Imam al-Ghazali, Ahli Fiqih, Sekaligus Ahli Tasawuf

Nama lengkap Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid at-Thusi as-Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazali. Nisbah kepada pekerjaan ayahnya yang seorang pemintal (al-Ghozzal) dan pebisnis wol, atau juga ada yang menyebutkan bahwa nama itu disandarkan kepada kampung halaman Beliau (Ghozalah). Sang Imam lahir di kota Thus pada tahun 450 H, dan meninggal di kota yang sama pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, pada usia 55 tahun.

Yang unik dalam diri beliau adalah posisinya yang merupakan seorang ahli fiqih, namun sekaligus juga ahli tasawuf. Padahal dalam dunia keseharian, kita sering menyaksikan bagaimana para pengikut dua cabang ilmu keislaman ini saling menonjolkan diri masing-masing. Mereka yang belajar hanya ilmu fiqih saja, seringkali memandang rendah para pembelajar ilmu tasawwuf. Dan sebaliknya, mereka yang berkonsentrasi dengan tasawuf, kadang suka melalaikan hukum-hukum fiqih.

Dikotomi semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, kalau kita bisa memahami bahwa kedua anak cabang ilmu itu sesungguhnya merupakan anak kandung dari induk ilmu-ilmu keislaman yang sebenarnya tetap satu. Maka tokoh Imam Al-Ghazali ini bisa dijadikan sosok teladan bagaimana kedua aliran ilmu fiqih dan tasawuf dapat menyatu, saling menguatkan dan saling membela, bukannya saling menjatuhkan dan saling memusuhi.

Perbedaan pandangan antara fuqaha dengan kalangan ahli tasawuf terus berlanjut hingga masa Beliau (w. 505 H.). Menghadapi kenyataan yang demikian, al-Ghazali melalui Ihya’-nya berhasil menawarkan ‘jalan tengah’, bahwa tasawuf dan fiqih sama-sama penting bagi umat Islam. Al-Ghazali bergelar Hujjatul Islam, salah satunya karena beliau punya jasa yang amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil akal atau naql. Keduanya berjalin berkelindan dengan rapi saling menguatkan ibarat simpul-simpul temali yang terikat dengan benar. Mengalahkan sekian argumen banyak kalangan, termasuk argumen para filosuf sekuler anti tuhan.

Sejarah mencatat Imam al-Ghazali pernah berada dalam bimbingan beberapa guru yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Hal ini dimulai sejak usia belia hingga Beliau dewasa. Tercatat Beliau acapkali mengembara ke berbagai tempat, berpindah dari satu kota ke kota lainnya untuk menimba ilmu dari para ulama di zamannya. Seperti ke Naisabur, Baghdad, Hijaz, negeri Syam dan Mesir.

Perjalanan ilmiahnya dimulai dari wasiat Sang Ayah. Menjelang wafat, oleh Sang Ayah, al-Ghazali kecil beserta saudara kandungnya Ahmad dititipkan kepada seorang shufi yang solih lagi alim agar mendapat pengajaran yang baik. Dari gurunya ini, al-Ghazali kecil belajar ilmu khot (menulis) dan fiqh. Kemudian Beliau kembali ke Thus dan mendalami fiqh kepada Ahmad ar-Rodzakani.

Lalu beliau pergi ke Naisabur guna menimba ilmu di majlis Imam al-Juwaini. Dan kiranya Imam al-Juwaini inilah guru yang sangat berpengaruh dalam kamus ilmiah Imam al-Ghazali. Di tangan Beliau, al-Ghazali menjelma menjadi seorang faqih yang disegani, kecerdasan dan hafalannya terus terasah. Kemampuannya melebihi kawan-kawan sejawatnya. Penguasaan Imam al-Ghazali terhadap berbagai cabang ilmu seperti fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, filsafat, dan manthiq tidak hanya mengundang decak kagum dari para sahabatnya, namun juga diamini oleh Sang Guru sendiri, Imamul Haromain al-Juwaini.

Dalam dekapan al-Juwaini pulalah kemampuan menulis al-Ghazali semakin mumpuni. Beliau menulis al-Mankhul dalam bidang ushul fiqh. Dan ketika kitabnya ini disodorkan ke hadapan Sang Guru untuk diteliti, Beliau berkomentar “kau telah menguburku padahal aku masih hidup, tak sabarkah engkau sampai aku mati?” meski demikian al-Ghazali tetap menimba ilmu dari Imam al-Juwaini hingga Sang Guru ini wafat.

