Hubungan antara Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi sebelumnya seperti Taurat, Injil, Zabur dan lainnya adalah tentu sangat erat. Karena sama-sama kalamullah, perkataan dan firman Allah SWT juga. Dan sama-sama dibawa oleh malaikat Jibril alaihissalam. Dan juga sama-sama diturunkan kepada nabi yang menjadi utusan Allah kepada umatnya. Bahkan salah satu fungsi Al-Qur’an justru untuk membenarkan dan mengakui keberadaan kitab-kitab suci samawi itu, sebagaimaan firman Allah SWT
نَزَّلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ
Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil (QS. Ali-‘Imran: 3)
Kita sendiri sebagai muslim mengenal adanya kitab-kitab samawi sebelumnya juga lewat Al-Qur’an. Salah satunya kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud alaihissalam.
وَءَاتَيۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورًا
Dan Kami berikan Zabur kepada Daud (QS. An-Nisa’: 163)
Namun antara Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi sebelumnya juga punya beberapa perbedaan mendasar, yang membuat Al-Qur’an menjadi unik dan paling berbeda. Hal paling fundamental yang membedakan Al-Qur’an dengan semua kitab samawi sebelumnya adalah Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang turun ke muka bumi. Sedangkan kitab-kitab samawi yang turun pada umat terdahulu, umumnya didahului dengan turunnya kitab samawi dan diteruskan lagi dengan turunnya kitab yang lain.
Misalnya di kalangan Bani Israil yang cukup banyak diutus para nabi, mereka punya kitab Zabur yang turun kepada Nabi Daud. Mereka juga punya Taurat yang turun kepada Nabi Musa. Dan juga ada Injil yang Allah turunkan kepada Nabi Isa. Jadi kitab-kitab samawi sebelum Al-Qur’an itu turun silih berganti, susul menyusul, satu sama lain berdekatan dan saling terkait. Sementara Al-Qur’an seolah-olah turun terpisah dari kitab-kitab samawi yang lain. Jarak dari kitab samawi sebelumnya cukup lama, yaitu 600-an tahun. Dan setelah itu, maksudnya setelah Al-Qur’an turun, justru sama sekali tidak ada lagi wahyu yang turun ke muka bumi.
Setelah seluruh ayatnya turun dalam periode 23 tahun, maka sejak itu terputuslah seluruh wahyu samawi kepada umat manusia. Tugas Nabi Muhammad SAW sebagai penerima Al-Qur’an pun berakhir, tidak lama setelah wahyu terakhir turun. Hanya berselang waktu singkat, Beliau SAW pun dipanggil Allah SWT. Kalau dihitung-hitung dari turun wahyu terakhir di tahun 10 hijriyah hingga sekarang ini kita di tengah abad 15 hijriyah, berarti sudah 1400 tahun-an tidak ada lagi wahyu samawi turun ke bumi.
Padahal sebelum Al-Qur’an turun, kitab suci terakhir adalah Injil yang dibawa oleh Nabi Isa alaihissalam. Jaraknya hanya terpuat 600-an tahun saja, sebab Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi utusan Allah di tahun 610 Masehi. Masa 600 tahun inilah yang sering disebut-sebut dengan masa fatrah alias masa kekosongan, dimana umat manusia tidak lagi mendapat curahan wahyu samawi dari ufuk langit. Namun masa fatrah yang 600-an tahun itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan masa ‘fatrah’ yang kita alami. Kita tidak tahu tahun berapakah nanti terjadi hari kiamat. Anggaplah misalnya seratus tahun lagi, yaitu tahun 1500 hijriyah, maka jelas ini masa kekosongan atau fatrahnya sangat lama.
Perbedaan fundamental kedua antara Al-Qur’an dan kitab samawi sebelumnya sudah sedikit disebutkan, yaitu Al-Qur’an ini tidak diturunkan untuk umat tertentu saja, tetapi untuk seluruh umat manusia, hingga hari kiamat nanti. Meski secara bahasa Al-Qur’an itu menggunakan bahasa Arab, namun bukan berarti hanya dikhususkan hanya untuk bahasa Arab. Sementara kitab-kitab samawi sebelumnya hanya diturunkan untuk satu kaum saja.
Kitab Taurat misalnya, hanya diperuntukkan kepada Nabi Musa alaihisalam dan kaum Yahudi saja. Bangsa-bangsa lain selain Yahudi tidak diberlakukan kepada mereka kitab Taurat, meski hidup di masa yang sama. Begitu juga Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa alahissalam, hanya diperuntukkan kepada kaum Nasrani saja. Sedangkan bangsa lain yang bukan Nasrani, mereka tidak dibebankan untuk bersandar kepada Injil. Adapun Al-Qur’an, meski awalnya turun di negeri Arab, dengan berbahasa Arab, namun diperuntukkan juga kepada bangsa-bangsa ajam alias non-arab.
