Imam as-Suyuthi nama lengkap beliau adalah Abdurrahman bin Kamal bin Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin bin Bakr Utsman bin Nadziruddin al-Himam al-Khudhairi as-Suyuthi al-Mishri as-Syafi’i. Laqab beliau adalah Jalaludin as-Suyuthi sedangkan kunyah-nya adalah Abu Fadhl. Kakek beliau yaitu Sabiquddin adalah seorang ahli hakikat dan merupakan seorang syekh thariqah dalam dunia tasawuf. Keluarga imam Suyuthi umumnya merupakan orang-orang terpandang yang memiliki kedudukan, ada yang menjadi pejabat pemerintahan, ada juga yang menjadi pengusaha besar di zaman itu. Hanya orang tua imam Suyuthi saja yang konsen berkhidmah dalam keilmuan agama.
Beliau lahir di sebuah daerah bernama Asyut di negri Mesir pada malam Ahad bulan Rajab tahun 849 H. Imam as-Suyuthi tumbuh dalam keadaan yatim. Ayahnya wafat pada saat usia Imam as-Suyuthi belum genap enam tahun. Di masa kecilnya as-Suyuthi mendapat julukan Ibnul Kitab (anak buku), yaitu tatkala sang Ibu hamil besar, sang Ayah memintanya mengambilkan beberapa kitab di perpustakaan pribadinya. Ketika ingin mengambil buku-buku itulah tetiba sang Ibu merasa hendak melahirkan, dan akhirnya bayi mungil as-Suyuthi lahir diantara kitab-kitab di perpustakaan Ayahnya.
Perjalanan menuntut ilmu bagi Imam as-Suyuthi memang telah ditanamkan oleh sang Ayah bahkan sejak beliau balita. Diceritakan dalam kitab Al-Kawakib as-Sairoh bi A’yani al-Miah al-Asyiroh. Jilid 1 hal 227, sang Ayah sering membawa Imam as-Suyuthi menghadiri majlis ilmu seorang syaikh terkenal, yang dikemudian hari baru beliau ketahui -melalui kolega sang Ayah- bahwa syaikh tersebut adalah al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar as-Asqalani.
Sebelum mencapai usia delapan tahun, imam as-Suyuthi sudah hafal Al-Qur’an dan beberapa kitab yang lain seperti Umdah al-Ahkam karya al-Maqdisi, Minhaj an-Nawawi, Minhaj al-Baidhowi dan Alfiyah Ibnu Malik. Pada usia 15 tahun beliau mulai lebih dalam lagi mempelajari berbagai jenis ilmu keagamaan, beliau belajar ilmu fiqh dan nahwu kepada beberapa syekh. Belajar ilmu faraidh (waris) kepada syekh Syihabudin as-Syarimasahi, yang merupakan pakar faroidh di zamannya. Beliau juga ber-mulazamah mempelajari fiqih kepada Syaikhul Islam al-Bulqini hingga wafatnya, kemudian berlanjut kepada putranya Alamuddin al-Bulqini.
Dalam belajar ilmu tafsir, ushul dan bahasa arab beliau berguru kepada Ustadz al-Wujud Muhyiddin al-Kafiji selama 14 tahun. Masih banyak lagi jenis ilmu dan masyayikh tempat beliau belajar. Selain di negrinya sendiri, Imam as-Suyuthi juga berkelana mencari ilmu ke berbagai kota dan negri, diantaranya Fayum, Mahilah, Dimyath, negri Syam, Hijaz, Yaman, Indian dan Maroko.
Para ulama mengatakan bahwa ada dua hal utama yang menjadi sebab keberkahan ilmu Imam as-Suyuthi hingga mengantarkannya menjadi ulama besar abad ke-10. Pertama, keterbukaan fikirannya. Meskipun beliau seorang yang bermadzhab syafi’i, tetapi hal itu tidak membatasi beliau untuk menimba ilmu kepada guru-guru yang berlainan madzhab. Misalnya ketika beliau berguru kepada Izzuddin Ahmad bin Ibrahim al-Kinani yang bermadzhab Hanbali, dan kepada Ibrahim bin Muhammad bin ‘Abdillah bin al-Dairiy yang bermadzhab Hanafi. Kedua, konsistensi beliau dalam menuntut ilmu. Tercatat dalam sejarah, bahwa tidaklah Imam as-Suyuthi keluar dari madrasah seorang guru melainkan beliau telah menguasai bidang keilmuan tersebut atau karena gurunya itu meninggal dunia. Sehingga tak jarang, Imam as-Suyuthi bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk bermulazamah kepada gurunya.
