Terdapat sebuah hadits dari Sahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
عن أبي هريرة، رضي اللَّهُ عنه، قَالَ: قَالَ رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الخَلْقَ، كَتَبَ في كِتَابٍ، فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ: إِنَّ رَحْمتي تَغْلِبُ غَضَبِي”
Tatkala Allah menciptakan para makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam Fathul Bari, hadits di atas menjelaskan bahwa rahmat Allah lebih dahulu ada dan lebih luas daripada murka-Nya. Hal itu disebabkan rahmat Allah adalah sifat yang sudah melekat pada diri-Nya dan diberikan kepada makhluk-Nya tanpa sebab apapun. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah ada jasa dan pengorbanan dari makhluk-Nya, pada asalnya Allah tetap sayang kepada makhluk-Nya. Dia menciptakannya, memberi rizki kepadanya dari sejak dalam kandungan, ketika penyusuan, sampai dewasa, walaupun belum ada amal darinya untuk Allah. Sementara murka-Nya timbul dengan sebab pelanggaran dari makhluk-Nya. Maka dari itu, rahmat Allah sudah tentu mendahului murka-Nya.
Dari hadits di atas juga menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya. Berikut kami sampaikan beberapa riwayat yang berkaitan dengan luasnya rahmat Allah. Dari Abu Hurairah berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda,
واحدة بين الجن والإنس والبهائم والهوام، فبها يتعاطفون، وبها يتراحمون، وبها يتعاطف الوحوش على أولادها، وأخَّر تسعاً وتسعين رحمة يرحم بها عباده يوم القيامة
Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) itu seratus bagian, lalu Dia menahan di sisi-Nya 99 bagian dan Dia menurunkan satu bagiannya ke bumi. Dari satu bagian inilah seluruh makhluk berkasih sayang sesamanya, sampai-sampai seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Umar bin Al Khattab, beliau menuturkan: Rasulullah kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api? Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya. Maka Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 2754)
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: لو يعلمُ المؤمنُ ما عند الله من العقوبة، ما طَمِع بِجَنَّتِهِ أحدٌ، ولو يَعلمُ الكافرُ ما عند الله من الرَّحمة، ما قَنَطَ من جَنَّتِهِ أحدٌ.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Kalau seandainya seorang mukmin mengetahui segala bentuk hukuman yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang masih berhasrat untuk mendapatkan surga-Nya. Dan kalau seandainya seorang kafir mengetahui segala bentuk rahmat yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk meraih surga-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jangan Berputus Asa dari Rahmat Allah
Setelah mengetahui betapa luasnya rahmat Allah, maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menggapainya dan jangan sampai berputus asa darinya. Sikap putus asa dari rahmat Allah inilah yang Allah sifatkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat.
قَالُواْ بَشَّرۡنَٰكَ بِٱلۡحَقِّ فَلَا تَكُن مِّنَ ٱلۡقَٰنِطِينَ. قَالَ وَمَن يَقۡنَطُ مِن رَّحۡمَةِ رَبِّهِۦٓ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ
Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa’. Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat’. (QS. Al Hijr: 55-56)
يَٰبَنِىَّ ٱذۡهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَاْيۡـَٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيۡـَٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
Dan juga firman-Nya, “Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka carlah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87).
Oleh sebab itu, berputus asa dari rahmat Allah merupakan sifat orang-orang sesat dan pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul ‘Aalamiin. Siapa saja yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama dengan mereka,
Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu diantara dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الكَبَائِر، فَقَالَ: الشِرْكُ بِاللهِ، وَاليَأْسُ مِن رُوحِ اللهِ، وَالأَمْنُ مِن مَكْرِ اللهِ
bahwa Rasulullah ketika ditanya tentang dosa-dosa besar beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar/adzab Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim, hasan)
Ampunan Allah Termasuk Rahmat-Nya
Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk luasnya rahmat Allah adalah luasnya ampunan Allah bagi para hamba-Nya yang pernah melakukan kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat.
قُلۡ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az Zumar: 53)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagaikan buih di lautan.”
Kemudian beliau menambahkan, “Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang mau bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah, walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”
Dari Anas, Saya mendengar Rasulullah bersabda,
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah berfirman, “Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi, hasan)
Jangan Kau Undang Murka Allah dan Merasa Aman Darinya
Banyak manusia yang terlena karena luasnya rahmat dan kasih sayang Allah terhadapnya, sehingga menjadikan dia merasa aman dari datangnya murka Allah disebabkan dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Kemurkaan Allah bisa datang berupa adzab dan siksa baik di dunia maupun di akhirat.
أَفَأَمِنُواْ مَكۡرَ ٱللَّهِ ۚ فَلَا يَأۡمَنُ مَكۡرَ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
Maka apakah mereka aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga datangnya)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al A’raf: 99).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa diantara sifat orang-orang musyrik adalah mereka merasa aman dari siksa Allah dan tidak merasa takut dari siksa-Nya. Maka hakikat adzab (makar) Allah ialah Allah memberikan kelonggaran kepada seorang hamba yang senantiasa berbuat dosa dan maksiat dengan memudahkan urusannya (dalam bermaksiat) sehingga di benar-benar merasa aman dari murka dan siksa-Nya. Dan hal inilah yang dinamakan “istidraj”.
Nabi bersabda, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj.” Kemudian Rasulullah membacakan firman Allah,
فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. [QS. Al An’am: 44] (HR. Ahmad, shahih)
Jika seseorang berada dalam keadaan sehat, lapang, dan rajin dalam beramal shalih, maka semestinya kadar keduanya (harap dan takut) dijaga kesimbangannya.
فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS. Al Anbiya’: 90)
Jika dalam keadaan sehat dan lapang, namun selalu berbuat maksiat kepada Allah, maka semestinya kadar takutnya lebih ditinggikan.
Nabi bersabda, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidaj” (HR. Ahmad)
Jika dalam keadaan menghadapi kematian (dalam keadaan kesulitan), maka semestinya kadar harapnya lebih ditinggikan. Nabi bersabda,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah (HR. Muslim).