Dalam dunia persilatan bidang ‘ulum al-Qur’an (ilmu-ilmu al-Qur’an) ada seorang master dan legenda yang wajib diketahui oleh siapapun yang hendak mendalami ilmu tersebut.
Beliau adalah Abdurrahman bin Abi Bakr atau yang lebih kita kenal dengan Jalaludin as-Suyuthi, kiprah dan sumbangsih beliau dalam dunia keilmuan al-Qur’an sungguh sangat besar, yang mana kitab beliau yang bernama al-Itqon Fii Ulum al-Qur’an menjadi kitab wajib bagi setiap pembelajar ilmu al-Qur’an.
Tak seorangpun dianggap menjadi master di bidang ilmu al-Qur’an kecuali telah menguasai atau minimal mempelajari 80 jurus yang dituliskan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya ini.
Tulisan ini mencoba untuk mengungkap sedikit lebih jauh tentang siapa itu imam Suyuthi dan bagaimana latar belakang ditulisnya kitab al-Itqon.
Nama lengkap
Nama lengkap beliau adalah al-Hafidz Abdurrahman bin Kamal bin Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin bin Fakr Utsman bin Nadziruddin al-Himam al-Khudhairi as-Suyuthi al-Mishri as-Syafi’i. Laqab beliau adalah Jalaludin as-Suyuthi sedangkan Kuniahnya adalah abu fadhl.
Kakek beliau yaitu Sabiquddin adalah seorang ahli hakikat dan merupakan seorang Syekh thariqoh dalam dunia tasawuf, keluarga imam Suyuthi umumnya merupakan orang-orang berkedudukan, ada yang menjadi pejabat pemerintahan ada yang menjadi pejabat pengusaha, hanya orang tua imam Suyuthi yang konsen berkhidmah dalam keilmuan agama.
Kelahiran
Beliau lahir di sebuah daerah bernaman Asyut di negri Mesir pada malam Ahad bulan Rajab tahun 849 H. imam Suyuthi tumbuh dalam keadaan yatim, ayahnya wafat pada saat usia imam Suyuthi masih enam tahun.
Perjalanan menuntut ilmu
Sebelum mencapai usia delapan tahun, imam Suyuthi sudah hafal al-Qur’an dan beberapa kitab yang mudah dihafal olehnya seperti kitab al-Umdah, Minhaj al-Fiqh wa al-Ushul dan Alfiyah Ibnu Malik.
Pada usia 16 tahun beliau mulai lebih dalam lagi mempelajari berbagai jenis ilmu keagamaan, beliau belajar ilmu fiqh dan nahwu kepada beberapa syekh, belajar ilmu faraidh (waris) kepada syekh Syihabudin as-Syarimasahi, yang merupakan pakar faroidh di jamannya, beliau juga mermulazamah mempelajari fiqih kepada Syaikhul Islam al-Bulqini hingga wafatnya, kemudian berlanjut kepada putranya Alamuddin al-Bulqini.
Dalam belajar ilmu tafsir, ushul dan bahasa arab beliau bermulazamah kepada Ustadz al-Wujud Muhyiddin al-Kafiji selama 14 tahun. Masih banyak lagi jenis ilmu dan masyayikh tempat beliau belajar, selain di negrinya, imam suyuthi juga berkelana mencari ilmu ke berbagai kota dan negri, di antaranya Fayum, Mahilah, Dimyath, negri Syam, Hijaz, Yaman, Indian dan Maroko.
Kecerdasan dan keluasan ilmu
Imam Suyuthi dianugrahi oleh Allah keluasan ilmu dalam tujuh bidang ilmu keagamaan, yaitu ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu ma’ani ilmu bayan dan ilmu badi’. Bahkan beliau begitu percaya diri menggunggulkan dirinya dihadapan para syekh, beliau berkata:
“Sesungguhnya penguasaanku terhadap ketujuh ilmu ini belum ada yang menandingi bahkan dari kalangan guru-guruku, kecuali ilmu fiqih dan ilmu riwayat”
Kitab-kitab yang pernah beliau pelajari
Beliau pernah menghadiri majelisnya syekh Saifuddin al-Hanafi untuk belajar beberapa ilmu dari kitab al-Kasyaf dan at-Taudhih, ayah beliau juga pernah membawanya dalam majelis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, belajar kitab Shahih Muslim, as-Syifa, Alfiyah Ibnu Malik, Syarh Syudzur, al-Mughni Fii Ushul Fiqh al-Hanafi dan Syarh Aqaid kepada syekh as-Sairafi.
