Kharisma Para Salafusshalih Dengan Al-Quran

قال أبو بكر بن عياش لابنه: يا بُنيَّ، إياك أن تعصي الله في هذه الغرفة، فإني ختمت فيها اثني عشر ألف ختمة.(النووي, الإبتهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج، جزء: ١، ص: ٧٤, المزي: تذهيب الكمال فى أسماء الرجال، جزء: ٣٣، ص: ١٣٤).

Abu Bakr bin Iyas (murid Imam Ashim bin Abi An-Nujud Al-Kufi Al-Asadi) pernah berkata pada putranya, “Hai anakku, takutlah kamu agar jangan sampai kamu bermaksiat kepada Allah di kamar ini. Karena sesungguhnya di kamar ini telah aku khatamkan (Al-Quran) sebanyak 12.000 kali khataman.” Lihat: An-Nawawi, Al-Ibtihaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hajjaj, juz; 1, hal. 74, cet. Darul Kutub Ilmiyah. Al-Khathib Al-Baghdadi, Tadzhibul Kamal Fi Asmair Rijal, juz; 33, hal. 134, cet. Muassasah Ar-Risalah).

وقال محمد بن یزید المرادي: لما حضرت أبا بكر بن عياش الوفاة بكت ابنته، فقال: يا بنية لاتبكي، أتخافين أن يعذبني الله وقد ختمت في هذه الزاوية أربعة وعشرين ألف ختمة !

Muhammad ibn Yazid Al-Muradi berkata: “Ketika Abu Bakar bin Iyyasy hendak meninggal, putrinya menangis, dan berkatalah Abu Bakr ibn Iyyasy, “Hai putriku, janganlah kamu menangis, apakah kamu takut Allah akan menyiksaku? (Ketahuilah) bahwa sesungguhnya aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di zawiyah ini 24.000 kali khataman.”

Zawiyah adalah semacam pondok (guthe’an; jawa) tempat pelajar tashawwuf atau penghafal Al-Quran zaman dahulu. Jika dihitung jumlah keseluruhan bacaan Al-Quran yang di khatamkan oleh Abu Bakr bin Iyasy (murid imam Ashim) adalah 36.000 kali khataman sepanjang hidupnya (12.000 kali khatam di kamar rumahnya, dan 24.000 kali khatam di pondok tempat beliau mengajar murid-muridnya).

Selain Abu Bakr bin Iyas, ada juga kisah kharisma ulama dengan Al-Qurannya yang beranama Ahmad bin Nashr Al-Khuza’i, sekalipun kepalanya terpenggal, lisannya tetap membaca Al-Quran. Al-Hafidz As-Suyuthi dalam kitabnya menceritakan riwayat dari Al-Hafidz Adz-Dzahabi:

أن أحمد بن نصر الخزاعي – أحد أئمة الحديث – دعاء الواثق إلى القول بخلق القرآن فابی، فضرب عنقه، وصلب رأسه ببغداد، ووكل بالراس من يحفظه ويصرفه عن القبلة برمح، فذكر الموكل به: أنه رآه بالليل يستدير إلى القبلة بوجهه فيقرأ سورة يس بلسان طلق. قال الذهبي: رويت هذه الحكاية من غير وجه.

“Sesungguhnya Ahmad bin Nashr Al-Khuza’i (salah seorang ulama hadits) di panggil oleh khalifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim Billah agar mengakui Al-Quran sebagai makhluk, akan tetapi Ahmad bin Nashr menolaknya. Maka dipenggallah kepalanya, dan kemudian kepala Ahmad bin Nashr di salib menghadap kota Baghdad.

Al-Watsiq memerintahkan seseorang menjaga dan memalingkan agar jangan sampai kepala Ahmad bin Nashr menghadap kiblat. Akan tetapi, orang yang tugaskan oleh Al-Watsiq menceritakan bahwa saat malam tiba, kepala Ahmad bin Nashr (secara tiba-tiba) berputar arah menghadap kiblat dan lisannya membaca surat Yasin dengan suara yang jelas (cetho; jawa) dan cepat. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa ia meriwayatkan kisah ini tanpa ada perbedaan versi.”

Lihat: Al-Hafidz As-Suyuthi, Syarhus Shudur Bi Syarhi Halil Mauta Wal-Qubur, hal. 399, cet. Dar Al-Minhaj. Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, jilid; 17, hal. 57-58.

Dalam riwayat yang lain, As-Suyuthi mencantumkan riwayat dari Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya:

ومن طرقها ما أخرجه الخطيب عن إبراهيم بن إسماعيل بن خلف قال: كان أحمد بن نصر خالي، فلما قتل في المحنة وصلب .. أخبرت أن الرأس تقرأ القرآن، فمضيت في قريبة منه، فلما هدأت العيون .. سمعت الرأس تقرأ: (الم أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا امنا وهم لا يفتون)، فاقشعر جلدي.

