Mengenal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an

Ilmu Al-Qur’an pada dasarnya adalah kumpulan dari banyak ilmu yang membahas segala sesuatu tentang Al-Quran, mulai dari pengertian terkait Al-Qur’an, pengertian terkait wahyu, sejarah turunnya Al-Qur’an hingga bagaimana dituliskan dan dikumpulan serta distandarisasi. Termasuk juga isi kisah-kisah dalam Al-Qur’an, mukjizat Al-Qur’an dan lain sebagainya sampai kepada pembahasan tentang tafsir Al-Qur’an. Imam Az-Zarqani dalam kitabnya yang fenomenal, Manahil Al-‘Irfan mendefinisikan Ilmu Al-Quran sebagai berikut :

مباحث تتعلق بالقرآن الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكتابته وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذلك

Pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an baik dari sisi turun-temurunya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bagaimana membacanya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh dan mansukhnya, kesyubhatannya dan perkara lainnya.

Imam Az-zarqani menyebutkan sembilan point mengenai kajian ilmu Al-Qur’an menurut definisi diatas, bagaimana menafsirkan ayat Al-Qur’an termasuk juga ke dalam gugus Ilmu Al-Qur’an. Syeikh Manna’ Al-Qaththan, ulama yang menulis kitab Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, menuliskan definisi yang sedikit berbeda dari pendapat Imam Az-Zarqani. Beliau menjelaskan bahwa Ilmu Al-Qur’an :

العلم الذى يتناول الأبحاث المتعلقة بالقرآن من حيث معرفة أسباب النزول، وجمع القرآن وترتيبه، ومعرفة المكي والمداني، والناسخ والمنسوخ، والمحكم والمتشابه، الى غير ذلك مماله صلة بالقرآن

Ilmu yang meliputi beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an, baik dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turun ayat, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, pengetahuan tentang makki dan madani, nâsikh dan mansûkh, muhkam dan mutasyâbih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Setelah mengetahui definisi dari kedua ulama diatas, Ilmu Al-Qur’an itu adalah ilmu yang terkait dengan Al-Qur’an. Sebenarnya masih menyisakan pertanyaan yang mengganjal, bukankah semua ilmu dalam agama Islam ini terkait dengan Al-Qur’an semua. Lantas apakah kita bisa mengatakan bahwa semua ilmu-ilmu keislaman itu adalah ilmu Al-Qur’an.

Kita sepakat bahwa tidak semua ilmu keislaman bisa dimasukkan ke dalam kelompok ilmu Al-Qur’an. Maka definisi-definisi para ulama di atas yang hanya menyebutkan bahwa ilmu yang membahas seputar Al-Qur’an itu perlu dibuatkan batasannya lagi.

Pembagian ilmu Al-Qur’an oleh Amin Al-Khuli disebutkan ada dua macam, yaitu ma haulal Quran ( ما حول القرآن ) atau pembahasan sekitar Al-Qur’an dan kedua ma fil Qur’an (ما في القرآن ) atau tentang materi ayat-ayat Al-Qur’an sendiri. Dengan pembagian tersebut, sedikit lebih jelas bahwa Ilmu Al-Qur’an itu sebenarnya lebih terarah kepada apa-apa yang terkait dengan Al-Qur’an, dimana yang menjadi objek adalah Al-Qur’an itu sendiri

Sedangkan apa yang dibahas mengenai ayat-ayat dan bagaimana memahami serta menafsirkannya, malah tidak dimasukkan dalam kelompok ilmu Al-Qur’an. Seperti contoh ilmu tafsir misalnya, malah tidak dikelompokkan kedalam ilmu Al-Qur’an, justru malah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.

Oleh karena itulah Khazana Quraniyah pun cenderung untuk memisahkan keduanya dalam dua kategori pembahasan, yaitu ada ilmu Al-Qur’an yang objek pembahasannya adalah Al-Qur’an itu sendiri ( ما حول القرآن ), lalu ada kajian lain yang mana objek pembahasannya bukan Al-Qur’an, melainkan kajian atas kandungan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an ( ما في القرآن ). Yang kedua inilah yang kemudian kita sebut sebagai ilmu tafsir.

Lahirnya Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ini sudah lama. Yang pasti bukan ilmu yang turun begitu saja dari langit. Yang turun langsung dari langit itu namanya Al-Qur’an. Sedangkan ilmu Al-Qur’an adalah ilmu yang menjadikan Al-Qur’an sebagai objek pembicaraan. Beberapa cabang dari ilmu Al-Qur’an sebenarnya bersumber dari masa kenabian, bahkan boleh dikatakan bersumber dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Misalnya tentang penulisan Al-Qur’an, cara membaca Al-Qur’an, lalu juga tentang penjelasan tiap ayat dan kandungan hukumnya, urutan temurunnya serta urutan ketika dijadikan mushaf.

Al-Qur’an ditulis di masa kenabian, serta langsung diawasi oleh Nabi SAW sendiri. Maka tidak salah jika ada sebagian kalangan meyakini bahwa Rasm Utsmani itu bernilai tauqifi karena penulisannya dilakukan di hadapan Nabi SAW. Dan juga kita tahu bahwa Nabi SAW itu adalah seorang yang ummi dalam artian tidak bisa baca dan tidak bisa menulis. Sehingga menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa dikatakan bahwa rasm itu merupakan tauqif dari Nabi SAW, padahal beliau sendiri ummi Sebagian kalangan memang ada yang akhirnya menganggap bahwa rasm itu bersifat ijtihadi, meski pun mayoritas ulama sepakat mengatakan bahwa rasm itu sifatnya tauqifi.