Beliau juga belajar beberapa kitab kepad syekh Syamsul al-Marzabani al-Hanafi seperti kitab al-Kafiyah dan syarhnya, as-Syafiyah dan syarahnya karangan syekh al-Jarudi juga kitab Alfiyah karya al-Iroqi.
Belum lagi di majelisnya al-Bulqini, Syarof al-Munawi, Saefuddin al-Hanafi, as-Syamani dan al-Kafiji untuk mempelajari begitu banyak kitab. Namun meski begitu beliau tetap merasa belum bagitu banyak tau tentang ilmu riwayat, beliau lebih mendahulukan ilmu-ilmu dirayat karena dalam pandangannya ilmu tersebut lebih penting.
Guru, Murid dan Koleganya
Imam Suyuthi berguru kepada sekitar 150 syekh, yang paling terkenal di antaranya adalah syekh Ahmad as-Syarimasahi, syekh Umar al-Bulqini, syekh Sholeh bin Umar al-Bulqini, syekh Muhyiddin al-Kafiji, al-Qodhi Syarifuddin al-Munawi.
Beliau juga memiliki begitu banyak murid, di antaranya adalah al-Hafidh Syamsuddin bin Ali ad-Daudi al-Mishri as-Syafi’i.
Adapun di antara teman seperjuangan beliau dalam menuntut ilmu adalah Syamsuddin as-Sakhowi dan Ali al-Asymuni.
Akidah Imam Suyuthi
Akidah imam Suyuthi adalah akidah ahlusunah wal jama’ah, itu terlihat dari kitab-kitab beliau yang membela para Sahabat dan berpegang teguhnya beliau pada Sunah. Beliau juga condong kepada pemikiran-pemikiran tasawuf mengikuti jejak kakeknya Nadziruddin al-Himam.
Peninggalan Imam suyuthi
Ketika imam Suyuthi berusia 40 tahun beliau mulai menyendiri meninggalkan semua aktifitasnya, memfokuskan dirinya untuk menulis kitab, maka dalam rentang waktu 22 tahun beliau mampu mensuplai perpustakaan-perpustakaan Islam dengan hampir 600 kitab karangannya yang terdiri dari berbagai bidang keilmuan Islam, di antaranya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ushul fiqh, bahasa arab dengan seluruh cabangnya dan ilmu sejarah.
Wafat Imam Suyuthi
Imam Suyuthi wafat dalam keadaan beliau yang sedang fokus menulis kitab, setelah sakit selama tujuh hari dan bengkak pada tangan kirinya semakin parah maka pada hari kamis tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H Imam Suyuthi menghembuskan nafasnya yang terakhir, yang kemudian jasadnya dimakamkan di pemakaman Husy Qosun di Mesir.
Latar belakang penulisan kitab al-Itqon
Imam Suyuthi sejak masa tholabul ilmi sudah begitu kagum dengan al-Qur’an dan segala ilmu yang berkaitan dengannya, namun beliau merasa heran, mengapa belum ada seorang pun yang menyusun dan mengarang suatu kitab yang konsen membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, beliau berkata dalam muqodimah kitabnya:
ولقد كنت في زمان الطلب أتعجب من المتقدمين إذ لم يدونوا كتابا في أنواع علوم القرآن كما وضعوا ذلك بالنسبة إلى علم الحديث>
“ketika saya masih dalam masa tholabul ilmu saya merasa heran kepada ulama-ulama terdahulu, mengapa tidak ada di antara meraka yang menyusun sebuah kitab tentang ilmu-ilmu al-Qur’an sebagaimana mereka menyusun ilmu-ilmu dalam bidang hadits?”
Kemudian beliau mendengar bahwa gurunya yaitu syekh Muhyiddin al-Kafiji telah menyusun sebuah kitab tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, Imam Suyuthi menuliskan kitab tersebut namun ternyata beliau mendapati bahwa kitab tersebut sangat tipis karena hanya terdiri dari dua bab, bab pertama tentang definisi takwil, tafsir, al-Qur’an, surat dan ayat, bab kedua membahas syarat-syarat manafsiri al-Qur’an dengan akal pikiran, yang diakhiri dengan adab-adab dalam belajar dan mengajar al-Qur’an.
Hal ini menurut imam Suyuthi belum memuaskan dahaga dan belum mampu menjelaskan maksud yang beliau harapkan.
