Memahami Al-Quran Hanya Modal Bahasa Arab

Zaman masih sekolah dulu, pernah punya tekad kuat untuk belajar bahasa Arab. Tujuannya biar bisa memahami Al-Quran. Dan tidak salah juga untuk belajar bahasa Arab, karena memang Al-Quran itu menggunakan bahasa Arab., sebagaimana disebutkan di dalam banyak ayat Al-Quran sendiri.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)

وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَىٰ إِمَامًا وَرَحْمَةً ۚ وَهَٰذَا كِتَابٌ مُصَدِّقٌ لِسَانًا عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَبُشْرَىٰ لِلْمُحْسِنِينَ

Dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orangorang yang berbuat baik. (QS. Al-Ahqaf : 12)

Namun saat ini kalau ada orang belajar bahasa Arab agar bisa memahami Al-Quran, hmmmm. Tidak salah sih, tapi tidak sepenuhnya benar juga. Maksudnya tidak mentang-mentang bisa bahasa Arab, lantas dianggap sudah langsung bisa mengerti Al-Quran. Sama sekali tidak. Dan sejujurnya itu adalah langkah yang masih terlalu jauh dari tujuan.

Mushaf Dibukukan Di Masa Khalifah Utsman

Kira-kira perbandingannya kayak gini. Belajar lah bahasa Inggris, agar bisa jadi astronot yang terbang ke luar angkasa. Benar sih kalau mau jadi astronot harus bisa bahasa Inggris. Tapi jangan salah sangka dulu. Tidak semua orang yang bisa bahasa Inggris lantas bisa jadi astronot. Apalagi mendapat kesempatan terbang ke luar angkasa.

Pemahaman seperti ini perlu diluruskan. Seolah-olah penguasaan Bahasa Arab adalah satu-satunya alat untuk bisa mengerti dan memahami Al-Quran. Pemahaman semacam ini dalam ruang lingkup yang terbatas memang ada benarnya. Namun pehamanan seperti ini menjadi sangat fatal ketika dipahami dalam arti yang lebih luas, seolaholah hanya dengan penguasaan bahasa Arab saja, kita sudah berhak menjadi mufassir.

Padahal untuk menjadi mufassir yang menafsirkan Al-Quran, dibutuhkan lebih banyak lagi perangkat, tools, hardware dan software. Tidak semata-mata hanya mengandalkan bahasa Arab dan gramatikanya. Namun hari ini nampaknya memang itulah yang terjadi. Dimana-mana kita melihat ada gairah untuk belajar bahasa Arab, di masjid, pengajian, majelis taklim bahkan dimana-mana bermunculan ma’had-ma’had yang mengkhususkan diri untuk mempelajari bahasa Arab.

Kalau ditanya, kenapa belajar bahasa Arab, biasanya jawaban tipikal, karena ingin memahami Al-Quran. Sebab Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Jadi sesederhana itu para siswa diberi motivasi, belajar bahasa Arab semata-mata untuk memahami Al-Quran. Padahal duduk perkaranya tidak sesederhana itu. Benar bahwa Al-Quran berbahasa Arab. Benar kita perlu belajar bahasa Arab. Namun jangan sekali-kali berpikir bahwa kalau sudah menguasai bahasa Arab lantas kita sudah bisa memahami Al-Quran.

Yang lebih parah lagi justru apa yang dilakukan oleh beberapa orang. Mereka membuka kursus bahasa Arab metode terjemah Al-Quran, kata per kata. Seolah-olah dengan menggunakan metodenya itu, maka muridnya dianggap sudah paham isi Al-Quran. Yang diiming-imingi pun mau-mau saja, seperti tersihir dengan metode yang seolah-olah canggih dunia akhirat. Padahal ini sebenanrya menampatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Sudah terlalu jauh promosi yang menyesatkan ini. Terpaksa harus mengatakan jujur bahwa cara itu sebenarnya kurang tepat. Kalau mau mengajarkan bahasa Arab, silahkan saja ajarkan. Tidak ada masalah. Tapi jangan coba-coba menipu orang dengan mengatakan bahwa cukup mempelajari terjemah kata per kata, lantas jadi paham isi kandungan Al-Quran.