Perbedaan ketiga Al-Qur’an dibandingkan dengan kitab samawi sebelumnya adalah dijaminnya kemurnian Al-Qur’an dan tetap akan terus ada sampai hari kiamat. Allah SWT menyatakan hal itu didalam firman-Nya
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
Bentuk penjagaan itu memang merupakan mukjizat Al-Qur’an tersendiri, meskipun sebenarnya secara teknis tetap bisa dijabarkan dengan cara yang logis. Al-Qur’an itu selain kitab hidayah juga merupakan kitab ibadah, dimana kalau kita baca meski tidak paham artinya sudah merupakan sebuah ibadah tersendiri. Hadits Nabi SAW malah lebih menyemangati, bahwa tiap huruf yang dibawa itu diganjar dengan 10 kebaikan. Oleh karena itulah kita menyaksikan di seluruh dunia umat Islam membaca Al-Qur’an di setiap saat dan semua kesempatan. Di dalam shalat fardhu lima waktu, mereka membaca Al-Qur’an. Dalam shalat tarawih dan tahajjud, mereka pun membaca Al-Qur’an.
Di luar shalat dalam hampir semua even, mereka membaca Al-Qur’an. Dalam setiap hajatan, pasti ada tilawah Al-Qur’an. Acara ritual kenegaraan, biasanya diawali juga dengan tilawah Al-Qur’an. Hingga dalam duka cita karena kematian, Al-Qur’an terus menerus dibaca dan didengungkan. Dan kalau sudah bulan Ramadhan, semua sibuk membaca Al-Qur’an, bahkan menargetkan untuk bisa mengkhatamkannya berkali-kali. Bahkan bulan Ramadhan sendiri seringkali dinamakan dengan bulan Al-Qur’an.
Akibatnya, mana bisa Al-Qur’an itu hilang dari tengah umat Islam. Karena Al-Qur’an sudah menjadi bagian dari keislaman mereka. Islam itu adalah membaca Al-Qur’an. Kalau kita bandingkan dengan kitab-kitab samawi yang lain seperti Taurat dan Injil, kita tidak menemukan fenomena semacam ini. Jangankah anak-anak yang tiap hari membaca, bahkan pendeta dan pastor serta tokoh-tokoh agama lain tidak punya aktifitas membaca kitab suci yang dibawa rutin tiap hari, kecuali hanya dibaca di hari-hari besar keagamaan.
Dan yang menarik lagi, selain rutin dibaca oleh seluruh umat Islam, Al-Qur’an pun sudah jadi tradisi untuk dihafalkan. Sehingga ketika dalam shalat jamaah ada imam yang terlupa atau keliru membaca Al-Qur’an, sudah otomatis para makmum di belakang akan mengoreksi dan membetulkan bacaan sang imam. Fenomena semacam ini tidak kita temukan di dalam agama-agama di luar Islam. Kitab suci mereka tidak pernah dihafalkan secara luar kepala, bahkan oleh para pemuka agama mereka sekalipun. Tradisi menghafal kitab suci hanya ada di dalam agama Islam saja. Bahkan kanak-kanak usia 5 tahun, sudah bisa menghafal Al-Qur’an 30 juz, 114 surat dan 6.236 ayat.
Maka secara teori manalah mungkin Al-Qur’an itu hilang dari tengah umat Islam. Kalaupun umat Islam dijajah oleh bangsa asing dan semua mushaf dibakar tak bersisa, umat Islam akan tenang-tengang saja. Sebab mushaf boleh hilang dan dimusnhkan, tetapi hafalan di dalam hati tentu tidak akan pernah hilang. Disanalah pernyataan Allah SWT tentang jaminan terpeliharanya Al-Qur’an itu benar-benar terjadi dan mudah kita pahami secara sederhana.
Perbedaan keempat dari kitab samawi lainnya adalah Al-Qur’an memakai bahasa yang abadi. Para ahli sejarah bahasa sepakat bahwa sebuah bahasa itu tumbuh, berkambang dan punah bersama dengan eksistensi sebuah peradaban. Sehingga bahasa-bahasa di dunia ini banyak yang dahulu pernah dipakai banyak orang, tetapi pada generasi berikutnya, sudah tidak ada lagi orang memakai bahasa itu, karena peradabannya telah berganti. Namun para ahli sepakat bahwa bahasa Arab merupakan pengecualian. Tidak tidak hilang dari muka bumi meski telah berusia cukup tua. Ada sebagian kalangan yang menyebutkan bahwa bahasa Arab telah digunakan di zaman Nabi Ibrahim alaihissalam.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa Nabi Adam alaihissalam pun berbahasa Arab sewaktu diturunkan ke muka bumi. Dasarnya, karena dalam salah satu hadits disebutkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa penghuni surga. Dan Adam itu penghuni surga sejak pertama kali diciptakan. Maka amat wajar dan masuk akal kalau ketika Adam diturunkan ke bumi, beliau masih menggunakan bahasa yang sebelumnya dipakai di dalam surga.
