MTQ adalah kepanjangan Musabaqah Tilawatil Qur’an. Artinya secara bebas adalah lomba membaca Al-Qur’an. Lomba seperti ini berlangsung setiap tahun yang diikuti oleh para qari’ dan qari’ah dari seluruh Indonesia. Dan ada seleksi mulai dari tingkat kabupaten, propinsi dan akhirnya tingkat nasional. Kalau kita telusuri, ternyata kegiatan MTQ telah ada di Indonesia sejak tahun 1940-an, yaitu sejak adanya Jam’iyyatul Qurra wal Huffadz, sebuah institusi yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia.
Namun MTQ yang dilembakan secara resmi di level pemerintahan, baru dimulai sejak tahun 1969 oleh Departemen Agama RI. Saat itu yang menjadi Menteri Agama adalah K.H. Muhammad Dahlan, yang kebetulan juga termasuk salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Sejak itulah MTQ dilembagakan secara nasional. MTQ pertama diselenggarakan di Makassar pada bulan Ramadhan tahun 1968. Dan hingga kini MTQ sudah berlangsung 27 kali.
Sangat populer di tengah masyarakat bahwa MTQ hanya melombakan seni membaca Al-Qur’an (nagham). Seperti Bayati, Syika, Nahwand, Rost, Jiharka, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya kalau didalami, ternyata yang dilombakan bukan hanya lagu, ada jugalomba cerdas cermat, MSQ atau Musabaqah Syarhil Qur’an, yaitu lomba memberi penjelasan pada ayat Al-Qur’an, bahkan termasuk juga ada lomba kaligrafi, dan lain sebagainya.
Kalau ditelurusi dalam sirah nabawi, memang nabi Muhammad SAW tidak pernah mengadakan lomba yang terstruktur seperti ini. Dan juga tidak pernah disebut dengan istilah MTQ secara khusus. Jadi kalau mau dikatakan bid’ah, sebagai istilah secara bahasa memang benar. Karena arti kata bid’ah secara bahasa memang merujuk kepada makna sesuatu yang baru, atau mengadakan dari yang tidak ada sebelumnya sehingga menjadi ada.
Namun kalau yang dimaksud dengan bid’ah adalah bid’ah yang sesat dan menyesatkan, tentu saja tidak bisa diterima. Apakah sekelompok orang yang saling berlomba untuk membaca Al-Qur’an dengan baik dan indah, lantas jadi masuk neraka? Kalau memang demikian, harus ada dalil yang qath’i dan eksplisit yang menyebutkan bahwa siapa saja yang melombaka membaca Al-Qur’an akan dilaknat dan masuk neraka.
baca : Al-Qur’an Ada Dua Macam?
Kriteria memasukkan segala sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW sebagai bid’ah sebenarnya agak gegabah. Karena akan melahirkan beberapa konsekuensi yang membingungkan. Kriteria seperti ini agak lemah dan mematikan langkah. Karena pada akhirnya akan ada begitu banyak tanaqudhat (ketidak-kosekuenan). Sebuah rumus yang kalau diuji masih menimbulkan banyak masalah besar. Dan akan ada begitu banyak bid’ah pada akhirnya kalau demikian.
Contoh kalau kita buat perbandingan, dahulu di masa Rasulullah SAW masih hidup, beliau tidak pernah memerintahkan untuk membukukan Al-Quran dalam satu bundel (jilid). Mushaf yang kita miliki sekarang ini, kalau mau pakai kriteria di atas, berarti seharusnya juga bid’ah. Sebab di zaman nabi belum ada, bahkan nabi SAW tidak pernah memerintahkannya.
Mushaf baru dijilid jadi satu di zaman Abu Bakar atas usulan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Awalnya Abu Bakar pun menolak usulan itu, bahkan secara implisit, beliau berpendapat bahwa hal itu merupakan bid’ah. Barulah setelah Umar memberikan wawasan yang lebih luas dan mendalam tentang mengapa kita perlu membukukan Quran dalam satu jilid, akhirnya Allah SWT melapangkan dada Abu Bakar. Dan jadilah mushaf ada di tangan kita hari ini.
Kalau logika bid’ah yang di atas mau diterapkan, maka seharusnya semua mushaf itu harus dibakar habis, karena membukukan Al-Quran, apalagi mencetaknya besar-besaran, sampai ditambahi harakat dan titik di sana sini, semua itu seharusnya juga bid’ah. Kenapa mushaf tidak dibid’ahkan?
Kalau logika kriteria bid’ah di atas mau diterapkan, maka seharusnya sistem penanggalan hijriyah juga termasuk bid’ah. Sepanjang hayatnya, Rasulullah SAW tidak pernah memberi isyarat apapun apalagi perintah, untuk membuat kalender Islam yang dimulai tahun perhitungannya sejak tahun terjadinya peristiwa hijrah beliau SAW. Penetapan itu dilakukan setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, bahkan setelah Abu Bakar meninggal juga. Baru di zaman khalifah Umar ditetapkan hal itu. Aneh sekali, kenapa sistem kalender hijriyah itu tidak ikut dibid’ahkan?
baca : Pembuatan Mushaf Al-Qur’an Seperti Menyusun Puzzel
Dan seharusnya yang paling harus dibid’ahkan pertama kali adalah ilmu naqd (kritik) hadits, termasuk di dalamnya al-jarhu watta’dil. Sebab isitlah-isitlah yang kita gunakan dalam ilmu itu seperti hadits shahih, hasan, dhaif, mursal, dan lain-lainnya tidak pernah ada di zaman nabi. Bahkan beliau SAW tidak pernah memerintahkan kita untuk menggunakan istilah-isitlah itu tersebut.
Semua orang di zaman nabi mendengar kabar bahwa Rasulullah berkata begini dan begitu, langsung percaya. Tidak ada ceritanya mereka harus mengelompokkan para perawi hadits itu dengan beragam isitlah, seperti tsiqah atau kadzdzab. Kenapa ilmu al-jarh watta’dil tidak ikut dibid’ahkan?
Maka yang seharusnya dikaji ulang adalah acuan dalam membuat kriteria perbuatan bid’ah. Apakah benar bid’ah yang sesat itu hanya mengacu kepada makna bahasa? Apakah benar bahwa bid’ah adalah segala yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW? Jadi kalau begitu, 1, 5 milyar umat Islam sedunia hari ini juga merupakan barang bid’ah. Sebab kita semua ini belum pernah ada di zaman nabi, bukan? Lalu apakah seluruh umat Islam sedunia ini pasti sesat dan masuk neraka, hanya karena mereka tidak pernah ada di zaman beliau SAW?