Kemudian dari Naisabur Beliau pindah ke Baghdad. Di kota inilah nama Imam al-Ghazali semakin harum dikenal. Kecerdasan Beliau mengurai masalah, kehebatannya dalam mempertahankan argumen dan kefasihan tutur katanya semakin menjadikan Beliau buah bibir diseantero Baghdad. Mulai dari para pejabatnya, para ulamanya, hingga orang awamnya semua terkesima dengan kedalaman ilmu dan penjelasannya. Hingga puncaknya pada tahun 484 H Imam al-Ghazali diangkat menjadi Guru Besar di Madrasah Nidzomiyah di Baghdad, sekaligus Imam Besar Negeri Iraq.

Maka sejak itu, hari-hari Imam al-Ghazali diisi dengan mengajarkan ilmu dan menulis. Lahirlah karya-karya seperti al-Mustasfa dalam bidang ushul fiqh. al-Bashit, al-Washit, al-Wajiz dan al-Khulasoh di bidang fiqh. dan karya lainnya dalam berbagai cabang ilmu. Tersebab semua itulah kedudukan dan martabat Imam al-Ghazali semakin meninggi, mendapat pujian dari sana-sini hingga sejajar dengan para penguasa dan pejabat negri.

Sampailah pada akhirnya, Beliau merasakan kebahagiaan yang hakiki, yaitu menepi dari hal-hal keduniawian dan memilih hidup zuhud didalamnya. Arah angin kehidupan Beliau berbalik seratus delapan puluh derajat. Beliau lebih giat lagi mendalami dan menjiwai semua ilmu dan buku-buku yang dimiliki. Mulai meninggalkan segala ketenaran dan kemewahan dunia yang diperolehnya selama ini untuk kemudian memilih menyibukkan diri dalam urusan-urusan akhirat dan memperbanyak amal serta bekal menghadapinya.

Pada tahun 488 H Beliau melaksanakan ibadah haji. Dan pergi ke Damaskus pada tahun 489 H dan menetap disana selama 10 tahun. Disanalah Beliau mulai menulis karya fenomenalnya Ihya Ulum ad-Din. Hingga kemudian Sang Imam kembali ke kampung halamannya di Thus untuk lebih merenung, berfikir dan menulis tentang akhlaq, tasawuf dan penyucian jiwa. Dan begitu sampai akhir usianya. Beliau meninggalkan dunia sebelum dunia yang meninggalkannya. Di akhir masa sebelum wafat, Beliau menghabiskan waktunya untuk mengkhatamkan al-Quran, duduk bersama para ahli qulub, dan mengajar.

Sebagai seorang yang bergelar mujaddid, tentu saja keilmuan Imam al-Ghazali tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya kritik yang ditujukan pada Beliau tidak mengurangi keutamaan yang ada pada diri Imam al-Ghazali. Bagaimana tidak? Karya-karya Beliau hampir-hampir menjadi bintang dalam setiap cabang ilmu yang ditulisnya. Bila kita sebut nama seperti Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi maka bisa dengan cepat kita sebut mereka sebagai ulama ahli hadist. Begitu pula bila kita ketengahkan nama-nama seperti Imam Abu Hanifah, Malik, as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal maka dengan singkat pula kita bisa sebut mereka dengan para fuqoha; ahli fiqih.

Namun jika kita sebut nama seorang Imam al-Ghazali, maka sejatinya kita sedang menyebut seorang dengan keluasan dan kedalaman ilmu yang begitu memesona. Seorang ulama, filsuf, sekaligus shufi yang multi talenta. Imamul Haromain al-Juwaini berkata: “al-Ghazali adalah lautan yang menenggelamkan.” Beliau berhasil menelurkan banyak karya tulis dalam berbagai cabang ilmu.

Menarik untuk dikaji bahwa di negeri kita, Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ahli tasawuf ketimbang ahli fiqih. Padahal sesunguhnya beliau sebelum menjadi ahli tasawuf, sudah menjadi ulama dalam bidang ilmu fiqih terlebih dahulu. Setidaknya di bidang fiqh Beliau menulis tiga kitab dan ditambah satu lagi sehingga menjadi empat kitab yaitu al-Wasit, al-Basit, al-Wajiz, al-Khulashah.