“Dari beberapa jalur riwayat sebagaimana Al-Khathib meriwayatkan dari Ibrahim bin Ismail bin Khalaf, bahwa ia berkata, “Ahmad bin Nashr adalah pamanku (dari jalur ibu). Saat ia terbunuh pada peristiwa cobaan yang begitu berat itu, dan ia disalib… Aku mendapatkan kabar bahwa kepalanya yang terpenggal itu masih (tetap) membaca Al-Quran. Maka akupun bergegas mendatangi (tempat dimana pamanku disalib kepalanya) dan mendekat dan mengamatinya lebih dekat. Di saat mataku mulai tenang (dari tangisan)…aku mendengar (dengan jelas) kepalanya itu tengah membaca ayat:

الٓمٓ. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوٓا أَنْ يَقُولُوٓا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ.

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, Kami telah beriman dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut 29 : Ayat 1 dan 2)

Mendengar itu, maka gemetaranlah kulitku.” Lihat: Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, jilid; 5, hal. 387. Dalam kitab Tahdzibul Kamal juz 1 hal. 211 disebutkan, dari lisan mayat Ahmad bin Nasr tetap membaca Al-Qur’an sampai jenazahnya dikebumikan. Pertanyaannya sekarang. Mengapa padsa masa salaf sampai sedemikian rupa mereka dalam memperlakukan Kalamullah, sehingga anugerah-anugerah yang luar biasa yang Allah berikan pada mereka pada masa itu menjadi suatu keistimewaan yang sulit di raih di masa sekarang?

Foto oleh Abdullah Ghatasheh dari Pexels

Tidak ada yang lebih manis bagi seorang kekasih daripada kata-kata orang yang mereka cintai.

لا شيء عند المحبين أحلى من كلام محبوبهم ؛ فهو لذة قلوبهم ، وغاية مطلوبهم
قال عثمان: لو طهرت قلوبكم ما شبعتم من كلام ربكم

Usman bin ‘Affan ra berkata, “Jika hatimu suci bersih, maka hatimu akan dipenuhi dengan kata-kata Tuhanmu.”

وقال ابن مسعود: مَن أحب القرآن فهو يحب الله ورسوله

Ibnu Mas’ud ra berkata: “Dia yang mencintai Al-Qur’an sama halnya mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

قال بعض العارفين لمريد: أتحفظ القرآن؟. قال: لا ؟ فقال: واغوثاه ! بالله ! مريد لا يحفظ القرآن، فبم يتنعم ؟ فبم يترنم ؟ فبم يناجي ربه تعالى ؟

Beberapa wali Allah bertanya kepada murid-muridnya: “Apakah kamu hafal Al-Qur’an? Si murid berkata: Tidak? Wali itu berkata: “Ya Allah… tolonglah dia, murid yang tidak menghafal Al Qur’an, lalu apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa dia senandungkan? Dan dengan cara apa ia memanggil (bermunajat kepada) Tuhannya Yang Maha Kuasa?”

كان بعضهم يكثر تلاوة القرآن، ثم اشتغل عنه بغيره؛ فرأى في المنام قائلا يقول إن كنت تزعم حبي فيلم جَفَوْتَ كتابي؟ أمّا تأملت ما فيه من لطيف عتابي؟

Beberapa dari mereka (orang-orang salaf/terdahulu) sering membaca Al-Qur’an, dan kemudian menyibukkan diri dengan Al-Qur’an daripada (mengurusi urusan) orang lain, sehingga suatu saat mereka melihat dalam mimpi (suara) yang mengatakan:

“Jika kamu mengklaim cinta-Ku, maka mengapa kitab-Ku sampai kering (tidak pernah dibaca)? Apakah pernah kamu memikirkan apa yang terbaik bagi-Ku?”. Sebab itulah kebanyakan mereka orang-orang salafus shalih menyibukkan waktunya dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an sebagaimana kebanyakan orang sekarang yang sibuk membaca pesan sosmed.

Perbedaan Pandangan Nasakh Dalam Al-Qur'an

Dulu, saya pernah dapat cerita dari Kyai Subhan (Kauman, Jombang), beliau dari gurunya, Mbah Kyai Usman Tretek Semanding-Kediri (ponpes Tahfidzul Quran Sunan Ampel), bahwa semasa hidupnya Mbah Moenawwir Krapyak Jogja, pernah “ngriyadhoi” Keraton Jogja dengan khataman Al-Quran bil ghoib seorang diri sebanyak 1000 kali dalam seminggu

Setelah beliau wafat, dilanjutkan oleh murid beliau, Al-Muqri` Mbah Kyai Arwani Amin Kudus (ponpes Yanbuul Quran, penyusun kitab Faidh Al-Barakat Fi Sab’i Al-Qira’at) sebanyak 1000 kali dalam seminggu, seorang diri, yang kemudian di era Gus Miek (pendiri semaan Jantiqo Mantab) Kediri dlanjutkan khataman Al-Quran bil ghoib seorang diri sebanyak 1000 kali dalam seminggu, dan setelah era Gus Miek wafat belum ada yang melanjutkan tradisi ini. Wallahu a’lamu bisshowab.

Referensi:

  • Ibnul Jauzi, meriwayatkan dalam kitab Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 1081.
  • Abu Nu’aim, meriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya’, jilid 7, hal. 300.
  • Al-Haitsami, meriwayatkan dalam kitab Majma’ Az-Zawa’id Wa Manba’ Al-Fawa’id, jilid 7, hal. 168, dari Ath-Thabrani.
Bagikan artikel ini ke :