Memang ada banyak kalangan untuk mengait-ngaitkan Al-Quran dengan sain modern. Dan dalam beberapa hal usaha ini nampaknya cukup berhasil. Akan tetapi belum tentu berhasil kalau diterapkan dalam semua sisinya. Sebab biar bagaimana pun juga, ternyata Allah SWT tidak menurunkan Al-Quran dengan tujuan semata-mata untuk menjadi buku sain. Al-Quran adalah kitab wahyu yang berisi petunjuk untuk menjadi hamba Allah SWT yang taat. Isinya tentu bukan bagaimana cara bertani, beternak, atau menaklukkan alam semesta dengan segala tantangannya.
Demikian juga Rasulullah SAW tidak semata-mata diutus untuk menjadi ilmuwan dan saintis. Beliau SAW adalah pembawa risalah langit yang mengajarkan bagaimana caranya menyembah Allah dan menjelaskan hukum-hukum samawi. Beliau SAW tidak diutus untuk menjadi fisikawan, dokter, angkasawan, atau cendekiawan.
Dalam urusan seperti ini, saya memandang kita jangan terlalu eksak dalam memahaminya. Sebab nanti kita akan mengalami banyak kegagalan dan ketidak-selarasan dengan realitas fisika yang sesungguhnya. Lebih amannya kita pakai ‘kaca mata’ iman saja.
Sebenarnya wujud Al-Qur’an justru lebih cenderung sebagai kitab sastra yang tinggi derajatnya. Sehingga dengan ketinggian sastranya itu, Allah SWT menantang para pujangga Arab untuk bisa meniru atau setidaknya mendekati keindahannya.
Adapun sebagai buku sain, sebenarnya Al-Qur’an tidak terlalu menonjol. Misal yang sederhana saja, ketika menyebut langit dan bumi, Al-Qur’an sama sekali tidak membedakan apakah maksudnya langit yang rendah dimana masih ada awan di dalam atmosfir kita, ataukah langit dalam arti angkasa luar dalam sistem tata surya. Atau malah langit yang lebih luas lagi yaitu gugus bintang dan galaksi yang jauhnya diukur dengan kecepatan cahaya?
Semua itu di dalam Al-Qur’an nyaris tidak pernah dibedakan, semuanya sama-sama disebut langit. Ketika menyebut awan yang menurunkan hujan, Al-Qur’an menyebut langit. Dan ketika menyebutkan bintang yang jauhnya jutaan tahun cahaya, Al-Qur’an juga menyebut dengan kata yang sama, yaitu langit.
Kalau kita angkat masalah ini tentu saja niat kita sama sekali bukan mau merendahkan Al-Qur’an. Dengan sederhana kita bisa simpulkan bahwa Al-Quran bukan kitab sain atau buku astronomi, ketika tidak membedakan mana atmosfir dan mana galaksi luar. Bukan Al-Qur’an yang salah, tetapi kita yang salah menempatkan Al-Qur’an dengan cara memaksakannya menjadi buku fisika. Di dalam Al-Quran ada disebutkan bahwa gunung itu bergerak seperti awan.
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (QS. An-Naml:88)
Lalu beberapa kalangan saintis muslim modern mencoba menafsirkan ayat ini dengan pergerakan lempeng bumi. Mereka bilang inilah bukti kebenaran Al-Qur’an, yaitu ternyata terbukti bahwa gunung itu tidak diam, melainkan bergerak sebagaimana disebutkan dalam ayat itu.
Menarik untuk dicermati, tafsiran versi sain modern ini sebenarnya agak membingungkan. Mengapa? Karena Al-Qur’an menyebutkan bahwa gunung itu bergerak sebagaimana berjalannya awan. Kecepatan gerakan awan tentu bisa dilihat dengan mata, katakanlah sekitar 20-30 km perjam. Tapi pergerakan lempeng bumi dan pergeserannya tentu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan gerakan awan. Karena kecepatannya cuma 7 cm – 8 cm per tahun. Apalah artinya pergerakan itu menurut sudut pandang mata kita? Tentu sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai ‘bergerak’.
Lagi pula yang bergerak itu bukan gunung melainkan lempeng bumi. Bagaimana mungkin menafsirkan ayat yang menyebutkan gunung bergerak dengan lempeng bergerak? Kalau cuma mau bergerak, sebenarnya bumi kita inipun bergerak juga, bukan? Tetapi bergeraknya bersama-sama dengan semua hamparannya, dan bukan hanya gunung yang bergerak. Jadi ayat di atas itu memang kurang tepat kalau mau ditafsirkan dengan kaca mata ilmu fisika atau geologi.
Baca juga lanjutan dari artikel ini Al-Quran Bukan Kitab Sains?