Menyelewengkan atau menistakan ayat Al-Qur’an biasanya dilakukan oleh orang kafir atau orientalis jahat yang mempunyai niat untuk merusak agama Islam,. Namun sebenarnya potensi menyelewengkan Al-Qur’an malah sering dilakukan oleh kita sendiri sebagai muslim. Kita yang mempunyai semangat belajar keagaaman tinggi, jika ilmu kita kurang memenuhi syarat dan kapasitas dalam memahami isi Al-Qur’an, justru kita yang menjadi tokoh jahat sebagai orang yang menyelewengkan dan menistakan Al-Qur’an.
Kita sebenarnya punya niat baik dan amat cinta terhadap Al-Qur’an, namun sangat besar kemungkinan kita tanpa sadar telah terjebak kekeliruan yang fatal ketika mulai menafsir ayat-ayat itu tanpa ilmu yang benar, dan seringkali hanya berdasarkan cocoklogi semata.
Tanpa sadar ternyata ayat-ayat Al-Qur’an yang suci dan mulia telah kita tafsiri dan kita maknai dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan oleh para ulama Al-Qur’an sepanjang 14 abad.
baca juga : Orang-orang Salaf dan Al-Qur’an
Di tengah eforia seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kesembronoan dan kecerobohan dalam menafsirkan Al-Qur’an nyaris tidak bisa dihindari. Semangat tajdid atau pembaharuan, sembari menggelorakan kampanye bahwa jalan ijtihad tidak tertutup, kemudian pada akhirnya membuka peluang dari banyak kalangan -termasuk kita sendiri- untuk meraba-raba secara buta ayat Al-Quran yang suci dan mulia.
Hanya dengan Bermodal Bahasa Arab Dasar
Saya perhatikan banyak sekali dari teman-teman kita keliru dalam memahami, dia kira cukup dengan berbekal bisa bahasa Arab seadanya sudah dapat menafsirkan ayat Al-Qur’an. Padahal sih kemampuan bahasa Arabnya masih dibilang kelas pemula dan terlalu mengandalkan kamus. Sayangnya ayat-ayat suci itu sudah diotak-atik sedemikan rupa dengan cukup berbekal Al-Qur’an terjemahan. Dikiranya, kalau sudah bisa bahasa Arab, lansung otomatis sudah bisa memahami Al-Quran.
Mungkin karena logika sederhananya mengatakan, bahwa kendala dalam memahami Al-Qur’an hanya pada masalah bahasa saja. Begitu kita sudah menguasai Bahasa Arab, otomatis kita sudah merasa paham Al-Qur’an dengan sendirinya. Setuju atau tidak, nampaknya pemikiran yang amat sederhana inilah yang sekarang berkembang gencar di tengah generasi muslim modern atau muslim perkotaan. aku biyen pengalaman 😀
baca juga : Akhlaq Imam An-Nawawi Terhadap Pencuri
Padahal masalahnya tidak semudah itu. Tidak mentang-mentang seseorang sudah bisa bahasa Arab, lantas dia langsung bisa paham semua isi Al-Qur’an. Kalau memang segampang itu, maka proses turunnya Al-Qur’an tidak perlu memakan waktu lama hingga 23 tahun. Cukup butuh waktu 10 jam saja untuk dibacakan secara non-stop, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para santri ketika melakukan semaan khataman atau tasmi’ 30 juz Al-Quran.
Padahal masa 23 tahun itu dibutuhkan untuk menjelaskan ayat per ayat secara detail. Disitulah salah satu fungsi Rasulullah SAW di tengah umatnya, Beliau bertugas bagaimana menjelaskan isi Al-Qur’an secara rinci dan detail. Dan ternyata membutuhkan durasi tidak kurang dari 23 tahun.
Padahal shahabat yang hidup bersama Beliau dan sekaligus jadi murid Beliau itu orang-orang Arab. Mereka sudah mahir bahasa Arab sejak masih kecil, karena memang bahasa Arab adalah bahasa ibu mereka. Kalau anggapan orang asalkan bisa bahasa Arab berarti otomatis paham Al-Quran’ itu benar, maka ngapain para shahabat masih harus dibimbing lagi oleh Nabi SAW selama 23 tahun? Tinggal perintahkan aja sahabat untuk baca sendiri, kan sudah paham? Tapi ternyata tidak sesederhana itu, Ferguso.
Untuk memahami ayat Al-Qur’an dengan benar harus ada kunci-kuncinya, yaitu beragam jenis ilmu terkait Al-Qur’an. Karena seringkali apa yang tertulis secara teks di dalam Al-Quran tidak selalu bisa dipahami secara harfiyah begitu saja.
baca juga : Intisari hikmah dari surat Yusuf
Kalau tidak seperti itu, maka resikonya akan ada begitu banyak ayat Al-Qur’an yang keliru dipahami. Disebabkan karena mengandalkan teks zahir dari suatu ayat. Cara seperti ini jelas merupakan kesalahan fatal yang mengakibatkan pada kesesatan.
Mengira Al-Qur’an = Undang-undang Siap Pakai
Kesalahpahaman lain yang juga amat fatal dan sering terjadi di tengah khalayak umat Islam. Mengira bahwa Al-Qur’an itu itu berupa Undang-undang yang turun dari langit begitu saja, dianggapnya sudah jadi dalam bentuk buku dan siap pakai.
Padahal sebenarnya yang terjadi tidaklah demikian. Al-Qur’an memanglah sumber hukum, namun Al-Qur’an tidaklah produk hukum itu sendiri. Ayat-ayat hukum yang hanya ada 200-an ayat di dalam Al-Qur’an oleh para ulama memang dijadikan sumber pengambilan hukum, namun perlu kita ketahui bahwa sumber itu masih mentah, masih harus diolah dan diproses biar menjadi hukum yang siap pakai.
Sering terjadi dimana ketika orang awam membaca Al-Qur’an, namun keliru besar dalam menerjemahkan atau menarik kesimpulan hukumnya. Dia menganggap apapun yang tertulis di dalam Al-Qur’an, sudah termasuk undang-undang dan hukum. Padahal bisa saja Al-Qur’an sedang bicara tentang hukum yang berlaku pada umat terdahulu dan tidak berlaku untuk kita. Tapi karena kita tidak paham, maka hukum itu pun dianggapnya undang-undang juga dan berlaku untuk kita saat ini. Fatal sekali cara berpikirnya.
baca : Beberapa Syari’at Umat Sebelum Kita
Kekeliruan ini tentulah kesalahan yang sangat fatal, yang kalau dibiarkan dan didiamkan saja, lama kelamaan bisa menjadi penyesatan terhadap Al-Qur’an. Memang sih tidak menista Al-Qur’an dalam arti mencela. Namun keliru dalam mengerti maknanya saja, maka tafsir dan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an justru jauh lebih berbahaya ketimbang menista Al-Qur’an dalam bentuk menghina.
Bukankah menurut Nabi sangat lebih berbahaya berhadapan dengan kaum munafikin di Madinah ketimbang orang musyrikin di Mekkah? Kalau musyrikin Mekkah memang jelas-jelas musuh yang nyata. Sedangkan golongan munafikin di Madinah itu bagai musuh dalam selimut, tiba-tiba mereka menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan menyalip di tikungan. Maka hati-hatilah dalam memahami Al-Quran, hindari sembarangan nafsirinya, karena itu bisa menyesatkan