Mau Hadits yang Shahih atau Dhaif?

Jika disuruh memilih antara sehat dan sakit, pasti sehat yang dipilih. Jika diminta memilih antara baik dan buruk, pasti memilih yang baik. Itulah fithrah manusia. Begitu juga jika disuruh memilih antara hadits shahih dan hadits dhaif, pasti yang dipilih adalah hadits shahih. Hampir semua umat islam ingin menjalankan agamanya dengan benar, didasari dari dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih.

Hadits yang shahih memang menjadi salah satu modal dalam penetapan suatu hukum Islam. Para ulama ahli hadits telah berusaha menjaga agama ini agar agama Islam tetap orisinal, yaitu dengan memilih mana hadits yang memang berasal dari Nabi, dan membuang hadits yang disinyalir maudhu’/palsu bukan dari Rasul. Semangat memurnikan ajaran islam tentu sangatlah baik, terlebih ketika umat islam sudah begitu jauh dari zaman kenabian. Tetapi kadang semangat itu tidak dibarengi dengan keilmuan yang mumpuni. Semagat pemurnian itu ibarat anti virus komputer. Anti virus yang baik adalah anti virus yang bisa membedakan mana itu virus beneran dan membahayakan komputer, mana yang sepertinya virus padahal bukan.

Sekarang ini, hadits dhaif sepertinya tidak hanya menjadi konsumsi mujtahid saja. Banyak kita dengar perkataan disekeliling kita, “Bukankah itu haditsnya dhaif?” Kita sebenarnya cukup gembira, karena umat islam sudah tidak lagi hanya taklid, tetapi sudah ada usaha untuk menjadi muttabi’; meminjam istilah kalangan yang membedakan antara muqallid dan muttabi’.

Sayangnya, ada beberapa hal penting yang kurang dipahami terkait hadits dhaif ini. Seolah jika suatu hadits sudah dhaif, maka langsung dibuang saja. Tak ada gunanya hadits dhaif ini. Jika ada yang shahih, kenapa pakai yang dhaif. Begitulah kira-kira keinginan instan dari para awam agama masa kini. Padahal proses sampai menjadi penilaian hadits menjadi dhaif itu tidaklah sederhana. Penetapan hadits menjadi dhaif dan tidak juga bukan hal yang selalu disepakati ulama.

Hasil dari klasifikasi hadits menjadi shahih atau dhaif pun bukan pekerjaan akhir. Masih ada proses lain selain memilih ini shahih atau dhaif. Hadits shahih atau dhaif bukanlah konsumsi dari orang awam yang bersifat end user. Penetapan penilaian shahih dan dhaif suatu hadits adalah hasil dari sebuah usaha ijtihadi. Maka, jika bisa kita sebut, poin pertama dari suatu usaha ijtihadi adalah ijtihad harus dilakukan oleh mujtahid yang mumpuni. Penilaian terhadap suatu hadits harus dilakukan oleh seorang ahli hadits yang diakui kemampuan ijtihadnya dalam ilmu hadits.

Poin keduanya, produk ijtihad bisa jadi benar dan mungkin saja salah. Poin ketiga, karena sifatnya ijtihadi, maka bisa jadi hasil ijtihad seorang mujtahid itu berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid yang lain. Makanya, banyak kita temui perbedaan penetapan shahih atau dhaif suatu hadits.

Mengenal Perbedaan Antara Musnad, Sunan, Mu'jam, dan Jami'

Poin keempat, bagi seorang muqallid, tidak seharusnya memaksakan hasil ijtihad mujtahid yang dia ikuti kepada muqallid yang lain. Pada poin keempat ini, banyak kita jumpai saat-saat ini. Seorang yang sebenarnya masih muqallid, terkesan memaksakan penilaian suatu hadits orang yang mereka ikuti kepada orang lain. Inilah latahnya orang awam terkait hadits dhaif.

Sebaliknya, banyak ustadz juga yang latah ketika mendapat pertanyaan; “Bukankah itu haditsnya dhaif, ustadz?”. Ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, biasanya ustadz latah dalam menjawab. Jawaban diplomatis yang biasa dipakai adalah adanya khilaf diantara ulama, dalam hukum berhujjah dengan hadits dhaif, terlebih dalam fadhail a’mal. Pasti akan dibalas lagi, jika ada yang shahih, kepada pilih yang dhaif?