Az-Zirikli dalam kitab Al-A’lam. Jilid 3 hal 301 menyebut bahwa Imam as-Suyuthi adalah seorang imam besar, ahli hadist, sejarawan ulung sekaligus pakar bahasa dan seorang penulis yang produktif. Imam Suyuthi dianugrahi oleh Allah SWT keluasan ilmu dalam tujuh bidang ilmu keagamaan yang berbeda, yaitu ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu badi’. Bahkan beliau begitu percaya diri mengunggulkan dirinya dihadapan khalayak ramai, beliau berkata, “Sesungguhnya penguasaanku terhadap ketujuh ilmu ini belum ada yang menandingi bahkan dari kalangan guru-guruku, kecuali ilmu fiqih dan ilmu riwayat”
Dijabarkan dalam kitab Al-Kawakib as-Sairoh bi A’yani al-Miah al-Asyiroh. Jilid 1 hal 229, dalam bidang Imam As-Suyuthi berkata mengenai dirinya sendiri, “Aku hafal dua ratus ribu hadits. Jika masih ada selainnya, pasti aku akan hafal juga. Dan sekiranya -di zaman ini- tidak ada yang menandingiku dalam hal tersebut”
Kecerdasan Imam as-Suyuthi nampaknya tak perlu diragukan lagi. Ketika masih berumur tujuh belas tahun, beliau sudah mendapat persetujuan dari para gurunya untuk menjadi pengajar bahasa Arab. Bahkan Imam al-Bulqini memberinya mandat untuk mengajar fiqih dan berfatwa padahal usia beliau baru menginjak dua puluh tujuh tahun. Banyaknya karya beliau yang tersebar dalam berbagai cabang ilmu juga menjadi dalil sahih akan kedalaman dan luasnya keilmuan yang terhimpun dalam sosok Imam as-Suyuthi.
Akidah imam as-Suyuthi adalah akidah ahlusunah wal jama’ah, itu terlihat dari kitab-kitab beliau yang membela para Sahabat dan berpegang teguhnya beliau pada as-Sunnah. Beliau juga condong kepada pemikiran-pemikiran tasawuf mengikuti jejak kakeknya Nadziruddin al-Himam.
Imam as-Suyuthi berguru kepada sekitar 150 syaikh. Beliau menyimak dan mendapat ijazah dari guru-gurunya. Diantara ratusan guru dari Imam as-Suyuthi tersebut, kami hanya akan menyebutkan beberapa nama yang paling berpengaruh dan membentuk jati diri dan pola pikir Imam as-Suyuthi.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani (w 852 H), Meskipun Imam as-Suyuthi bukanlah murid langsung dari al-Hafidz Ibnu Hajar, karena beliau masih sangat kecil ketika menemani ayahnya datang ke majlis Ibnu Hajar. Tapi agaknya al-Hafidz memiliki tempat tersendiri di hati as-Suyuthi. Di dalam banyak karyanya Imam as-Suyuthi sering menyebut al-Hafidz dengan sebutan ‘syaikhuna’ (guru kami). Dan Imam as-Suyuthi begitu berharap agar dirinya selevel dengan idolanya tersebut dalam bidang ilmu hadis.
Al-Bulqini, Alamuddin Solih bin Sirojuddin Umar al-Bulqini asy-Syafi’i. Guru Imam as-Suyuthi yang satu ini, disebut sebagai pemegang bendera madzhab syafi’i pada masanya. Dari beliau, Imam as-Suyuthi belajar ilmu fiqih, hadis dan tafsir.
Al-Munawi, Syarofuddin Yahya al-Munawi asy-Syafi’i. Selain al-Bulqini, al-Munawi juga ulama besar madzhab Syafi’i di zamannya. Keduanya menjadi qodhi madzhab Syafi’i di negri Mesir.
Asy-Syamani, Taqiyuddin abu al-Abbas Ahmad bin Kamaluddin asy-Syamani al-Hanafi (872 H) Seorang pakar ilmu nahwu di masanya. Imam as-Suyuthi berguru kepadanya selama empat tahun.
