Hadiah merupakan satu kata dalam bahasa arab “هدية”. Secara bahasa hadiah diartikan sebagai harta yang diberikan dan dihadiahkan kepada seseorang dalam rangka penghormatan. Sedangkan secara istilah, hadiah diartikan tidak jauh berbeda dengan arti secara bahasa. Dalam madzhab syafii di kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah istilah hadiah didefinisikan dengan
تَمْلِيْكُ الَّذِي أُتْحِفَ وَأُهْدِيَ لِأَحَدٍ إِكْرَامًا لَهُ
Pemberian suatu benda tanpa adanya imbalan, yang disertai dengan memindahkan barang tersebut ke penberima hadiah, sebagai bentuk penghormatan kepada penerima.
Dari pengertian di atas, makna hadiah dalam istilah syar’i tidak jauh berbeda dengan makna hadiah di kalangan kita. Sebagaimana dalam KBBI hadiah diartikan sebagai: pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan). Hadiah merupakan salah satu ajaran islam yang disyariatkan. Bahkan ulama sepakat bahwasanya memberi hadiah hukumnya sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Mausu’ah al-Fqihiyah al-Kuwaitiah
لَا خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِيْ مَشْرُوْعِيَّةِ الْهَدِيَّةِ، بَلْ وَلَا خِلاَفَ فِي اسْتِحَبَا بِهَا فِي الْأَصْلِ إلَّا لِعَارِضٍ
Tidak ada perbedaan di kalangan fuqoha tentang masyru’iyah hadiah. Bahkan tidak ada perbedaan atas kesunnahan hukum asli hadiah, kecuali jika ada penghalang.
Jika kita lihat dalam Al-quran dan as-Sunnah, maka akan sangat banyak kita temukan anjuran memberi hadiah,
فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَىۡءٍ مِّنۡهُ نَفۡسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An Nisaa’ : 4)
وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim. (Al Baqarah: 177)
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai. (HR. Bukhari)
يَا نِسَاءِ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
Wahai para wanita muslimah, tetaplah memberi hadiah pada tetangga walau hanya kaki kambing yang diberi. (HR. Bukhari Muslim)
جِيْبُوْا الدَّعِيَ وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ وَلَا تَضْرِبُوا الْمُسْلِمِيْنَ
Terimalah hadiah, janganlah menolaknya. Janganlah memukul kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Ahmad)
لَوْ دُعِيَتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Kalau aku diundang untuk menghadiri undangan yang di situ disajikan dziro’ (paha), aku hadir sebagaimana pula ketika disajikan kuro (kaki). Kalau aku diberi hadiah dziro’ (paha), aku terima sebagaimana ketika diberi hadiah kuro’ (kaki).(HR. Bukhari)
Dan masih banyak lagi dalil dari Al-Quran maupun as-Sunnah yang menunjukan anjuran saling memberi dan memberi hadiah. Salah satu dasar masyruiyah hadiah adalah ijma’. Sebagaimana ulama telah sepakat bahwasanya meberi hadiah merupakan syariat yang dianjurkan.
وَأَجْمَعَتِ الْأُّمَةُ عَلَى مَشْرُعِيَّتَهَا وَاسْتِحْبَابِهَا
Umat islam telah ijma’/sepakat atas masyruiyah dan kesunnahan memberi hadiah.
Secara umum hadiah merupakan perbuatan yang baik dan mulia, bahkan dengan memberi hadiah kita akan bisa saling mencintai dan menyayangi. Namun akan berbeda ceritanya jika pemberian hadiah bersamaan dengan adanya akad utang piutang. Akad utang piutang merupakan salah satu akad tabarru’ yang ada di dalam syariat islam.
Dalam istilah syariat, hutang dua macam jenisnya, yaitu qardh (قرض) dan ‘ayriyah (عارية). Keduanya tidak punya padanan kata (istilah) dalam bahasa Indonesia yang spesifik sehingga bisa membedakan keduanya. Sehingga keduanya diterjemahkan menjadi hutang. Padahal sebenarnya keduanya berbeda. Qardh adalah akad hutang yang didefinisikan para ulama menjadi
دَفْعُ مَالٍ إِرْفَاقًا لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَهُ
Memberikan harta dengan tujuan menolong kepada orang yang akan memanfaatkanya dan akan dikembalikan dengan yang semisalnya.