Photo by Farhan Amoor from FreeImages

Padahal seharusnya itu jawaban terakhir. Ketika ditanya seperti itu, ada beberapa pertanyaan yang selayaknya kita ajukan gantian terlebih dahulu. Pertanyaan itu adalah What, Who, Where, When, Why. What, pertanyaan pertama yang diajukan ketika ada orang bilang haditsnya dhaif adalah memang apa itu hadits dhaif? Karena banyak orang tak bisa membedakan antara dhaif yang berarti lemah dengan maudhu’ yang berarti palsu. Padahal hadits dhaif itu sangat beragam modelnya.

Who, pertanyaan kedua adalah siapa yang mendhaifkan. Hadits dhaif itu hasil ijtihad ulama, dimana pastinya kita harus tahu siapa ulama yang menilai suatu hadits itu lemah, bagaimana posisi ulama itu dalam ranah ilmu hadits, bagaimana kebiasaan ulama itu, apakah ketat, sedang atau bermudah-mudah. Sehingga dari siapa, kita tahu dimana dan di kitab apa ulama tadi mendhaifkan hadits itu.

Where, pertanyaan ketiga setelah kita tahu siapa yang mendhaifkan adalah dimana beliau mendhaifkan suatu hadits. Pertanyaan dimana ini sangat penting, karena dari situ kita akan tahu alasan kenapa beliau mendhaifkan suatu hadits. Belum lagi ada beberapa ulama yang kadang berbeda dalam menilai suatu hadits, di kitab A beliau bilang dhaif, di kitab B beliau bilang shahih.

All rights reserved by roxyaedoo

When, pertanyaan keempat adalah kapan ulama yang mendhaifkan suatu hadits itu hidup, apakah termasuk ulama salaf atau khalaf. Termasuk juga kapan hadits itu dianggap dhaif. Karena kadang ada juga ulama yang di satu waktu mengatakan hadits A dhaif, di waktu yang lain dia sendiri bilang hadits A shahih.

Why, yaitu kenapa hadits itu bisa jadi dhaif. Jadi kalo dibilang haditsnya dhaif, tanya saja; alasannya kenapa hadits itu dhaif? Ini juga pertanyaan terpenting bagi orang yang katanya tak mau taklid tapi mau ittiba’, termasuk dalam bab ijtihad penetapan dhaif tidaknya suatu hadits. Maka kita harus tahu siapa yang mendhaifkan dan dimana, agar kita juga bisa tahu alasannya kenapa hadits itu dianggap dhaif. Karena alasan hadits itu dhaif sangatlah beragam.

Hadits maudhu’ itu palsu, sedangka dhaif itu lemah. Meski para ulama ada yang menyebutkan bahwa hadits maudhu’ itu bentuk terjelek dari hadits dhaif, seperti Ibnu as-Shalah (w. 643 H) dalam Ma’rifat Anwa Ulum al-Hadits atau yang lebih terkenal dengan Muqaddimah Ibnu Shalah (Baerut: Daar al-Fikr, 1406 H), hal. 98. Sedangkan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam (w. 852 H), an-Nukat ala Kitab Ibn Shalah, (Riyadh: Imadat al-Bahts Jamiah Islamiyyah, 1404 H), hal. 2/ 711, tak begitu sependapat. Karena maudhu’ atau palsu tak bisa disandarkan kepada hadits Nabi

Ibnu as-Shalah (w. 643 H) menyebutkan bahwa jika hadits disebut tidak shahih, bukan berarti hadits itu pasti bohong, bukan dari Nabi.

Mengenal Perbedaan Antara Musnad, Sunan, Mu'jam, dan Jami'

إذا قالوا في حديث : “إنه غير صحيح” فليس ذلك قطعا بأنه كذب في نفس الأمر، إذقد يكون صدقا فب نفس الأمر، وإنما المراد به انه لم يصح إسناده على الشرط المذكور

Ketika ulama menyebutkan hadits ini tidak shahih, bukan berarti hadits itu pasti bohong. Bisa jadi hadits itu benar, hanya saja hadits tersebut sanadnya belum memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan (syarat hadits maqbul).

Hadits maudhu’ itu palsu, sedangkan hadits dhaif itu lemah. Palsu itu karena berbohong, sedangkan lemah belum tentu karena bohong. Makanya, hadits dhaif tidaklah satu tingkatan. Ada hadits yang lemahnya ringan, ada pula yang berat.

Bagikan artikel ini ke :