Terjemahan Al-Quran itu jelas bukan untuk memahami isi Al-Quran. Karena terjemahan itu sangat singkat, tidak mampu menarasikan banyak hal. Terlalu banyak luput dan missing dalam terjemahan.

Selain dengan menguasai bahasa Arab, untuk bisa memahami Al-Quran memerlukan banyak perangkat lain, diantaranya adalah hadits nabawi, ilmu asbabun-nuzul, ilmu siyaq, ilmu nasakh wal mansukh, imu qiraat dan lainnya

Hadits nabawi adalah perangkat yang paling utama dalam memahami Al-Quran. Sebab Al-Quran diturunkan tidak sendirian, namun ‘dikawal’ dengan penjelasannya yaitu hadits nabi.

وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ

Dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). (QS. Al-Baqarah : 231)

Fungsi Hadits terhadap Al-Quran meliputi tiga fungsi pokok, Pertama, menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Quran. Kedua Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Quran. Rasulullah SAW mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Alloh SWT

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS. An-Nahl : 44)

Fungsi ketiga hadits terhadap Al-Quran yaitu menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Quran.Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka orang yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka ‘tidak ada dosa baginya’ mengerjakan sa´i antara keduanya. (QS. Al-Baqarah : 158)

Membaca ayat ini seklias kita akan merasakan keanehan karena ibadah sa’i antara Shawa dan Marwah disebutkan ‘tidak ada dosa’. Ya, memang tidak ada dosa. Tapi ungkapan tidak ada dosa kan seharusnya kurang tepat. Yang lebih tepat sa’i itu kewajiban, malah termasuk ke dalam rukun haji dan umrah.

Kalau berani, coba saja iseng-iseng lakukan haji atau umrah tanpa melakukan sa’i, pasti lah kita ditertawakan banyak orang, karena dianggap kita tidak paham manasik haji dan umrah. Padahal kalau memahami sekilas ayat ini, sama sekali tidak ada disebutkan kewajiban sa’i, yang ada hanya sebatas ‘tidak ada dosa’ belaka. Lalu bagaimana kita memahami ayat yang sedikit bikin kita bingung ini?

Para ulama sudah sejak dulu telah memberikan jawaban, yang intinya ayat ini turun dalam konteks yang berbeda, tidak sedang bicara tentang rukun haji dan umrah. Ayat ini turun untuk menjawab keraguan para shahabat untuk melakukan sa’i karena saat itu ada berhala disana.

Al-Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya Al-Hawi AlKabir menjelaskan

أَنَّ الْآيَةَ نَزَلَتْ عَلَى سَبَبٍ وَهُوَ أَنَّ الْجَاهِلِيَّةَ كَانَتْ لَهَا عَلَى الصَّفَا صَنَمٌ اسْمُهُ أَسَافُ، وَعَلَى الْمَرْوَةِ صَنَمٌ اسْمُهُ نَائِلَةُ فَكَانَتْ تَطَّوَّفُ حَوْلَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ تَقَرُّبًا إِلَى الصَّنَمَيْنِ فَظَنَّ الْمُسْلِمُونَ أَنَّ السَّعْيَ حَوْلَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ غَيْرَ جَائِزٍ فَأَخْبَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ بِإِبَاحَتِهِ

Ayat ini turun dengan sebab bahwa orang jahiliyah dahulu punya berhala di Shafa bernama Asaf dan di Marwah bernama Nailah. Maka sa’i antara Shawa dan Marwah pasti melewati kedua berhala itu, sehingga banyak yang beranggapan sa’i menjadi tidak boleh. Lalu Allah SWT mengabarkan bahwa sa’i dibolehkan meski melewati kedua berhala itu.

Bagikan artikel ini ke :