Pengembaliannya bukan fisik harta itu, tetapi cukup yang senilai harganya. Sebagai contoh, misalnya kita meminjam uang Rp. 10.000. Sewaktu menerimanya, wujud fisiknya berupa satu lembar pecahan sepuluh ribuan. Maka ketika kita mengembalikannya, tidak mengapa menjadi dua lembar uang kertas pecahan 5.000-an dua lembar. Sebab yang jadi titik perhatian adalah nilainya dan bukan bentuk fisiknya.
Contoh lain misalnya kita meminjam beras sebanyak 5 kg untuk dimasak dan dimakan. Secara fisih, ketika kita kembalikan, tentu saja bukan beras yang kita pinjam, melainkan beras lain yang sejenis, sekualiatas dan beratnya sama, yaitu 5 kg juga.
Sedangkan ‘ariyah (عارية) adalah meminjam harta secara fisik dimana ketika dikembalikan harus fisik wujud benda itu sendiri. Misalnya kita meminjam motor dengan plat no polisi A 1234 BC. Maka ketika kembalikan, yang dikembalikan itu harus berupa motor dengan plat nomor polisi yang sama, yaitu A 1234 BC juga. Maka pinjam motor yang seperti ini diistilahkan dengan ‘ariyah.
Khusus dalam akad qardh ada sebuah kaidah yang masyhur. (كل قرض جر نفعا فهو ربا) Setiap qardh yang menimbulkan manfaat/ tambahan maka riba. Dari kaidah tersebut kita ketahui bahwa dalam akad qardh atau hutang piutang tidak boleh menghasilkan tambahan atau manfaat. Sedangkan memberi hadiah kepada pemberi hutang (kreditur) oleh penerima hutang (debitor) merupakan sebuah tambahan dan manfaat. Lantas bagaimana hukumnya manfaat tersebut?
Jika seorang yang berhutang ketika mengembalikan hutangnya memberikan tambahan atau manfaat kepada yang memberinya hutang, maka tambahan tersebut bisa dikatakan sebagai ‘tambahan atas pinjaman’. Tambahan atau manfaat ini hukumnya menjadi perdebatan para ulama.
Seluruh ulama sepakat bahwa tambahan itu hukumnya haram jika disyaratkan sejak awal. Namun bagaimana kalau tidak disyaratkan sejak awal? Maksudnya si peminjam ini dengan iklas, suka rela, tidak terbebani dan memang tidak disyaratkan sejak awal, ternyata ingin menyatakan terima kasih dengan memberikan semacam kelebihan atas pinjamannya itu, baik bersifat kualitatif atau pun kuantitaf. Lalu apakah jadi haram dan terlarang?
Rupanya para ulama punya pandangan yang berbeda, sebagiannya ada yang membolehkan, sebagian membolehkan dengan syarat dan sebagian lagi mutlak tetap mengharamkan. Pendapat pertama membolehkan adanya hadiah yang pada dasarnya merupakan tambahan. Dan tidak membedakan antara tambahan itu berupa tambahan dari sisi kualitas ataupun dari sisi kuantitas.
Dan pendapat ini dikemukakan oleh para ulama di kalangan madzhab Hanafi, sebagian madzhab Maliki, madzhab syafii, dan madzhab Hambali. Dan pendapat ini juga merupakan pendapat Ibn Umar, Hasan bin Ali, Said bin al musayyib, dan Ibn Hazm al-Zhahiriyah. Pendapat madzhab Al-Hanafiyah menyatakan boleh sebagaimana termaktub dalam salah satu kitab mu’tamad dalam mazhab itu yaitu al-Mabsuth karya al-Sarakhsi.
إن المنفعة إذا كانت مشروطة في الإقراض فهو قرض جر منفعة وإن لم تكن مشروطة فلا بأس به حتى لورد المستقرض أجود مما قبضه فإن كان ذلك عن شرط لم يحل لأنه منفعة القرض وإن لم يكن ذلك عن شرط فلا بأس به لأنه أحسن في قضاء الدين وهو مندوب إليه…. إذا لم يكن فيه عرف ظاهر
Suatu manfaat jika disyaratkan dalam transaksi utang piutang, maka jatuh sebagai qardh jarra manfaatan (haram). Namun jika tidak disyaratkan maka tidak mengapa hukumnya. Bahkan meski pemberi hutang itu mengembalikan utangnya dengan suatu yang lebih baik. Namun jika manfaat tersebut sudah disyaratkan di awal, maka hukumnya tidak halal. Karena tambahan disini merupakan manfaat dalam utang piutang. Adapun jika tambahan tersebut ada bukan karena disyaratkan maka tidak masalah, karena ia telah membayar utang dengan yang lebih baik, bahkan hukumnya mandub. Dasarnya adalah hadist Ato’…… Dengan syarat jika tidak ada kebiasaan.