Al-Kafiji, Muhyiddin al-Kafiji. Tak kurang dari empat belas tahun Imam as-Suyuthi menimba ilmu dari gurunya yang satu ini. Karena kemurahan hati dan perhatiannyalah Imam as-Suyuthi menyebut beliau sebagai ayah keduanya. Darinya sang Imam belajar ilmu kalam, ushul, logika, debat, filsafat dan nahwu. Bersama asy-Syamani, beliau berjuluk pendekar nahwu abad ke-sembilan hijriyah. Saifuddin Muhammad bin Muhammad bin Umar al-Hanafi (881 H)
Beliau juga memiliki begitu banyak murid, diantara murid beliau yang terkenal Syaikh Abdul Qodir bin Muhammad bin Ahmad asy-Syadzili asy-Syafi’i, Syaikh Ibnu Iyas Abul Barokat Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-hanafi, penulis kitab “Badai’uz Zuhur Fi Waqo’iud Duhur”, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar al-‘Alqomi, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ali bin Ahmad ad-Dawudi al-Mishri, Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Thulun ad-Dimasyqi al-Hanafi, Syaikh Muhammad bin al-Qodhi Rodhiyuddin Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Badr bin Utsman bin Jabir al-Ghozi al-‘Amiri al-Qurosyi asy-Syafi’i, Syaikh Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf asy-Syami, Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Abdulloh al-hasani al-Armayuni asy-Syafi’i.
Ketika Imam as-Suyuthi berusia 40 tahun beliau memilih menyendiri dan meninggalkan semua aktifitasnya, baik mengajar dan berfatwa. Dalam kitab Al-A’lam. Jilid 3 hal 301 dijelaskan, beliau memfokuskan diri untuk beribadah dan menulis buku. Banyaknya tawaran dan hadiah yang datang silih berganti dari para pejabat dan penguasa negeri Mesir kala itu, sama sekali tak digubrisnya. Hasilnya, dalam rentang waktu 22 tahun beliau mampu menulis buku yang dalam hitungan az-Zirikli mencapai angka 600 kitab, baik yang tebal maupun risalah-risalah singkat.
Karya-karya beliau mencakup ke berbagai cabang ilmu, mulai dari aqidah, ushul, fiqih, tafsir, hadist, sejarah, bahasa Arab, dsb. Berikut penulis sajikan beberapa karya Imam as-Suyuthi: Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Tafsir al-Jalalain, Jami’ ash-Shagir, Al-Asybah wa an-Nazhair di bidang qowaid fiqhiyah, Syarh Sunan Ibnu Majah, Al-Asybah wa an-Nazhair di bidang nahwu, Ihya’ul Mayyit bi Fadhaili Ahlil Bait, Al-Jami’ al-Kabir, Al-Hawi lil Fatawa, Al-Habaik fi Akhbar al-Malaik, Ad-Dar al-Mantsur fi at-Tafsir bil Ma’tsur, Ad-Dar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah, Ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Ar-Raudh al-Aniq fi Fadhli ash-Shadiq, Al-‘Urf al-Wardi fi Akhbari al-Mahdi, Al-Gharar fi Fadhaili ‘Umar, Alfiyatu as-Suyuthi
Al-Kawi ‘ala Tarikh as-Sakhawi, Al-Laali’ al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, Al-Madraj ila al-Mudraj, Al-Mazhar fi Ulum al-Lughah wa Anwa’uha, Al-Mahdzab fimā Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’rab, Asbab Wurud al-Hadits, Asrar Tartib al-Qur’an, Anmudzaj al-Labib fi Khashais al-Habib, Irsyad al-Muhtadin ila Nashrati al-Mujtahidin, I’rab al-Qur’an, Ilqam al-Hajar liman zaka sab Abi Bakr wa ‘Umar, Tarikh al-Khulafa’, Tahdzir al-Khawash min Ahadits al-Qashash, Tuhfatu al-Abrar binakti al-Adzkar an-Nawawiyyah, Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi, Tazyin al-Mamalik bi Manaqib al-Imam Malik, Tamhid al-Farsy fi al-Khishal al-Maujibah li Zhil al-‘Arsy, Tanwir al-Hawalik Syarh Muwaththa’ Malik, Tanbih al-Ghabiyy fi Tibra’ati Ibni ‘Arabi, Husnu al-Muhadharah fi Akhbar Mishr wa al-Qahirah
Durr as-Sihabah fiman dakhala Mishr min ash-Shahabah, Dzam al-Makas, Syarh as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasa’i, Shifatu Shahibi adz-Dzauqi ‘Aini al-Ishabah fi Ma’rifati ash-Shahabah, Kasyf, As-Salim, Thabaqat al-Huffadz, Thabaqat al-Mufassirin, ‘Uqudul Jiman fi ‘ilmi al-Ma’ani wa al-Bayan, ‘Uqudu az-Zabarjid ‘ala Musnad al-Imam Ahmad fi I’rab al-Hadits, Al-Mughthi fi Syarhi al-Muwaththa’, Lubb al-Lubbab fi Tahrir al-Ansab, Al-Bab al-Hadits, Al-Bab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul , Ma Rawahu al-Asathin fi ‘Adami al-Maji’i ila as-Salathin, Musytaha al-Uqul fi Muntaha an-Nuqul, Mathla’ al-Badrain fiman Yu’ti Ajruhu Marratain, Miftahu al-Jannah fi al-I’tisham bi as-Sunnah, Miftahamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an
