Pengertian “Matilah sebelum engkau mati” adalah sebuah pengertian dari salah satu jalan untuk musyahadah (penyaksikan) kepada Allah, yaitu melalui mati. Tapi mati disini bukan matinya jasad ketika terpisah dengan ruh, tapi matinya nafsu, sebagaimana sabda Nabi SAW;
موتوا قبل ان تموتوا
“Rasakanlah mati sebelum engkau mati.”
dalam kitab Al-Hikam, Abu Ma’jam berkata:
من لم يمت لم ير الحق
“Barang siapa tidak merasakan mati, maka ia tidak dapat merasakan (melihat atau musyahadah) dengan Al-Haqqu Ta’ala”.
jadi yang dimaksud mati disini adalah hidupnya hati karena matinya nafsu. Dan hati (bashirah) akan hidup pada saat matinya nafsu.
Imam Abul Abbas Al-Mursy dalam kitab Al-Hikam berkata:
لا يدخل على الله الا بابين: من باب الفناء الاكبر، وهو الموت الطبيعى ، ومن باب الفناء الذي تعنيه هذه الطائفة
“Tiada jalan masuk/musyahadah dengan Allah kecuali melalui dua pintu, dan salah satu dari dua pintu itu ialah pintu “Fana’ul akbar” yaitu mati thobi’i. Dan mati thobi’i ini merupakan setengah daripada pintu fana’ menurut pengertian ahli Tashawwuf”.
Adapun pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati dalam musyahadah dapat ditempuh pada 4 tingkat:
(1). MATI THOBI’I.
Menurut sebagian para ahli thariqah, bahwa mati thobi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qolbi dan dzikir lathoif (dzikir-dzikir ini biasanya sesuai anjuran Mursyid Thariqah), serta mati Thobi’i ini merupakan pintu pertama musyahadah dengan Allah. Pintu pertama ini dilalui pada saat seorang salik dalam melakukan dzikir qolbi dalam dzikir lathoif. Maka dengan karunia Allah ia fana’ atau lenyap pendengarannya secara lahir dimana telinga batin mendengar bunyi “Allah..Allah..Allah..”. Pada tingkat ini, dzikir qolbi pada mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati naik kemulut dimana lidah berdzikir dengan sendirinya. Dan dalam kondisi seperti ini alam perasaan mulai hilang atau mati thobi’i. Pada saat-saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati, dan hati bermuhadharah (berdialog) dengan Allah, sehingga telinga bathin mendengar:
انني انا الله
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah” yang bunyi ini naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan “Allah.. Allah.. Allah..”. Dalam tingkatan-tingkatan bathin seperti ini, salik telah mulai memasuki pintu fana’ pertama, yang dinamakan Fana’ fil af’al dan Tajalli fil af’al dimana gerak dan diam adalah pada Allah.
لا فاعل الا الله
“Tiada fail (yang gerak dan diam) kecuali Allah”.
(2). MATI MAKNAWI.
Menurut sebagian ahli Thariqah, bahwa “Mati Maknawi” ini terjadi dengan karunia dari Allah pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatur-Ruh dalam dzikir lathif. Terjadinya itu adalah sebagai bentuk ilham yang dimana secara tiba-tiba Nur Ilahiy terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan (Bashirahnya mendominasi penglihatan). Dzikir “Allah…. Allah.. Allah..” pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir mulai terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma di badan. Dalam kondisi seperti ini, perasaan ke-insanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan lebur diliputi sifat Ketuhanan.
Dalam tingkat ini, salik telah memasuki fana’ ke-dua yang dinamakan “Fana’ fis Shifat/Tajalli fis sifat”. Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap atau fana’ dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali.
قوله، لا حيّ إلا الله
“Tiada hidup selain Allah”.
(3). MATI SURI.
Pada tingkat selanjutnya adalah “Mati Suri”. Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-tiga ini, seseorang atau salik telah memasuki pintu Musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala ke-insanan lenyap atau fana’, alam wujud yang gelap (ظلمة) telah ditelan oleh alam ghaib atau malakut (عالم الملكوت) yang penuh dengan Nur Cahaya. Dalam pada ini, yang Baqa’ adalah Nurullah semata, Nur Af’alullah, Nur Shifatullah, Nur Asmaullah, Nur Dzatullah atau Nurun ‘ala Nuur.
Sebagaimana firman Allah;
….نور على نور يهدى الله لنوره من يشاء….
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki..” [Surah An-Nur, ayat 35].
لا محمود إلا الله
“Tiada yang terpuji melainkan Allah”.
(4). MATI HISSI.
Selanjutnya ialah Mati Hissi. Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ke-empat ini, seseorang atau salik telah sampai ketingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma’rifah (Ma’rifat Billah) sebagai maqom tertinggi. Dalam pada ini, lenyap (fana’) sudah segala sifat-sifat keinsanan yang baharu dan yang tinggal adalah sifat-sifat Tuhan yang qadim atau azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam keBaqa’an Allah Yang Qadim atau bersatunya ‘Abid dan Ma’bud (yang menyembah dan Yang Di Sembah). Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seseorang atau salik telah mengalami keadaan yang tak pernah sama sekali dilihat oleh mata, didengar oleh telinga maupun tak sama sekalipun terbersit dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin dapat disifati. Tetapi akan mengerti sendiri bagi siapa saja yang telah merasakan sendiri, sebagaimana kata sufi agung Dzin Nun Al-Mishri;
من لم يذق لم يعرف
“Siapa saja yang tidak pernah merasakan maka tidak akan mengerti”.
Untuk bisa mencapai keadaan Musyahadah seperti tersebut diatas (tahapan-tahapan diatas) adalah dengan jalan mujahadah, karena siapa saja yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah maka Allah akan memperbaiki sirr atau hatinya dengan mujahadah.