Kematian Merupakan muara akhir dari setiap kehidupan makhluk di dunia. Al-Quran menyebut kematian sebagai ajal, tawaffa atau istifa’. Istilah ini terdapat pada empat belas tempat dalam Al-Quran yang kesemuanya mengandung makna yang sama, yaitu kematian. Dalam Al-Quran kematian merupakan sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Ini terjadi pada seluruh makhluk yang bernyawa yaitu makhluk yang memiliki ruh dalam jasad (fisik).
Kematian dalam perspektif Al-Quran merupakan putusnya keterikatan ruh dengan badan dalam bentuk yang telah diketahui disertai pergantian keadaan, serta perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Perpisahan antara ruh dan jasad ini adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan yang baru.
Kematian sendiri berasal dari kata mati atau maut. Ini berarti terpisahnya roh dari jasad, fisik dari jiwa dari badan, atau yang ghaib dari yang nyata keluarnya roh dari jasmani. Dalam Al-Quran, kata mati memiliki beberapa makna yakni tidak ada, gersang, tandus, kehilangan akal dan hati nurani, kosong, berhenti, padam, buruk, lepasnya ruh dan jasad. Terdapat banyak istilah mengenai mati atau kematian dalam Al-Qur’an. Salah satunya dalam Surat Al-Baqarah : 28
كَيۡفَ تَكۡفُرُوۡنَ بِاللّٰهِ وَڪُنۡتُمۡ اَمۡوَاتًا فَاَحۡيَاکُمۡۚ ثُمَّ يُمِيۡتُكُمۡ ثُمَّ يُحۡيِيۡكُمۡ ثُمَّ اِلَيۡهتُرۡجَعُوۡن
Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan
Para mufassir seperti Ibnu Katsir, Sayyid Qutub, Buya Hamka, ‘Aidh al-Qarni, dan Quraish Shihab sependapat bahwa kematian menurut Al-Quran adalah sesuatu yang pasti. Akan tetapi, tidak ada yang manusia yang dapat mengetahui kapan kematian akan terjadi. Allah SWT dalam Al-Quran hanya menjelaskan tentang adanya perjanjian antara manusia dengan rabb-Nya serta proses penciptaan manusia, namun tidak menjelaskan kapan suatu makhluk akan mati.
Al-Quran juga menjelaskan tentang adanya sebab-sebab sesorang akan mengalami kematian, seperti terbunuh, sakit, dan kecelakaan. Kesemuanya menjadi cara seseorang menuju kematian. Kematian sendiri di ibaratkan layaknya jembatan antara kedua kehidupan yaitu kehidupan dunia yang fana dan kehidupan akhirat atau yang kekal. Oleh karenanya, kematian adalah perpindahan dari satu alam ke alam lain dan bukan kefanaan. Kematian hanyalah keluarnya ruh dari badan.
Ruh sendiri menurut mayoritas ulama adalah jasad halus yang terperangkap di dalam jasad kasar seperti halnya terperangkanya air di kayu hijau. Ini berarti bahwa sesuatu yang terperangkap bisa keluar dari perangkapnya. Kita mengalami saat terpisahnya ruh dari jasad sebanyak dua kali dan mengalami pertemuan ruh dengan jasad sebanyak dua kali pula.
Terpisahnya ruh dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada di alam ruh, ini adalah saat mati yang pertama. Seluruh ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka di alam ruh dan berfirman sebagaimana disebutkan dalam surat Al- A’raf ayat 172.
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”
Ibnu Katsir mentafsirkan ayat ini dengan memberi penjelasan bahwa Allah memberitahukan bahwa Dia mengeluarkan anak keturunan Adam dari sulbi mereka, dalam keadaan bersaksi terhadap dirinya sendiri, bahwa Allah adalah Rabb dan Penguasa mereka dan bahwasannya tidak ada Allah (yang berhak untuk diibadahi) melainkan hanya Dia, sebagaimana Allah SWT memfitrahkan mereka dan mentabi’atkan dalam keadaan seperti itu
Quraish Shihab berpendapat berbeda dalam mentafsirkan ayat di atas. Menurutnya, pada ayat tersebut seakan ada yang bertanya: “Mengapa Engkau lakukan demikian wahai Tuhan?” Allah menjawab: “Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat nanti kamu wahai yang mengingkari keesaan-Ku tidak mengatakan: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini yakni keesaan Tuhan, karena tidak adanya bukti-bukti keesaan Allah”
Atau agar kamu tidak mengatakan – seandainya tidak ada rasul yang Kami utus atau tidak ada bukti-bukti itu – bahwa Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sebelum ini, yakni sejak dahulu, sedang kami tidak mempunyai pembimbing selain mereka, sehingga kami mengikuti mereka saja karena kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka, apakah wajar wahai Tuhan, Engkau akan menyiksa dan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang tua kami yang sesat.
Quraish Shihab Juga menjelaskan dalam tafsir al-Misbah bahwa masa depan seseorang yakni besok, dan masa depan seseorang yang terjauh tidak akan ada yang mengetahuinya secara rinci, apalagi hal-hal yang berada di luar diri kamu. Ini menandakan bahwa memang tidak ada yang dapat mengetahui kapan kematian itu akan terjadi mengingat kematian bukanlah sesuatu yang ada pada diri seseorang, melainkan di luar dari dirinya.
Artinya, kematian adalah hak preogatif yang dimiliki oleh Allah SWT, sehingga hanya Allah yang tahu kapan hamba-Nya akan mati. Meski kematian adalah hak prerogatif Allah SWT dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat mengetahuinya, tetapi Allah memberikan sebab-sebab kematian. Ini menandakan ke-Maha Besaran Allah dengan memberikan sebab bagi manusia menuju kematian agar manusia tidak menganggap Tuhannya “bertindak semena-mena” atas dirinya.