Lalu apa hubungannya bahasa Arab yang sudah berusia tua itu dengan pilihan bahasa Al-Qur’an Penjelasannya begini, kalau seandainya Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dengan bahasa Inggris, maka kemungkinan besar dua ratus tahun kemudian orang tidak ada lagi yang bisa memahaminya. Karena bahasa Inggris itu mengalami perubahan mendasar, seiring dengan perjalanan waktu.
Jangankan bahasa Inggris, bahasa Sansekerta yang dahulu menjadi bahasa nenek moyang kita, hari ini sudah punah. Tidak ada yang bisa memahaminya dengan sempurna, kecuali hanya ahli bahasa. Itu pun dengan asumsi-asumsi yang belum tentu benar. Seandainya Patih Gajah Mada hidup kembali di abad 21 ini, maka tak seorang pun yang mampu berbicara dengannya, lantaran kendala bahasa. Kendala bahasa inilah yang tidak terjadi pada Al-Qur’an. Meski sudah turun sejak 14 abad yang lalu, bahasa Arab masih dipakai oleh ratusan juta umat manusia di muka bumi. Sehingga bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, pada hakikatnya sama sekali tidak menemukan kesulitan untuk mengerti Al-Qur’an.
Selain itu perbedaan yang lainnya bahwa Al-Qur’an kaya akan kosakata Salah satu kekuatan bahasa Arab adalah kekayaan kosa kata yang dimiliki. Meski bangsa Arab banyak yang tinggal di gurun pasir, namun bukan berarti mereka tertinggal dalam masalah seni dan budaya. Sebaliknya, justru orang-orang Arab yang tinggal di gurun itu punya kemampuan yang amat sempurna dalam mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata. Boleh dibilang mereka umumnya adalah pujangga yang pandai merangkai kata. Dan rahasia keindahan sastra Arab terletak pada jumlah kosa katanya yang nyaris tak ada batasnya.
Seorang ahli bahasa Arab pernah menjelaskan kepada Penulis, bahwa orang Arab punya 800 kosa kata yang berbeda untuk menyebut unta. Dan punya 200 kosa kata yang berbeda untuk menyebut anjing. Dengan perbendaharaan kata yang luas ini, Al-Qur’an mampu menjelaskan dan menggambarkan segala sesuatu dengan lincah, indah, dan kuat, tetapi maknanya tetap mendalam.
Bahasa yang lain bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan begitu diterjemahkan, ternyata maknanya semakin kuat. Contohnya adalah semua kisah para Nabi dan umat terdahulu diceritakan kembali oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an dalam ungkapan bahasa Arab. Sebaliknya, seorang penerjemah profesional dengan jam terbang yang tinggi masih saja sering kebingungan untuk menterjemahkan berbagai ungkapan dalam bahasa Arab ke bahasa lain, dengan cara yang mudah dan rinci, tanpa harus kehilangan kekuatan maknanya.
Oleh karena itu, sesungguhnya kita tidak pernah bisa menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain, dengan tetap masih mendapatkan kekuatan maknanya. Selalu saja terasa ada kejanggalan dan kekurangan yang menganga ketika ayat-ayat Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Perbedaan dari kitab samawi yang keenam adanya jaminan terjaganya Al-Qur’an. Kebenaran Al-Qur’an adalah sesuatu yang pasti. Karena Al-Qur’an merupakan perkataan Allah SWT yang Maha Benar. Dan Allah SWT menjamin keaslian Al-Qur’an :
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
Tidak ada seorang pun yang bisa memalsukan ayat-ayat Al-Qur’an, karena jaminan dari Allah SWT yang memang bisa kita lihat buktinya secara langsung. Dan secara teknis, kemustahilan pemalsuan Al-Qur’an itu masuk akal, mengingat beberapa hal diantaranya Al-Qur’an dibaca rutin dan dihafal berjuta manusia. Selain ditulis, Al-Qur’an sampai kepada kita lewat hafalan yang merupakan keunggulan bahasa Arab. Sejak diturunkan di masa Rasulullah SAW, sebenarnya Al-Qur’an itu lebih dominan dihafal ketimbang ditulis. Bukan hanya dihafal saja, tetapi Al-Qur’an dibaca tiap hari lima kali dalam shalat fardhu.
