Sebagian dari kalangan yang mendukung kegiatan seremoni maulid Nabi SAW terkadang berdalil dengan nash-nash tertentu yang disebut-sebut sebagai hadits. Meski pun keotentikannya masih dipermasalahkan. Di antaranya nash-nash itu adalah: “Orang yang mengagungkan maulidku, maka dia bersamaku di surga”. “Orang yang menafkahkan satu dirhan untuk kepentingan maulidku, maka seperti menafkahkan sebuah gunung yang terbuat dari emas di jalan Allah.”
Klaim Atas Perkataan Shahabat
Bukan hanya klaim atas perkataan nabi Muhammad SAW, tetapi juga kita menemukan klaim-klaim atas para shahabat Nabi SAW. Beberapa di antaranya adalah klaim bahwa para khulafa’urrasyidin perah menyebutkan tentang keutamaan mengadakan maulid nabi dan menafkahkan harta untuk kegiatan itu.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah diklaim telah menyebutkan lafadz berikut ini:
Orang yang menafkahkan satu dirham untuk kepentingan maulid Nabi SAW, maka dia akan menjadi temanku di dalam surga.
Umar bin Al-Khattab juga diklaim telah menyebutkan perkataan di bawah ini:
Orang yang mengagungkan maulid nabi SAW maka dia berarti telah menghidupkan agama Islam.
Termasuk juga Utsman bin Affan, beliaujuga dipakai namanya sebagai orang yang dianggap telah menyebutkan lafadz ini:
Orang yangmenafkahkan satu dirham untuk bacaan maulid nabi SAW, maka seolah-olah dia ikut dalam Perang Badar dan Hunain.
Kalau lafadz ini, ini adalah lafadz yang diklaim sebagai perkataan Ali bin Abi Thalib:
Orang yang mengagungkan maulid Nabi SAW tidak akan keluar dari dunia ini kecuali denngan iman.
Semua klaim itu tentu saja susah dicari rujukannya. Sebab di semua kitab hadits yang kita kenal, sama sekali tidak pernah terdapat lafadz-lafadz di atas.
Klaim Atas Pernyataan Ulama
Ada juga lafadz yang diklaim sebagai perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i, namun setelah dicari di berbagai kitab tulisan Imam peletak dasar ilmu ushul fiqih itu, tidak ditemukan. Lafadz itu adalah:
Orang yang mengumpulkan saudaranya di saat maulid Nabi SAW, lalu menghidangkan untuk mereka makanan, serta berbuat ihsan, maka Allah akan bangkitkan dirinya di hari kiamat bersama para shiddiqin, syuhada’ shalihin dan berada dalam surga An-Na’m.
Juga ada lafadz yang diklaim sebagai perkataan Al-Imam As-Sirri As-Saqti, seperti ini:
Siapa yang mendatangi tempat dibacakannya maulid Nabi SAW, maka dia akan diberi taman di surga. Karena dia tidak mendatanginya kecuali karena cinta kepada Nabi SAW. Sedangkan Nabi SAW bersabda, “Orang yang cinta padaku maka dia akan bersamaku di surga.”
Kedudukan Hadits
Jangan tanya tentang kedudukan hadits-hadits di atas, sebab kalau kita cari di berbagai kitab hadits, entah itu di kitab Shahih Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah, At-Tirmizy, Abu Daud, atau kitab-kitab hadits lainnya, Kita tidak pernah mendapatkannya.
Padahal semua perkataan Nabi SAW pasti tercatat dalam kitab hadits yang mu’tabar. Demikian juga dengan para shahabatnya, semua ungkapan mereka pasti tercatat dengan baik.
Namun anehnya, lafadz-lafadz yang sejenisnya seperti di atas itu cukup populer di kalangan sebagian umat Islam. Bahkan dalam setiap kesempatan ceramah maulid, selalu diulang-ulang oleh para penceramahnya. Seolah-olah memang benar-benar hadits nabi.
Dari Mana Sumbernya?
Pertanyaan besarnya, bagaimana lafadz-lafadz yang diklaim sebagai hadits padahal bukan itu bisa begitu populer? Dari mana asal muasal lafadz-lafadz di atas itu? Kenapa bisa begitu populer dan banyak dipakai orang?
Jawabannya, kita harus berterus terang bahwa asalnya memang dari kitab yang sering digunakan di sebagian majelis taklim dan pesantren tradisional. Kami katakan pada sebagiannya, tidak berarti semua menggunakannya.
Tepatnya kitab itu adalah kitab Madarijush-Shu’ud. yang menjadi kitab syarah atau penjelasan dari kitab Al-Maulid An-Nabawi karya Al-Imam Al-‘Arif As-Sayyid Ja’far, atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Al-Barzanji.