Pendapat yang membolehkan ini juga lahir di kalangan sebagian madzhab Maliki. Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Mu’awwanah
فإن تطوع المفترض من غير شرط ولا عادة بزيادة في صفة أو عدد جاز
Jika dia memberi tanpa syarat dan tidak jadi kebiasaan, baik dari segi kualitas ataupun kuantitas, hukumnya boleh.
Pendapat para ulama di kalangan madzhab Asy-Syafi’iyah ditemukan langsung dalam kitab sang Imam. Di dalam kitab al-Umm
ومن أسلف سلفا فقضى أفضل من ذلك في العدد والوزن معا فلا بأس بذلك إذا لم يكن ذلك شرط بينهما في عقد السلف
Jika seseorang berhutang kemudian ia membayar hutangnya dengan yang lebih baik, baik dari sisi jumlah ataupun imbangan, maka tidak mengapa. Jika tambahan tersebut tidak disyaratkan dalam akad salaf (hutang).
Disamping sang Imam sendiri yang menyatakan bolehnya tambahan dalam kondisi ini, Imam An-Nawawi sebagai salah satu tokoh besar dalam jajaran ulama madzhab Syafii juga mengatakan di dalam kitabya Raudhotu al-Thalibin
ولو أقرضه بلا شروط فرد أجود أو أكثر أو ببلد آخر جاز
Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain tanpa ada syarat tambahan, kemudian orang tersebut mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak atau di tempat lain (bukan di tempat ia meminjam) maka hukumnya boleh.
Salah satu ulama madzhab Hambali yang bernama Ibn Qudamah berkata dalam kitabnya al-Mughni
فإن أقرضه مطلقا من غير شرط فقضاه خيرا منه القدر أو الصفة أو دونه برضا هما جاز
Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain secara muthlak, yaitu tanpa syarat, kemudian ia mengembalikan dengan yang lebih baik, dari segi jumlah atau kualitasnya atau melebihkan dengan barang lain dengan keridhoan keduanya maka diperbolehkan.
Madzhab azh-Zhahiriyah juga mengatakan bahwa tambahan pada saat pengembalin hukumnya boleh jika tidak disyaratkan. Bahkan lebih dari boleh, madzhab ini mengatakan sunnah hukumnya memberikan tambahan saat mengembalikan hutang jika tidak disyaratkan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hazm ad-Zhahiriyah dalam kitabnya al-Muhalla
فإن تطوع عند قضاء ما عليه بأن يعطى أكثر مما أخذ، أو أقل مما أخذ، أو أجود مما أخذ، أو أدنى مما أخذ، فكل ذلك حسن مستحب. ومعطي أكثر مما اقترض وأجود مما اقترض مأجور. وسواء كان ذلك عادة أو لم يكن، ما لم يكن عن شرط
Ketika seseorang ketia membayar hutang, dengan kerelaan hatinya ia memberikan lebih dari apa yang ia hutang, atau mengembalikan dengan yang lebih sedikit dari yang ia ambil, ataupun dengan yang lebih baik kualitasnya, atau lebih rendah kualitasnya maka seluruhnya itu adalah perbuatan baik dan mustahab. Orang yang mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak daripada yang ia hutang, baginya pahala. Orang yang merelakan sebagian yang ia pinjamkan atau yang menerima dengan kualitas yang lebih rendah daripada yang ia pinjamkan, maka baginya pahala. Baik ada adat kebiasaan melebihkan ataupun tidak, jika tidak disyaratkan.
Namun ada sebagian ulama lain yang memberi syarat tentang kebolehannya yaitu hanya jika tambahan dari sisi kualitas saja. Sedangkan bila tambahan itu berupa jumlah atau secara kuantitas, maka termasuk yang dilarang.