Kenapa lebih dominan dihafal Karena Al-Qur’an itu turun dalam format suara dan bukan dalam format teks. Dan kelebihan bahasa Arab itu mudah dihafal dibandingkan menghafal kalimat dalam bahasa lainnya. Saat ini di permukaan bumi ini ada bermilyar manusia yang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an sebagiannya, dan ada ribuan umat Islam yang menghafal seluruh ayatnya yang lebih dari 6 ribuan. Mereka membacanya berulang-ulang setiap hari, setidaknya lima kali sehari.
Sekali saja ada orang yang salah membaca Al-Qur’an, akan ada ribuan orang yang mengingatkan kesalahan itu. Semua itu menjelaskan firman Allah SWT bahwa Al-Qur’an itu memang dijaga keasliannya oleh Allah SWT Tidak mungkin Al-Qur’an ini punah atau dipalsukan. Al-Qur’an dari segi periwayatannya sangat pasti benarnya, sehingga para ulama menyebut hal ini dengan ungkapan : qat’iyu ats-tsubut (قطعي الثبوت ).
Selain Al-Qur’an, di dunia ini tidak ada satu pun kitab suci yang bisa dihafal oleh pemeluknya. Selain karena kitab-kitab suci mereka agak rancu sebagaimana kerancuan perbedaan doktrin dan perpecahan sekte dalam agama itu, juga karena kitab-kitab itu terlalu beragam versinya. Bahkan seringkali mengalami koreksi fatal dalam tiap penerbitannya. Oleh karena itu kita belum pernah mendengar ada Paus di Vatican sebagai pemimpin tertinggi umat Kristiani sedunia, yang pernah menghafal seluruh isi Injil atau Bible di luar kepala.
Para pendeta Yahudi tertinggi tidak ada satu pun yang mengklaim telah berhasil menghafal seluruh isi Talmud atau Taurat secara keseluruhan dari ayat pertama hingga ayat yang penghabisan. Dan tidak ada satu pun dari para Biksu Budha di seluruh dunia yang dikabarkan pernah menghafal Tripitaka. Dan tak satu pun petinggi dari agama Hindu yang pernah dinyatakan menghafal Veda.
Tidak seperti kitab lainnya, Al-Qur’an itu langsung ditulis seketika begitu turun dari langit. Rasulullah sendiri punya para penulis wahyu yang spesial bertugas untuk menuliskannya setiap saat. Tidaklah Rasulullah SAW meninggal dunia kecuali seluruh ayat Al-Qur’an telah tertulis di atas berbagai bahan, seperti pelepah kurma, kulit, dan lainnya. Kalau kita bandingkan dengan kitab-kitab yang disucikan agama lain seperti Injil, Taurat, Zabur dan kitab suci lainnya, memang amat jauh perbedaannya.
Kitab-kitab itu tidak pernah ditulis saat turunnya, meski kebudayaan yang berkembang di masa itu cukup maju dalam bidang tulis menulis. Kalau pun saat ini ada musium yang menyimpan naskah Injil, naskah itu bukan naskah asli yang ditulis saat Nabi Isa alahissalam masih hidup. Tetapi merupakan naskah yang ditulis oleh orang lain, dan ditulis berabad-abad sepeninggal Nabi Isa alaihissalam. Jangankah umat Islam, umat Kristiani pun masih berselisih paham tentang keaslian kitab mereka sendiri.
Selain itu pada masa khilafah Abu Bakar ash-shiddqi radhiyallahuanhu berbagai tulisan ayat Al-Qur’an yang masih terpisah-pisah itu kemudian disatukan dan dijilid dalam satu bundel. Saat itu dikhawatirkan ada 70 penghafal Al-Qur’an telah gugur sebagai syuhada, sehingga Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu mengusulkan agar proyek penulisan ulang Al-Qur’an segera dijalankan. Hasilnya berupa satu mushaf standar yang sudah baku.
Di masa khalifah Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu, dilakukan standarisasi penulisan Al-Qur’an, karena telah terdapat perbedaan teknis penulisan yang dikhawatirkan akan menjadi bencana di masa yang akan datang. Sekedar untuk diketahui, bangsa Arab sebelumnya tidak terlalu menonjol dengan urusan tulis menulis, karena mereka tidak merasa membutuhkannya. Mengingat mereka mampu menghafal ribuan bait syair dengan sekali dengar, sehingga tidak merasa perlu untuk mencatat atau menuliskan sesuatu kalau tidak penting-penting amat.
Kalau pun ada tulis menulis, belum ada standarisasi teknis penulisan. Oleh karena itulah maka dibutuhkan sebuah standarisasi penulisan di masa khalifah Utsman. Dan dengan adanya penulisan yang standar itu, maka semua mushaf yang pernah ditulis dikumpulkan dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Sehingga yang ada hanya yang sudah benar-benar mendapatkan pentashihan dalam teknis penulisannya. Dan dikenal dengan istilah rasam Utsmani.