
عَن عثمَانَ ابنِ أَبِى العَاصِ أَنزَلَ النّبيّ وفدَ ثَقِيف فِي المسجِدِ
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
Dalil yang ketiga bahwa tubuh orang kafir bukan termasuk benda najis adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang kafir yang datang kepada beliau SAW dan Abu Bakar minum susu bersama-sama dengan orang kafir dari wadah yang sama.
أُتِي عَلَيهِ الصَّلَاة وَالسَّلَمُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعضَه وَنَاوَل البَاقِيَ أَعرَابِيًّا كانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُم نَاوَلَه أَبَا بَكر رَضِيَ اللّٰه عَنه فَشَرِبَ وَقَال : الأيْمَنَ فَالأيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata, ‘Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Kalau tubuh orang kafir itu najis, maka seharusnya beliau SAW tidak mau minum dari bekas mulut orang kafir.
Jika muslim menjadi penerima donor darah dari orang kafir tentu boleh saja. Memang ketika darah itu baru dikeluarkan dari tubuhnya, saat itu darah itu memang najis, baik pendonornya muslim atau bukan muslim.
Namun begitu darah segar itu dimasukkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah itu sudah tidak najis lagi. Dan darah orang kafir yang sudah masuk ke dalam tubuh seorang muslim juga tidak najis. Sehingga hukumnya tetap boleh dan dibenarkan ketika seorang muslim menerima transfusi darah dari donor yang tidak beragama Islam.