Hafal Al-Qur’an Tapi Tak Mengerti Hukum Agama

Banyak orang yang hafiz Al-Qur’an 30 juz, namun karena terlalu sibuk dengan hafal Al-Qur’annya, malah mengabaikan tentang belajar hukum-hukum agama. Kadang ada yang belajar tentang hukum-hukum Islam, tetapi tidak banyak hafalannya. Memang benar bahwa menghafalkan Al-Qur’an merupakan perbuatan yang sangat mulia. Akan tetapi harus diimbangi dengan memahami makna dan detail hukum Al-Qur’an.

Memang kondisi umat Islam di masa sekarang. Banyak yang hafal Al-Qur’an tetapi tidak tahu hukum agama. Dan sebaliknya, banyak ulama yang paham hukum agama, tetapi tidak sampai hafal Al-Qur’an.

Kalau bicara ideal sebenarnya harus dua-duanya. Tetapi kalau bicara mana yang lebih penting, tentu saja lebih penting tahu hukum-hukum agama, meski tidak hafal 30 juz Al-Qur’an.

baca : Bacaan Al-Qur’an Pada Shalat Tarawih

Ada banyak sekali dalil yang menunjukkan betapa pentingnya orang harus memahami hukum-hukum agama, bahkan dalam beberapa masalah tertentu, hukumnya sampai ke derajat fardhu ‘ain. Seperti masalah thaharah, shalat, puasa, zakat dan seterusnya. Seluruh umat islam wajib mengerti tata caranya, karena hal-hal mendasar itulah yang jadi dasar dari tegaknya agama.

Adapun hafal 30 juz itu tentu sangat utama dan besar sekali nilainya. Namun hukumnya tidak pernah sampai ke derajat fardhu ‘ain. Ada begitu banyak ulama yang tidak hafal secara keseluruhan 30 juz Al-Qur’an. Bahkan syarat menjadi mujtahid pun tidak harus hafal seluruhnya, tetapi setidaknya memahami ayat yang terkait dengan masalah hukum.

Seharusnya orang yang hafal Al-Qur’an itu adalah orang-orang yang mengerti dan paham dengan isinya. Di masa lalu para shahabat bukan hanya sekedar hafal Al-Qur’an, tetapi mereka adalah orang-orang yang benar-benar memahami makna dan detail hukum Al-Qur’an.

baca : Hanya Ada Bidadari di Surga, Masak Sih?

Yang menarik, sebagian dari shahabat mereka yang memang punya ilmu yang mendalam tentang isi dan kandungan Al-Qur’an justru digelari sebagai qari’ atau ahli Al-Qur’an. Padahal kalau hari ini mereka disebut dengan ahli fiqih. Namun di masa itu keahlian dalam Al-Qur’an pasti memahami kandungan hukum-hukum di dalamnya.

Sayangnya pada hari ini penyebutan itu sudah jauh berbeda. Qari’ itu bukan lagi orang yang ahli di bidang hukum agama, melainkan sekedar orang yang pandai melantunkan ayat Al-Qur’an dengan berbagai jenis nagham, irama dan gaya. Sedangkan isi dan kandungan hukumnya sama sekali tidak paham.

Padahal di masa para shahabat, jarang ada orang yang hafal Al-Qur’an tetapi tidak mengerti dan tidak paham apa isinya. Karena hafal dan paham di masa itu menjadi sepaket satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan.

baca : Al-Qur’an Tidak Pernah Melarang Pria Memakai Emas?

Tetapi di negeri kita masa kini, keadaanya memang terbalik. Banyak orang yang pandai melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara yang merdu, bahkan sampai diperlombakan di tingkat nasional hingga international, tetapi aneh sekali karena mereka tidak paham apa yang mereka baca. Sebabnya karena mereka memang tidak bisa bahasa Arab. Dan tentunya juga tidak mengerti isi kandungan hukum ayat yang telah mereka lantunkan itu.

Banyak orang Arab yang datang ke Indonesia terheran-heran, kok bisa ya ada orang hafal Al-Qur’an tanpa pernah memahami apa yang dia baca sendiri? Negeri kita termasuk negeri yang subur melahirkan para penghafal Al-Qur’an. Jumlahnya bisa ribuan, mereka tersebar di berbagai pesantren dan pusat-pusat penghafalan Al-Qur’an. Tetapi jangan kaget kalau ternyata sedikit sekali yang mengerti makna ayat-ayat apa yang mereka hafal dengan fasih dan lancar itu. Kecuali tentu mereka yang sekalian juga belajar ilmu tafsir dan ilmu fiqih.

Di negeri kita tidak sedikit mereka yang pandai melantunkan ayat Al-Qur’an dalam berbagai qiraat, bukan cuma qiraat sab’ah tetapi bisa asyrah. Mereka punya sanad yang bersambung kepada guru-guru qiraat. Tetapi jangan heran kalau mereka tidak paham isi dan kandungan hukum ayat yang bisa mereka baca dengan berbagai ragam qiaraat itu.

baca : Matahari Mengelilingi Bumi Atau Bumi Mengelilingi Matahari?

Semua terjadi karena banyak sebab. Tetapi yang pasti, karena sistem kurikulum kita di masa sekarang agak lemah dari sisi integritas. Keterkaitan antara satu cabang ilmu dan cabang ilmu yang lain agak kurang erat terjalin. Mungkin ini salah satu dampak dari mulai terpisahnya ilmu ke dalam berbagai macam cabangnya. Sehingga banyak orang yang belajar Al-Qur’an dengan ilmu yang sepotong-sepotong.

Akhirnya ada begitu banyak santri yang belajar menghafal dengan tekun hingga hafal luar kepala 30 juz tetapi sama sekali tidak pernah belajar ilmu fiqih dan kandungan hukum syariah di dalam Al-Quran. Faktor utamanya jelas sekali, yaitu karena guru yang mengajarkan hafalan Al-Qur’an kepada mereka ternyata juga tidak punya kemampuan dalam ilmu hukum syariah yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

Maka yang ideal adalah bagaimana para santri mendapatkan semua cabang ilmu dan bukan hanya sepotong-sepotong. Kurikulum sebuah institusi pendidikan Islam seharusnya mampu memberikan semua cabang ilmu secara lengkap dan utuh. Dan ini salah satu tantangan terberat yang melanda umat Islam di berbagai negara.

baca : Bolehkah Masuk Toilet Dengan Membawa HP Yang Terinstal Aplikasi Al-Qur’an?

Kita punya banyak ulama yang ahli di berbagai macam bidang ilmu agama. Seharusnya mereka dikumpulkan dan diberikan porsi untuk mengajarkan ilmu mereka kepada para santri. Agar semua santri sempat merasakan manisnya semua cabang ilmu keislaman.

Yang ideal bahwa mereka yang mendalami ilmu fiqih, harus juga belajar ilmu hadits, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu yang lain. Sebagaimana mereka yang mendalami ilmu hadits, tentu wajib juga belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, qawaid fiqhiyah dan seterusnya.

Bagikan artikel ini ke :