Nazham al-Aqyan fi A’yan al-A’yan, Ham’u al-Hawami’ Syarhu Jam’u al-Jawami’, At-Tahadduts bi Ni’matillah, Mu’jam al-Mu’allafat as-Suyuthi, Fahrusat Mu’allafatii, Al-Faruq baina Al-Mushanif wa as-Sariq, Thibb an-Nufus, Nawadhir al-Ayak fi Ma’rifati al-Niyak, Ar-Rahmah fi ath-Thibbi wa al-Hikmah
Ketertarikan Imam as-Suyuthi kepada Al-Qur’an dan segala ilmu yang berkaitan dengannya begitu besar. Dalam Muqoddimah al-Itqan Imam as-Suyuthi berpendapat bahwa Al-Qur’an ialah sumber mata air segala ilmu. Jika ilmu diibaratkan matahari, maka Al-Qur’an adalah garis edar dan tempat terbitnya. Darinya para mujtahid menggali hukum-hukum fikih. Begitu juga para pakar nahwu dan bayan menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hal tata bahasa dan kesastraan. Begitu juga ahli sejarah dan hikmah, mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama
Perhatiannya kepada Ulum Al-Qur’an semakin terlihat dari rasa heran dan keprihatinannya melihat belum ada satupun dari para ulama terdahulu yang menulis dan merangkum Ulum Al-Qur’an ini ke dalam satu kitab khusus sebagaimana perhatian mereka terhadap Ulum al-Hadis, beliau berkata dalam muqoddimah kitabnya
ولقد كنت في زمان الطلب أتعجب من المتقدمين إذا لم يدونوا كتابا في انواع علوم القرأن كما وضعوا ذلك بالنسبة الى علم الحديث
Dahulu ketika saya masih berguru, saya merasa heran kepada ulama-ulama terdahulu, mengapa tidak ada di antara mereka yang menyusun sebuah kitab tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an sebagaimana mereka menyusun ilmu-ilmu dalam bidang hadits?
Kemudian beliau mendengar bahwa gurunya yaitu Syekh Muhyiddin al-Kafiji telah menyusun sebuah kitab yang merangkum ilmu-ilmu Al-Qur’an. Imam as-Suyuthi menyimak dan menulis ulang kitab tersebut. Namun ternyata beliau mendapati bahwa kitab tersebut sangat tipis karena hanya terdiri dari dua bab pembahasan. Bab pertama berisi tentang definisi tafsir, takwil Al-Qur’an, surat dan ayat. Bab kedua membahas tentang syarat-syarat menafsirkan Al-Qur’an dengan akal pikiran, dan diakhiri dengan adab-adab dalam belajar dan mengajar al-Qur’an.
Hal ini menurut Imam as-Suyuthi belumlah memuaskan dahaga keilmuannya karena belum mencapai maksud yang diharapkannya. Akhirnya guru beliau yaitu syekh Alamuddin al-Bulqini menunjukan sebuah kitab bernama Mawaqi’ al-Ulum min Mawaqi’ an-Nujum karangan saudaranya yaitu Qodhi al-Qudhot Jalaluddin yang membahas tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Berbeda dengan kitab yang sebelumnya, Imam as-Suyuthi mendapati kitab ini telah cukup rapi dalam sistematika pembahasan dan penyusunannya. Kitab ini terdiri dari enam pembahasan pokok yang terpecah menjadi lima puluh masalah. Berangkat dari kitab inilah Imam as-Suyuthi kemudian menulis kitab bernama at-Tahbir fii Ulum at-Tafsir. Kitab ini berisi penjelasan-penjelasan tambahan atas apa yang sudah tertuang di dalam kitab Mawaqi’ al-Ulum, beserta contoh dan pembahasan-pembahasan penting lainnya yang belum termaktub di dalamnya. Kitab ini selasai ditulis pada tahun 872 H, di dalamnya dibahas 102 permasalahan terkait ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Setelah menulis kitab at-Tahbir ini, terlintas dalam benak Imam as-Suyuthi untuk menulis kembali kitab yang lebih luas dalam pembahasan yang sama, namun tetap rapi dan sederhana dalam penyusunannya, sehingga lebih banyak menghimpun semua permasalahan serta lebih terukur dan detail dalam setiap pembahasannya. Dengan menulis kitab seperti ini beliau berharap menjadi orang pertama dan satu-satunya yang secara lengkap dan rinci membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, beliau berkata
وأنا أظن أني متفرد بذلك غير مسبوق بالخوض في هذه المسالك
Saya mengira bahwa sayalah orang pertama dan satu-satunya yang menulis Ulum Al-Qur’an dengan pembahasan yang mendalam
Belumlah Imam as-Suyuthi merealisasikan rencana besarnya itu, beliau mendapat kabar bahwa sudah ada seorang alim yang menulis kitab dengan tema yang sama dengan cukup komprehensif. Kitab tersebut adalah kitab al-Burhan fii Ulum al-Qur’an, karangan Syekh al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi. Kitab ini terdiri dari 47 bahasan, semuanya terkait dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Namun setelah mendapatkan dan membaca kitab al-Burhan ini, Imam as-Suyuthi justru merasa bahagia dan bersyukur serta bertambah azam dan niatnya untuk menulis kitab yang kemudian diberi nama al-Itqan fii Ulum Al-Qur’an.