Mengenal Perbedaan Antara Musnad, Sunan, Mu'jam, dan Jami'

Selain dalam ilmu fiqih, ternyata Al-Ghazali juga ulama ahli ilmu ushul fiqih. Yang tercatat beliau menulis tiga kitab penting dalam ilmu ushul fiqih yaitu al-Mankhul, al-Mustashfa, Syifa al-Alil. Di cabang ushuluddin ada karya beliau juga yaitu Qowaidul Aqoid, al-Munqid minad-Dholal, al-Iqtishod fi al-I’tiqod, Iljamul Awam an Ilmil Kalam, al-Maqshud al-Asna fi Syarh al-Asma al-Husna.

Dalam filsafat Beliau menulis dua buku yaitu Maqosidul Falasifah, Tahafutul Falasifah. Di bidang tafsir beliau menulis dua kitab yaitu al-Waqfu wal Ibtida, Yaqutun Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil. Di bidang akhlaq beliau menulis Ayyuhal Walad, Bidayatul Hidayah, Kimyaus Sa’adah. Di bidang tasawuf beliau menulis Ihya Ulum ad-Din, Minhajul Abidin. Dan tentu saja banyak karya lainnya yang tak kalah hebat yang tersebar di berbagai cabang ilmu.

Dari berbagai karya Imam al-Ghazali itu, kitab Ihya Ulum ad-Diin lah yang menjadi bintang paling bersinar diantara bintang gemintang karya-karyanya. Kitab ini disebut sebagai karya beliau yang paling fenomenal. Masyhur di Timur maupun di Barat. Dibaca, didaras dan dikaji ulang di berbagai universitas sampai hari ini.

Banyak ulama salaf yang memuji kehebatan kitab ini, diantaranya Imam an-Nawawi yang mengatakan, “hampir-hampir kitab Ihya ini menjadi seperti Al-Quran yang terus dibaca.” Imam as-Subkhi berkomentar tentang Ihya, “jika seandainya tidak ada satu kitabpun yang ditulis oleh ulama untuk umat manusia selain kitab Ihya, maka itu sudah lebih dari cukup.”

Bahkan, karena lengkapnya pembahasan di dalam kitab Ihya ini yang tidak hanya mengkaji masalah tasawuf tetapi juga hukum fiqih sampai ada ungkapan yang megatakan, “jikalau semua kitab fiqih madzhab asy-Syafi’i ini lenyap tak tersisa, madzhab ini akan bisa dibangun kembali lewat kandungan Ihya.”

Pujian Ulama kepada Imam al-Ghazali. Al-Imam al-Hafidz Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid al-Ghazali adalah seorang mujaddid abad ke lima hijriyah”. Al-Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “al-Ghazali telah banyak menulis buku dalam bidang ushul fiqih dan fiqih. Sulit mencari padanannya dalam hal kualitasnya, runutnya sistematika dan validitas sumber-sumbernya”.

Al-Imam as-Subki dalam kitabnya Thobaqat as-Syafi’iyah al-Kubro mengutip perkataan As’ad al-Mihani, “hanya seorang yang sempurna akalnya (atau yang mendekati sempurna) yang mampu memahami keluasan ilmu dan keutamaan Imam al-Ghazali. Muhammad bin Yahya, salah seorang murid senior Sang Imam memuji kehebatan gurunya itu dengan berkata, “al-Ghazali adalah Syafi’I kedua”.

Al-Imam adz-Dzahabi mengutip perkataan Ibnu an-Najjar di dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Abu Hamid (al-Ghazali) adalah seorang pemimpin ahli fiqih, orang yang alim, seorang mujtahid pada zamannya, tokoh besar pada masanya. Beliau adalah seorang yang sangat cerdas, kuat dan begitu dalam pemahamannya.”

Al-Imam al-Hafidz Abdul Ghafir al-Farisi berkata, “Abu Hamid al-Ghazali adalah hujjatul islam dan kaum muslimin. Seorang pemimpin agama. Belum ada yang menyamainya dalam hal kefasihan, pemahaman, pemikiran, kecerdasan, dan akhlak perangai.” Serasa tak ingin ketinggalan, al-Imam an-Nawawi pun ikut memuji beliau dengan berkata, “Abu Hamid al-Ghazali adalah seorang imam yang faqih, ahli kalam yang cerdas, dan seorang penulis yang shufi.”

Bagikan artikel ini ke :