Keliru Dalam Memahami Makna Harfiyah Ayat Al-Qur’an

Seringkali suatu ayat Al-Qur’an yang kita baca secara apa adanya justru malah bikin kita jadi keliru dalam memahaminya. Padahal secara logika bahasa tidak ada yang keliru. Namun para ulama ternyata punya pemahaman yang lebih tepat dibandingkan dengan kita yang hanya memahami secara harfiyah.

Contoh sederhana dalam urusan hak waris anak perempuan tanpa keberadaan anak laki. Kalau anak perempuan hanya satu, dia mendapat bagian separuh harta pewaris. Kalau lebih dari satu, mereka mendapat 2/3 bagian. Itu yang kita pahami berdasarkan penjelasan para ulama. Padahal di dalam surat An-Nisa ayat 11, lafadznya tidak demikian. Lafadznya menyebutkan ‘fauqats-na-taini’ (فوق اَثنتين ), yang secara harfiyah bermakna ‘di atas dua orang’.

فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ

Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (QS. An-Nisa’ : 11)

Lebih dari dua orang itu berarti tiga, empat, lima dan seterusnya. Kalau dua orang, seharusnya belum masuk kriteria tersebut. Namun tidak ada satu pun ulama yang mengatakan demikian. Seluruhnya sepakat bahwa bila hanya ada dua orang anak wanita, sudah masuk ke dalam kategori menerima 2/3 bagian. Tapi coba perhatikan terjemahannya, disitu secara nyata disebutkan ‘lebih dari dua’. Berarti tiga orang dan seterusnya ke atas.

Selain contoh diatas ada juga kekeliruan memahami hukum dibolehkannya melakukan sa’i.

Seluruh ulama sepakat bahwa ritual ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah itu masuk dalam rukun haji dan umrah. Kalau tidak melakukannya, tidak sah haji dan umrah itu. Namun kalau kita baca ayatnya, justru kesan yang kita dapat seakan-akan bukan rukun, hanya sekedar dibolehkan saja.

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebaha-gian dari syi’ar Allah. Maka orang yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka ‘tidak ada dosa baginya’ mengerjakan sa’i antara keduanya. (QS. Al-Baqarah : 158)

Apa yang bisa kita simpulkan ketika Allah bilang : tidak ada dosa? Berarti boleh, halal dan kalau mau silahkan kerjakan. Wajibkah? Tidak ada kewajiban untuk melakukan sa’i yang kita temukan dalam ayat ini. Lalu hukumnya sunnah kah? Rukun, bukan sunnah. Para ulama umumnya sepakat bahwa sa’i tetap merupakan rukun haji, dengan berbagai macam dalil yang lain. Sedangkan ayat itu sendiri tidak ada kaitannya dengan posisi sa’i sebagai rukun.

Salah satu riwayat menyebutkan bahwa konteks turunnya ayat itu karena dahulu di masa jahilyah di antara bukit Shawa dan Marwah ada berhala yang amat ditakuti dan mereka tidak ingin mendekatinya. Padahal ada keharusan untuk melakukan ritual sa’i, sehingga ini menjadi masalah tersendiri, apakah tetap harus melaksanakan sa’i, padahal ada berhala disana, ataukah harus ditinggalkan saja. Pada saat itulah turun ayat yang menjelaskan bahwa tidak mengapa tetap menjalankan ibadah sa’i meski harus melewati berhala tersebut. Maka disebutkan lafadz (فلا جَناح ) yang artinya tidak jadi masalah atau tidak ada larangan di dalam ayat itu.

Photo by Adli Wahid on Unsplash

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam, tidak bisa dikotori oleh tangan-tangan kotor orang jahiliyah yang langsung mengambil makna secara harfiah. Kesucian Al-Qur’an telah dijamin Allah SWT di dalam Al-Qur’an sendiri.

Bahkan di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah menantang orang Arab untuk bisa membuat tandingan yang seperti Al-Qur’an. Akan tetapi mereka tidak bisa menjawab tangtangan itu. Dan di masa sekarang, setiap kali ada orang yang ingin memalsukan Al-Qur’an, selalu ketahuan dan justru malah dipermalukan.

Jadi kita sebenarnya tidak usah khawatir atau terlalu takut kalau muncul Al-Qur’an palsu. Cara semacam itu sudah ada sejak dahulu dilakukan orang, dan tak satu pun ada yang berhasil menyesatkan umat Islam. Upaya untuk memalsu Al-Qur’an adalah usaha terbodoh yang pernah dilakukan orang.

Mereka yang sedikit cerdas pasti tidak akan memalsukan isi Al-Qur’an, karena hal itu percuma saja. Hal yang bisa dilakukan adalah mengacaukan umat Islam dalam upaya memahami isi kandungan Al-Qur’an. Jadi yang diserang bukan Al-Qur’annya, melainkan cara menafsirkannya atau cara memahaminya. Dan itu memang upaya yang sangat mudah, karena dalam urusan memahami kandungan Al-Qur’an memang tidak ada aturan atau jaminan dari Allah SWT bahwa penafsirannya tidak menyimpang.

Photo by Lexi T on Unsplash

Maka disitulah kesempatan orang-orang jahiliyah bermain, mereka mulai mengubah caranya, tidak lagi memalsukan Al-Qur’an, tetapi mereka melakukan cara mengotak-atik dan mengobok-obok tafsir ayat Al-Qur’an. Sehingga sering terjadi suatu ayat diplintir kesana-kemari oleh mereka dengan alasan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Pandangan kebebasan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an ini kemudian merebak bagaikan fenomena penyebaran virus Korona. Mulailah ada orang-orang yang tidak punya kapasitas dan otoritas ilmu dalam menafsirkan Al-Qur’an bicara ngawur seenaknya dan semaunya. Dan seringkali orang macam ini dimanfaatkan demi untuk kepentingan oleh pihak tertentu.

Lalu bagaimana cara mengantisipasinya? baca saja tulisan ini

Bagikan artikel ini ke :