Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syaafi’i bin Saaib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Haasyim bin Abdul Mutthalib bin Abdul Manaf. Imam Syafi’i merupakan satu-satunya imam mazhab yang keturunan Quraisy yang mana nasabnya bersambung dengan Rasulullah saw melalui Abdul Manaf. Rasulullah saw bersabda: “kepemimpinan itu dari kalangan orang-orang Quraisy” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Fakhrurrazi (salah satu ulama besar yang bermazhab Syafi’i) berkata: Jurjani merupakan satu ulama dari kalangan mazhab hanafi yang mencela nasabnya Imam Syafi’i. Beliau juga berkata dalam Manaqibu Imam Syafi’i, bahwa pengikut mazhab maliki tidak mengakui bahwa nasab Imam Syafi’i berasal dari Quraisy, bahkan mereka beranggapan bahwasanya Syaafi’ (kakek ketiga Imam Syafi’i) adalah budak Abu Lahab. Hoax mereka ini sudah dibantah oleh mayoritas ulama pengikut mazhab Syafi’i.
Imam Nawawi berkata dalam kitab Tazhibul Asma’ Wal Lughaat, ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah yang bertempatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Yaqut berkata dalam Mu’jamul Udaba’, Imam Syafi’i lahir pada hari wafatnya Imam Abu Hanifah. Walaupun mayoritas ulama tidak memperhitungkan pendapat ini
Para ulama berselisih pendapat mengenai dimana Imam Syafi’i dilahirkan. Pertama, Imam Syafi’i berkata “saya dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H, pada umur 3 tahun saya pindah ke Mekah”. Kedua, Imam Syafi’i berkata “saya dilahirkan Asqalan”, jarak antara Asqalan dengan Gaza sekitar 3 Farsakh dan kedua daerah ini masuk dalam wilayah palestina.
Ketiga, Imam Syafii berkata “saya dilahirkan di Yaman, khawatir takut telantar, ibu membawa saya ke Mekah”. Ini merupakan pendapat yang paling lemah.
Mengenai pendapat pertama dan kedua walaupun secara dhahirnya kontradiksi namun bisa di kompromikan, perkataan Imam Syafi’i saya lahir di Gaza, maksudnya adalah Desa. Sedangkan perkataan imam Syafi’i saya lahir di Asqalan, maksudnya adalah Kota. Kedua tempat tersebut masuk kedalam wilayah Palestina.
Imam Syafi’i memulai perjalanan menuntut ilmunya dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran sehingga pada umur 7 tahun beliau telah menyelesaikan hafalan Al-Qurannya dengan lancar. Setelah menyelesaikan hafalan Al-Qurannya, beliau melanjutkan dengan menghafal berbagai macam syair-syair arab dan kitab al-Muwattha’ yang ditulis oleh Imam Malik.
Dalam kitab Tawalit Ta’sis karya Ibnu Hajar Alasqalani, Imam Syafi’i berkata “aku menyelesaikan hafalan Al-Quran pada umur 7 tahun dan menyelesaikan hafalan kitab al-Muwattha’ pada umur 10 tahun.” Ketika berada di mekah beliau berguru kepada Sufian bin Uyainah, salah seorang ahli hadist Mekah dan beliau juga merupakan pembesar Tabi’u Tabi’in yang wafat pada tahun 198 H.
Imam Syafi’i berkata dalam Adabu Syafi’i karya Ibnu Abi Hatim “kalau bukan karena Malik dan Sufian, maka akan hilanglah ilmu Hijaz”. Imam Syafi’i juga berguru kepada Muslim bin Khalid al-Zanji, salah seorang ahli fikih Mekah dan beliau juga merupakan pembesar Tabi’u Tabi’in yang wafat pada tahun 179 H.
Pada tahun 163 H, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah Munawwarah untuk berguru kepada Imam Malik, beliau merupakan salah seorang ulama hadist sekaligus pakar fikih di Madinah yang wafat pada tahun 179 H. Pada saat itu Imam Syafi’i berumur 13 tahun. Ketika berumur 15 tahun, beliau mendapat rekomendasi dari gurunya Muslim bin Khalid untuk memberikan berfatwa dalam masalah agama. Imam Syafi’i tidak meninggalkan kota Madinah kecuali setelah wafatnya Imam Malik.
Pada tahun 184, Imam Syafi’i berangkat ke Iraq untuk diadili oleh khalifah Harun al-Rasyid atas tuduhan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, namun akhirnya beliau dibebaskan atas rekomendasi Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang merupakan murib terbaiknya Imam Abu Hanifah yang pada saat itu menempati posisi Qadhi pada pemerintahan Abbasiyah.
Setelah beliau dibebaskan dari tuduhan tersebut, beliau berguru kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tentang Fikih Hanafi atau Mazhab Ahli Ra’yi sampai beliau wafat. Setelah wafatnya Muhammad bin Hasan pada tahun 189, Imam Syafi’i meninggalkan kota Baghdad menuju kota Mekah dan mengisi kajian Fikih serta memberikan fatwa di masjid Haram.
Pada saat itulah beliau mulai merintis Mazhab sendiri yang berbeda dengan kedua gurunya yaitu Imam Malik dan Muhammad bin Hasan. Pada tahun 195 H, Imam Syafi’I meninggalkan kota Mekah dan menuju ke Baghdad untuk yang kedua kalinya setelah menetap diMekah selama 6 tahun. Tujuan beliau kembali lagi ke Baghdad adalah untuk mengembangkan dan menyebar luaskan mazhabnya.
Selama berada di Baghdad, beliau berhasil menulis kitab dalam bidang Usul Fikih yang berjudul al-Risalah dan dalam bidang fikih yang berjudul al-Hujjah atau yang lebih dikenal dengan mazhab Qadim. Diantara murib beliau di Baghdad adalah Imam Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur al-Kalbi, Abu Ali al-Karabisi, dan Hasan al-za’farani.
Pada tahun 199 H, Imam Syafi’i berangkat menuju Mesir untuk menyebar luaskan mazhabnya. Di antara murib beliau selama berada di Mesir adalah Abu Yaqub al-Buwaithi, Ismail al-Muzani, dan Rabi’ al-Muradi.
Ketika berada di mesir, baliau banyak merevisi fatwanya dengan fatwa yang baru atau yang lebih dikenal dengan Mazhab Jadid yang dicantumkan dalam kitab beliau yang berjudul al-Umm. Beliau menghabiskan masa hidupnya di mesir hingga beliau wafat pada tahun 204 H.