Di kalangan tertentu, kitab ini cukup populer. Penulisnya memang adalah tokoh besar, bahkan beliau tinggal di Makkah, namun asalnya dari negeri kita. Beliau adalah Syeikh Nawawi Al-Bantani.
Di dalam kitab susunan beliau itulah kita dapat menemukan lafadz-lafadz diklaim sebagai hadits nabi atau perkataan para shahabat nabi, juga perkataan para ulama lainnya.
Dan sayang sekali, semua lafadz itu tidak satu pun yang dilengkapi sumber rujukan, perawi, apalagi alur sanad. Sehingga para kritikus hadits tidak bisa melacaknya di kitab-kitab rijalul hadits, atau di kitab lainnya.
Sementara lafadz-lafadz itu terlanjur dikutip oleh para kiyai dan ulama di negeri kita. Bahkan akhirnya lafadz itu menjadi lafadz langganan setiap kali mereka harus berhadapan dengan ‘lawan’ yang anti maulid. Sayangnya, lafadz itu akan menjadi otokritik kalau berhadapan dengan ‘lawan’ yang mengerti ilmu hadits dan kritiknya. Mungkin lafadz itu bisa diterima di kalangan awam yang tidak terlalu kritis dalam masalah kritik sanad hadits.
Siapakah Syeikh Nawawi Bantani?
Beliau adalah ulama besar abad ke-19 yang tinggal Makkah, namun beliau asli Indonesia. Kata Al-Bantani merujuk kepada daerah asalnya, yaitu Banten. Tepatnya Kampung Tanara, Serang, Banten
Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten. Beliau lahir tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.Beliau menuntut ilmu ke Mekah sejak usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir.
Syeikh Nawawi al-Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram. Setiap kali beliau mengajar, dikelilingi oleh tidak kurang dua ratus orang. Ini menunjukkan bahwa keulamaan beliau diakui oleh para ulama di Makkah pada masa itu. Yang menarik, disebutkan bahwa saat mengajar di Masjid Al-Haram itu, beliau menggunakan dengan bahasa Jawa dan Sunda.
Karena sangat terkenalnya, bahkan beliau pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara yang tertentu.
Syeikh Nawawi termasuk ulama penulis yang produktif. Hari-harinya digunakan untuk menulis. Beberapa sumber menyebutkan Syekh Nawawi menulis lebih dari 100 buku, 34 di antaranya masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books.
Dari sekian banyak bukunya, beberapa di antaranya antara lain: Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, al-Aqdhu Tsamin, Uqudul Lijain, Nihayatuz Zain, Mirqatus Su’udit Tashdiq, Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith, Nashaihul Ibad.
Murid-murid Syeikh Nawawi
Di antara yang pernah jadi murid beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) almarhum Kiyai Haji Hasyim Asy’ari. Juga kiyai Khalil Bangkalan Madura. Juga termasuk kiyai Machfudh dari Tremas, Jawa Timur.
Dari para kiyai itulah kemudian agama Islam disebarkan di seantero tanah Jawa, lewat berbagai pondok pesantren, madrasah, majelis taklim, pengajiandan tabligh akbar. Termasuk juga kebiasaan merayakan maulid nabi SAW tiap bulan Rabi’ul Awwal.
Kedudukannya Bukan Hadits
Sebagai kesimpulan, apa yang diklaim sebagai hadits dalam kitab tersebut, oleh para ahli hadits memang harus ditegaskan bukan sebagai hadits. Tanpa harus mengurangi rasa hormat kita kepada sosok Syeikh Nawawi Bantani yang memang telah banyak berjasa di bidang dakwah agama.
Tidak kurang, ulama sekelas Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA yang menegaskan hal itu. Beliau tentu saja adalah sosok yang paling berhak untuk mengatakan kedudukan suatu lafadz yang dianggap hadits.
Padahal beliau termasuk warga Nahdhiyyin, jebolan pesantren Tebuireng Jombang yang didirikan oleh Hadhratussyaikh Hasyim As-‘ari, pendiri NU dan juga murid Syeikh Nawawi Bantani.
Tapi inilah ciri intelektualitas Islam, tidak mengapa pendapat atau tulisan seorang ulama dikritisi oleh mereka yang memang ahli di bidangnya, tapi tanpa harus memaki atau mencaci, apalagi menghina. Hormat dan takdzim tetap harus dilakukan, tapi kebenaran juga harus disampaikan. Dan kita harus beruswah kepada mereka,
Lagian, pembuktian bahwa lafadz-lafadz di atas bukan hadits, tidak lantas membuat kita harus memusuhi orang yang merayakan maulid. Karena mereka yang merayakan maulid itu tidak semata-mata mendasarkan pendapatnya hanya dengan lafadz di atas.