ولما وقفت على هذالكتاب ازددت به سرورا وحمدت الله في كثير وقوي العزم على إبراز ماأضمرته وشددت الحزم في إنشاء التصنف الذى فصدته فوضعت هذا الكتاب العلي الشأن الجلي البرهان الكثير الفوائد والإتقان ورتبت أنواعه ترتيبا أنسب من ترتيب البرهان وأدمجت بعض الأنواع في بعض وفصلت ما حقه أن بيان وزدته على ما فيه من الفوائد والفرائد والقواعد والشوارد ما يشنف الآذانوسميته بالإتقان في علوم القرآن وستري في كل نوع منه إن شاء الله تعالى ما يصلح أن يكون بالتصنف مفردا ويترى من مناهلة العذبة ربالا بعده ابدا
Setelah aku selesai membaca kitab al-Burhan, bertambahlah rasa bahagia dan syukurku kepada Allah swt. Bertambah kuat pula azamku untuk mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam. Aku pun menguatkan tekad untuk menulis kitab yang dulu telah aku niatkan. Maka mulailah aku menyusun kitab, kitab yang sangat penting, yang memberi penjelasan, yang memiliki banyak faidah.
Aku susun kitab ini dengan susunan yang lebih baik daripada susunan kitab al-Burhan, aku gabungkan beberapa masalah kedalam sebagian masalah lainnya, aku jabarkan yang sekiranya perlu penjabaran, aku tambahkan di dalamnya banyak faidah, hal-hal penting, kaidah-kaidah dan hal-hal unik yang masih asing di telinga.
Aku namai kitab ini dengan kitab al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, kamu akan dapati dalam setiap pembahasannya layak untuk dikatakan “tiada duanya” insya Allah. Kamu juga akan merasa puas ketika mereguk mata air ilmunya, dan tak merasa haus lagi setelah meminumnya.
Akhirnya Imam as-Suyuthi mulai menulis kitab al-Itqan ini dengan memohon bantuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kitab ini terdiri dari 80 objek bahasan, yang mana setiap objek pembahasan dalam kitab ini menjadi ilmu tersendiri yang belum tentu cukup dibahas dalam satu kitab khusus. Kitab al-Itqan ini menjadi salah satu referensi utama dalam pembahasan Ulum Al-Qur’an sampai hari ini.
Beberapa kitab yang menjadi referensi utama Imam as-Suyuthi dalam menulis kitabnya al-Itqan fii Ulum Al-Qur’an : Tafsir Ibnu Jarir at-Tobari, tafsir Ibnu Abi Hatim, tafsir Ibnu Hayyan, tafsir Ibnu Katsir, Fadhoil Al-Qur’an karya Ibnu Abi Syaibah, Akhlak Hamalat Al-Qur’an karya al-Ajurry, at-Tibyan fii Hamalat Al-Qur’an karya Imam an-Nawawi, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, Jamal al-Qurra karya as-Sakhowi, Gharib Al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah, Ahkam Al-Qur’an karya Ibnul ‘Arabi, An-Nasikh wa al-Mansukh karya al-Makki, I’jaz Al-Qur’an karya al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani, dll
Imam as-Suyuthi wafat dalam keadaan beliau yang sedang fokus menulis kitab, setelah sakit selama tujuh hari dan bengkak pada tangan kirinya semakin parah maka pada hari kamis tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H dalam usia 62 tahun, Imam as-Suyuthi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jasad beliau dimakamkan di pemakaman Husy Qosun di Mesir.