Akhirnya guru beliau yaitu syekh Alamuddin al-Bulqini menunjukan sebuah kitab bernama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ an-Nujum milik saudaranya yaitu Qodhi al-Qudhot Jalaluddin yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, imam Suyuthi mendapati kitab ini telah cukup rapih dalam sistematika pembahasan dan penyusunannya, terdiri dari enam pembahasan pokok yang dipecah menjadi 50 masalah.
Dari kitab inilah imam Suyuthi kemudian menulis kitab bernama at-Tahbir Fii Ulum at-Tafsir, kitab ini mirip dengan kitab Mawaqi’ al-Ulum hanya saja imam Suyuthi menambahkan contoh-contoh dan beberapa permasalahan penting yang belum dibahas di kitab Mawaqi’. Kitab ini selasai ditulis pada tahun 872 H, di dalamnya dibahas 102 permasalahan terkait ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an.
Setelah menulis kitab at-Tahbir, terlintas dalam benak imam Suyuthi untuk menulis kembali kitab dengan pembahasan yang sama namun lebih rapih dan sederhana dalam penyusunannya namun lebih menghimpun semua permasalahan serta lebih terukur dan lebih detail dalam setiap pembahasannya.
Dengan menulis kitab seperti ini beliau berharap menjadi orang pertama dan satu-satunya yang secara lengkap dan detail membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, beliau berkata:
وأنا أظن أني متفرد بذلك غير مسبوق بالخوض في هذه المسالك
“Saya mengira bahwa saya yang pertama dan satu-satunya orang yang melakukan ini (menulis kitab) dengan lebih dalam dalam sistematika pembahsannya”
Namun rupanya niat beliau untuk menulis kitab tersebut menjadi setengah hati, karena beliau mendapat kabar bahwa sudah ada orang yang menulis sebuah kitab yang mirip dengan apa yang beliau selama ini pikirkan untuk kitabnya.
Kitab tersebut adalah kitab al-Burhan Fii Ulum al-Qur’an, karangan syekh al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi. Kitab ini terdiri dari 47 bahasan, semuanya terkait dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an.
Namun setelah membaca kitab al-Burhan ini, imam Suyuthi justru merasa bahagia dan bersyukur serta bertambah azam dan niatnya untuk menulis kitab yang kemudian diberi nama al-Itqon Fii Ulum al-Qur’an. Beliau mengatakan:
ولما وقفت على هذا الكتاب ازددت به سرورا وحمدت الله كثيرا وقوي العزم على إبراز ما أضمرته وشددت الحزم في إنشاء التصنيف الذي قصدته فوضعت هذا الكتاب العلي الشأن الجلي البرهان الكثير الفوائد والإتقان ورتبت أنواعه ترتيبا أنسب من ترتيب البرهان وأدمجت بعض الأنواع في بعض وفصلت ما حقه أن يبان وزدته على ما فيه من الفوائد والفرائد والقواعد والشوارد ما يشنف الآذان وسميته بالإتقان في علوم القرآن وسترى في كل نوع منه إن شاء الله تعالى ما يصلح أن يكون بالتصنيف مفردا وستروى من مناهله العذبة ريا لا ظمأ بعده أبدا
“Setelah aku selesai membaca kitab al-Burhan aku bertambah bahagia, aku bersyukur kepada Allah dan bertambah kuat azamku untuk mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam, aku pun menguatkan tekad untuk menulis kitab yang dulu aku niatkan, maka aku mulai menyusun kitab, kitab yang sangat penting, yang memberi penjelasan, yang memiliki banyak faidah.
Aku susun kitab ini dengan susunan yang lebih baik daripada susunan kitab al-Burhan, aku gabungkan beberapa masalah kedalam sebagian masalah lainnya, aku jabarkan yang sekiranya perlu penjabaran, aku tambahkan di dalamnya banyak faidah, hal-hal penting, kaidah-kaidah dan hal-hal unik yang masih asing di telinga.
Aku namai kitab ini dengan kitab al-Itqon Fii Ulum al-Qur’an, kamu akan dapati dalam setiap pembahasannya layak untuk dikatakan “tiada duanya” insya Allah, kamu juga akan merasa kenyang ketika meminum ilmu dari mata air ini (al-Itqon) yang mana setelah kamu minum tak akan haus lagi selamanya.”
Akhirnya imam Suyuthi mulai menulis kitab al-Itqon ini dengan memohon bantuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kitab ini terdiri dari 80 objek bahasan, yang mana setiap objek pembahasan dalam kitab ini menjadi ilmu tersendiri yang belum tentu cukup dibahas dalam satu kitab khusus