Misalkan hutang beras 5 kg kualitas A dengan harga Rp. 10.000/kg, kemudian ia mengembalikan beras 5 kg dengan kualitas lebih tinggi. Misalkan harganya Rp. 15.000/kg. Ini hukumnya masih boleh. Namun tidak dibolehkan jika ada tambahan dari sisi kuantitas. Misal hutang 10 kg beras dan mengembalikan 15 kg. pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah. Disebutkan oleh al-Qarafi di dalam kitabnya ad-Dzkhirah
وَلَا تَمْتَنِعُ الزِّيَادَةُ بَعْدَ الْأَجَلِ فِي الصِّفَةِ وَتَمْتَنِعِ فِي الْعَدَدِ عَلَى الْمَشْهُوْرِ للتُّهْمَةِ فِي السَّلَفِ بِزِيَاَةٍ
Dan tidak terlarang suatu tambahan dalam hutang ketika jatuh tempo jika tambahan dalam bentuk kualitas. Namun hukumnya terlarang jika tambahan dari segi kuantitas dalam madzhab yang masyhur. Dikarenakan adanya indikasi hutang yang menimbulkan manfaat
Pendapat yang ketiga mengatakan meski tidak disyaratkan tetap saja kelebihan dalam pengembalian hutang itu hukumnya haram. Apakah tambahan dari sisi kualitas maupun kuantitas, hukumnya tetap haram. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hidayah karya Abu al-Khattab
Ada beberapa dalil yang dijadikan landasan bolehnya memberikan tambahan ketika membayar hutang. Baik tambahan dari sisi kualitas maupun kuantitas.
أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلٍ الصَّدَقَةِ فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُوْ رَافِعٍ فَقَالَ لَمْ أَجِدْ فِيْهَا إِلَّا خِيَارًا رَبَاعِيًا. فَقَالَ أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Rasulullah SAW pernah meminjam dari seorang seekor onta yang masih muda. Kemudian ada satu ekor onta sedekah yang dibawa kepada beliau. Beliau lalu memerintahkan Abu Rafi’ untuk membayar kepada orang tersebut pinjaman satu ekor onta muda. Abu Rafi’ pulang kepada beliau dan berkata: “Aku tidak mendapatkan kecuali onta yang masuk umur ketujuh”. Lalu beliau menjawab: “Berikanlah itu kepadanya! Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. (HR Muslim).
Dalam hadist di atas, Rasullah SAW memberikan unta yang lebih baik daripada yang diterimanya ketika berhutang. Maka ini menjadi dalil bolehnya melebihkan hutang ketika pengembalian dari sisi kualitas.
عن جابر بن عبد الله، قال : كَانَ لِى عَلَى النبيّ صلى الله عليه وسلم دَيْنٌ فَقَضَانِي، وَزَادَنِي، وَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فقال لِي صَلِّ رَكْعَتَيْ
Dari Jabir bin Abdullah berkata: dahulu saya memiliki piutang dari nabi Muhammad SAW kemudian ia membayarnya dan memberi tambahan, kemudian saya masuk masjid dan ia bersabda: “Shalatlah dua rakaat” (HR. Bukhari)
Hadist di atas menunjukan bolehnya memberikan tambahan kepada kreditur saat pengembalian. Dan tambahan dalam hadist tersebut berupa tambahan dari sisi kuantitas. Pendapat kedua mengatakan bahwasanya kelebihan dalam pengembalian hutang diperbolehkan jika hanya dari segi kualitasnya saja. Namun tidak diperbolehkan jika melebihkan secara kuantitasnya.
Dalilnya adalah hadist Abu Rafi’, bahwasanya Rasulullah hanya mengembalikan satu unta. Tidak memberikan lebih dari apa yang ia ambil. Meskipun unta yang diberikan lebih baik daripada yang ia ambil ketika berhutang. Maka kebolehan melebihkan dalam pinjaman hanya dari sisi kualita saja. Jika dilebihkan dari sisi kuantitas maka terdapat tuhmah (indikasi) hutang piutang mengandung tambahan yang diharamkan.
Pendapat ketiga mengatakan bahwasanya tidak boleh mengambil tambahan dari hutang piutang meskipun saat pengembalin dan tanpa syarat. Karena yang wajib bagi debitur (pemberi hutang) adalah mengembalikan sekedar apa yang ia terima ketika berhutang. Dan bagi kreditur, ia hanya berhak sekedar yang ia berikan kepada debitur (pemberi hutang).