Meski bukan Beliau sendiri yang menuliskan ayat Al-Qur’an, namun hal tersebut dilakukan di hadapan Nabi SAW. Sehingga tidak keluar dari kriteria sunnah yang yang ketiga yaitu sunnah taqririyah, dimana Nabi SAW tidak melakukan juga tidak mengatakan, namun membiarkan hal itu dilakukan oleh para shahabat. Kurang lebih itulah yang nantinya menjadi kajian penting dalam ilmu rasm, yang merupakan bagian dari gugus ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Ada juga cabang ilmu Al-Qur’an yang bersumber pada zaman Nabi selain tentang ilmu rasm yaitu cara membaca Al-Qur’an. Bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang benar dan tartil yang dicontohkan dan diajarkan nabi.

وَقُرۡءَانًا فَرَقۡنَٰهُ لِتَقۡرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكۡثٍ وَنَزَّلۡنَٰهُ تَنزِيلًا

Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra’:106)

Meski pada saat itu belum dituliskan sebagai sebuah kajian ilmu tersendiri, namun dasar-dasarnya tetaplah bersumber dari Nabi SAW juga. Bagaimana membaca huruf-huruf Al-Qur’an dengan benar dan memenuhi hak-haknya, seusai dengan sifat-sifat dari masing-masing huruf, panjang pendeknya mad, serta berbagai macam teknik membunyikan Al-Qur’an, tentu saja semua itu bersumber dari bacaan Rasulullah SAW sendiri. Di kemudian hari hal-hal yang terkait dengan masalah ini diteorikan dan diperkaya serta terkodifikasi menjadi sebuah cabang ilmu yang kita kenal sekarang dengan ilmu tajwid.

Pengembangan selanjutnya dari ilmu tajwid itu adalah ilmu qiraat, dimana Rasulullah SAW sendiri menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh harf. Di tambah dengan fakta dimana terjadi perbedaan-perbedaan cara baca Al-Qur’an di antara para shahabat masih di masa kenabian, maka nantinya jadilah sebuah cabang ilmu baru yang kita kenal dengan nama Ilmu Qiraat. Kadang juga disebut dengan istilah Al-Qiraatus-Sab’u (القراءاة السبع ), Qiro’ah Sab’a

Selain itu ada juga Ilmu nasakh mansukh yang sudah ada sejak masa kenabian, malahan yang berhak untuk menentukan mana ayat yang masih tetap berlaku dan mana yang tidak berlaku, selain sesama Al-Qur’an justru ketentuan dari Rasulullah SAW sendiri.

مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٍ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيرٌ

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah:106)

وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرٍۢ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. An-Nahl:101)

Pengembangan lainnya adalah ilmu tafsir. Nabi Muhammad SAW adalah sumber ilmu tafsir yang paling utama yang menjelaskan isi Al-Qur’an. Hal tersebut memang sudah menjadi tugas utama beliau sebagai utusan Allah.

بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. An-Nahl:44)

وَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ ٱلَّذِى ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ وَهُدًى وَرَحۡمَةً لِّقَوۡمٍ يُؤۡمِنُونَ

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Selain itu ada juga ilmu tentang Asbabun nuzul yang mempelajari sebab turunnya satu ayat atau sekelompok ayat atau bisa juga satu surat. Hal yang menjadi sebab itu bisa suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Sumbernya tentu saja Rasulullah SAW dan para shahabat juga. Tidak harus selalu Rasulullah SAW juga, bisa saja komentar tentang turunnya suatu ayat itu hasil dari analisa atau kesimpulan di level shahabat. Misalnya seorang shahabat menyebutkan bahwa ketika ayat tertentu turun, kejadiannya saat itu begini dan begitu, lengkap dengan latar-belakangnya.

Tentu saja para shahabat berhak menyebutkan latar-belakang turunnya suatu ayat, sebab mereka memang jadi saksi bagaimana suatu ayat diturunkan, malah dalam beberapa kasus, justru diri shahabat itu sendiri yang jadi penyebabnya. Misalnya ayat yang turun untuk membersihkan nama baik Aisyah radhiyallahuanha dari segala macam tuduhan keji. Wajar sekali bila Aisyah mengaku bahwa turunnya ayat itu oleh karena sebab dirinya. Pendeknya, selama ada riwayat dari shahabat, maka bisa dijadikan dasar tentang latar-belakang turunya suatu ayat. Itulah yang sudah baku di tengah para ulama ahli Al-Qur’an.

Objek utama ilmu Al-Qur’an tentu saja Al-Quran itu sendiri, dimana ruang lingkupnya cukup luas, namun di awalnya sebenarnya merupakan bagian dari ilmu tafsir, yang kemudian dipisahkan menjadi ilmu tersendiri. Oleh karena itu biasanya para ulama yang menuliskan kitab-kitab terkait dengan ilmu Al-Qur’an ketika membuat definisi ilmu ini sering memasukkan contoh-contoh tema kajian ke dalam definisinya.

Objek kajiannya memang hanya Al-Qur’an, namun mengingat Al-Qur’an itu sedemikian agung bagi umat Islam, ternyata penelitian terhadap Al-Qur’an bukan hanya tidak pernah kehabisan sisi pembahasan, namun sekaligus juga selalu memberikan banyak temuan-temuan terbaru yang sebelumnya belum terungkap. Ibarat ilmu sains seperti fisika, biologi dan kimia, ternyata setiap waktu umat Islam selalu mendapatkan temuan-temuan terbaru. Kalau di masa Az-Zarkasyi cabang ilmu Al-Qur’an hanya sebatas 40-an cabang saja, namun dalam rentang 100-an tahun cabangnya telah berkembang menjadi 80 cabang. Setidaknya itulah yang dituliskan oleh As-Suyuti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.

Bagikan artikel ini ke :