Ketika Cinta Ditolak

Zaman sekarang, kalau seseorang menyatakan cintanya sama cewek yang diidam-idamkan, dan ditolak, maka pastinya kecewa, mangkel, pergi ke dukun, atau cari info siapa lelaki yang disukai ceweknya, begitu ketemu langsung prak..prok, gasak, atau paling santun nangis ke emaknya ngroweng-ngroweng. Ini zaman pemuda kebanyakan micin, masako, royko, dsb. Berbalik dengan kondisi sekarang.

Ada kisah sejarah berikut yang begitu luar biasa, saat cintanya ditolak malah senangnya bukan main, bahkan sahabat setia yang jadi comblangnya justru yang dipilih oleh si gadis, dan endingnya malah semua biaya pernikahan keduanya ditanggung oleh si pemuda yang ditolak… luar biasa.

Telah dikisahkan bahwa Salman Al-Farisi ra bersahabat karib dengan Abu Darda` ra, dan keduanya memang dipersaudarakan oleh Rasulullah Saw semenjak Nabi hijrah ke Madinah.

Suatu hari Salman Al-Farisi ra mengutarakan niatnya pada sahabat setianya ini bahwa ia ingin melamar seorang gadis yang telah dikenal oleh Salman Al-Farisi ra. Ya…, gadis yang selama ini diidam-idamkan oleh Salman Al-Farisi ra itu adalah seorang gadis cantik rupawan dari Bani Laits.

Demi mendengar curhatan sahabat kinasihnya ini, maka Abu Darda` tanpa pikir panjang bersedia membantu meluluskan niat hati sahabatnya ini. Maka berangkatlah Abu Darda ra bersama Salman Al-Farisi ra menuju desa tempat si gadis tinggal.

Di sana, Abu Darda` ra mengutarakan maksud kedatangannya kepada tuan rumah. Abu Darda` menyebut-nyebut keistimewaan Salman Al-Farisi ra, keutamaannya, dan kedudukan mulianya disisi Rasulullah Saw (dengan harapan agar tuan rumah dan anak gadisnya bertambah mantab dan senang).

Tapi tak disangka, begitu ayah si gadis menanyakan kesediaan anak gadisnya, malah jawaban yang diperoleh diluar dugaan. Ayah si gadis mengatakan pada Abu Darda` ra,

أَمَّا سَلْمَانُ فَلَا نُزَوِّجُهُ وَلٰكِنَّا نُزَوِجُكَ فَتَزَوَّجُهَا

Tentang Salman, (anak gadis) kami tidak berkeinginan menikah dengannya, akan tetapi (anak gadis) kami ingin menikah denganmu. Maka nikahilah dia.

Begitu mendengar jawaban tuan rumah dan anak gadisnya bahwa si anak gadis lebih memilih Abu Darda` ra daripada Salman Al-Farisi ra, maka keluarlah Abu Darda` ra dengan ekspresi wajah menahan rasa malu menemui Salman Al-Farisi ra yang sedari tadi menunggu diluar rumah.

Abu Darda` ra sangat malu, bahkan saking malunya sama Salman Al-Farisi ra, sampai ia bingung mau bilang apa sama sahabat setianya ini. Setelah memberanikan diri menceritakan apa adanya, Abu Darda` ra berkata pada Salman Al-Farisi ra;

إِنّهُ قَدْ كَانَ شَيْئٔ، وَإِنِّيْ أَسْتَحِي أَنْ أَذْكُرَهَ لَكَ

Sungguh telah terjadi sesuatu, dan aku merasa sangat malu untuk menceritakannya padamu.

Maka Salman ra bertanya pada Abu Darda’ ra,

وَمَا ذَاكَ؟

Ada apa memangnya..?

Maka diceritakan oleh Abu Darda` ra, dan tak disangka oleh Abu Darda` ra, Salman Al-Farisi ra justru mengatakan:

أَنَا أَحَقُّ أَنْ أَسْتَحِي مِنْكَ اَنْ اُخْطُبَهَا، وَكَانَ اللّٰهَ تَعَالَى قَدْ قَضَاهَا لَكَ

Seharusnya aku yang pantas malu padamu wahai Abu Darda`, karena telah memintamu untuk melamarnya untukku, sedangkan Allah Ta`ala telah mentakdirkan dia untukmu.

Maka menikahlah Abu Darda` ra dengan si gadis yang dulu diharap-harap oleh sahabat setianya, Salman Al-Farisi ra. Namun bagi Salman Al-Farisi ra tidak malah menjadikan ia “ngambek” dengan sahabat karibnya ini, malah dibiayainya semua kebutuhan pernikahan Abu Darda` ra bersama gadis yang dulu pernah diincarnya. Bahkan pada kitabnya Abu Nu`aim Al-Ashbahani banyak riwayat-riwayat atsar dari Salman Al-Farisi ra yang disampaikan oleh Ummu Darda` ra (istri Abu Darda` ra), yang menunjukkan bahwa mereka tetap berkawan baik sebagaimana semula.

Demikian akhlaq para sahabat Rasulullah Saw, didikan beliau Saw kepada para sahabatnya telah menjadikan mereka generasi terbaik nomor wahid dalam sejarah peradaban Islam.

Referensi kitab:

(1). Abu Nu`aim Al-Ashbahani (w. 430 H), kitab: Hilyatu Al-Auliya` Wa Thabaqat Al-Ashfiya`, jilid 1, hal. 271 (cet. Dar Al-Hadits, Al-Qahirah, 1430 H / 2009 M),_ riwayat dari Sulaiman bin Ahmad, dari Mu`adz bin Al-Mutsanna, dari Abdullah bin Sawwar, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit Al-Bannani.

(2). Ibnu `Asakir (w. 571 H), kitab: Tarikh Madinah Damsyiq, jilid 21, hal. 445-446, (cet. Dar Al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1415 H / 1995 M), riwayat dari Abu Abdillah Al-Furawi, dari Abu Bakr Al-Baihaqi, dari Abul Qasim Al-Harfi Al-Baghdadi, dari Ahmad bin Sulaiman, dari Mu`adz bin Al-Mutsanna, dari Abdullah bin Sawwar, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit Al-Bannani.

Bagikan artikel ini ke :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *