Dahulu ulama-ulama fiqih menempatkan niat sebagai syarat dan juga rukun ibadah yang masuk dalam teknis. Bukan hanya sekedar motivasi yang mendatangkan pahala, akan tetapi niat itu juga bergantung keabsahan ibadah kepadanya.
Al-Fairuzabadi, dalam kamusnya, al-Qamus al-Muhith menjelaskan makna niat secara bahasa. Bahwa niat itu adalah keazaman untuk melakukan sesuatu. Yakni keinginan kuat untuk melakukan sesuatu. Niat juga diartikan secara bahasa sebagai tujuan yang dituju untuk melakukan sesuatu. Lebih jauh lagi, al-Kafawi dari kalangan al-hanafiyah, dalam kitabnya al-Kuliyyat (902) mendefinisikan niat secara bahasa sebagai
انبعاث الْقلب نَحْو مَا يرَاهُ مُوَافقا لغَرَض من جلب نفع وَدفع ضرّ حَالا ومآلا.
Kecenderungan hati kepada sesuatu yang dinilai cocok untuk tujuan dalam mendatangkan kemanfaatan dan menghindari keburukan dalam waktu dekat atau akan datang.
Sedangkan secara istilah, atau makna khusus yang dipakai oleh al-Taftazani dalam kitabnya Syarhu al-Talwih ala al-Taudhih ulama dalam bidang ilmu syariah, niat itu diartikan
قَصْدُ الطَّاعَةِ وَالتَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي إيجَادِ الْفِعْلِ
Menyengaja untuk taat dan taqarrub kepada Allah dengan melakukan perbuatan.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Amal manusia itu tergantung kepada niatnya, dan manusia akan mendapat apa yang ia niatkan.
Hadits diatas disepakati kesahihannya bahwa benar-benar bersambung kepada Nabi, dan dari hadits ini juga ulama menyimpulkan banyak hal. Ulama mengatakan dari hadits ini, Nabi memposisikan niat sebagai instrument penting dalam setiap amal orang muslim. Niat bukan hanya pelengkap lisan, atau juga dekorasi bibir, tapi punya posisinya yang sangat menentukan.
Secara otomatis orang berfikir bahwa untuk mendapatkan pahala, pekerjaan itu juga harus diniatkan sebagai ibadah, dan kalau mau dapat pahala duhur, maka berniat untuk sholat duhur, karena seseorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Dalam bahasa Fiqh, ulama menyebut dengan istilah dalalat-Tanbih atau dalalat-al-Iqtidha’. Secara sederhana maksud istilah itu bahwa otak akan berfikir kepada itu secara otomatis.
Nah, dari hadits ini juga kemudian ulama menjelaskan bahwa niat itu punya 2 fungsi (wadzifah), Pertama, Membedakan antara ibadah dan kebiasaan, Kedua, Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Ini yang dijelaskan secara rinci oleh imam al-Suyuthi dalam al-Asybah wa An-Nadzoir, pada bab Qaidah al-Umuru bi-Maqashidiha.
Kita punya kebiasaan yang teknisnya mirip sekali dengan ibadah yang memang sudah disyariatkan agama ini. Maka agar pekerjaan itu tidak dinilai sebagai kebiasaan semata yang tidak ada nilai pahalanya, niatkan itu sebagai ibadah. Contohnya; “Ngadem” di masjid, itu kebiasaan banyak orang, siapapun melakukannya, dari mulai mahasiswa yang mau ngaji, sampai supir ojol, juga jomblo yang tak henti memikirkan calon pujahaan hati. Tapi “ngadem” di masjid tidak berarti apa-apa kalau tidak diniatkan diawal untuk beri’tikaf di masjid.
Begitu juga, mandi pagi di hari Jumat. Itu kebiasaan semua orang. Tapi kalau tidak diniatkan sebagai ibadah sunnah mandi Jum’at, ya bersihnya dapat, bau badan hilang, juga dapat kesegaran, tapi sayang pahala tak mampu diraih karena niat yang terlewati. Atau juga sikat gigi setelah bangun tidur. Itu kebiasaan, tapi di lain sisi itu juga kesunahan yang dianjurkan oleh Nabi, mengerjakannya bisa dapat pahala, jika sejak awal diniatkan untuk beribadah mengikuti sunnah Nabi.
Dalam hal penyembelihan misalnya. Ternyata menyembelih hewan bukan hanya dilakukan untuk idul Adha, orang yang ingin menyantap hidangan sate kambing pun mengerjakan hal yang sama seperti orang yang ingin berkurban di hari 10 Dzulhijjah. Karenanya, agar pekerjaannya menyebelih hewan kambing itu dinilai sebagai ibadah yang mana pahalanya adalah pahala terbaik karena dikerjakan di bulan dan hari terbaik, ia harus meniatkan pekerjaan menyembelih hewan itu dengan niat ibadah kurban. Untuk membuatnya berbeda dengan orang yang menyembelih hanya untuk sekedar makan. Yang mana itu sesuatu yang mubah.
Dalam hal puasa misalnya, menahan lapar, tidak makan dan tidak minum pun dilakukan oleh orang banyak yang tidak berpuasa. Misalnya mereka-mereka yang sedang dalam program diet. Sehingga ia tidak makan dalam jangka waktu beberapa jam. Itu sama seperti apa yang dilakukan oleh orang yang berpuasa, yakni tidak makan dan minum sampai hamper 12 jam dari subuh sampai maghrib.
Maka untuk bisa disebut menahan lapar dan dahaga sebagai ibadah puasa, ia harus meniatkan pekerjaannya tersebut sebagai ibadah puasa. Untuk menjadi pembeda, bahwa ia menahan lapar dan dahaga bukan karena program pengecilan badan melainkan ini merupakan ibadah kepada Allah yang bernilai pahala
Fungsi niat yang kedua adalah untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, yang punya teknis sama akan tetapi berbeda hukumnya. Misalnya seseorang masuk masjid di subuh hari, ia sholat 2 rakaat, kemudian sholat lagi 2 rakaat, dan selanjutnya 2 rakaat lagi. 2 rakaat pertama sebagai tahiyatul masjid, 2 rakaat kedua sebagai qabliyah subuh dan 2 rakaat terakhir sebagai sholat subuh. Semua sama, lalu apa yang membedakan dan akhirnya pahala masing-masing ibadah tercapai serta gugur kewajibannya? Niat yang menjadi pembeda.
Ini yang kemudian ulama menyepakati adanya “Ta’yin” (spesifik tertentu) dalam niat ibadah. Karena wajar sekali jika ada redaksi niat “ushalli fardha ….. dst”. Ini untuk memenuhi syarat Ta’yin tersebut. Ushalli (saya niat shalat) Fardha, disebutkan karena memang sholat ada yang fardh ada juga yang sunnah. Ushalli fardha Zuhri, jenis shalat disebutkan karena memang sholat fardhu itu ada 5 jenisnya, maka ditentukan fardhu yang mana? Setelahnya ada “arba’ah rokaatin”, untuk membedakan antara zuhur yang 2 rokaat, bagi musafir, dan yang sempurna bagi muslim
Setelah itu juga ditentukan, Imaman atau Ma’muman; syarat berjamaah itu si makmum harus berniat jadi makmum. Setelah Ada’an atau Qadha’an, apakah sholat itu di waktunya atau di luar waktunya? Harus juga ditentukan.
Contoh lain, misalnya dalam masalah bayar zakat atau sedekah dengan beras kepada fakir miskin. Ternya dalam syariah, ibadah memberikan makanan pokok dengan beras kepada fakir miskin itu banyak jenisnya. Bisa jadi itu zakat pertanian, bisa juga itu zakat fitrah, bisa jadi itu fidyah karena meninggalkan puasa, bisa juga itu kaffarat pelanggaran puasa.
Lalu ketika seorang muslim datang kepada fakir miskin membawa beras untuk diberikan. Yang mnejadi pertanyaan adalah ibadah apa yang dimaksud oleh pemberi? Tergantung niatnya. Dan agar tidak salah ibadahnya maka berikan ibadah itu “merek” sebagai pembeda dengan niat.
Jika memang niatnya adalah adalah sebagai zakat fitrah, jelaskan itu agar tidak tertukar dengann fidyah puasa. Begitu juga tidak tertukar dengan zakat pertanian. Karena itulah kemudian ulama memberikan syarat ta’yin (spesifik) dalam niat ibadah.
Dalam masalah puasa misalnya. Ternyata puasa yang kita terjakan itu punya kemiripan dengan ibadah yang sama akan tetapi beda hukumnya. Puasa itu bisa sunnah, seperti puasa senin kamis puasa ‘Arafah, Puasa daud, Puasa Asyura. Begitu juga yang wajib, setidaknya ada 4 jenis ibadah puasa yang hukumnya wajib, yakni puasa Ramadhan, Puasa Qadha Ramadhan, Puasa Nadzar, dan juga Puasa Kaffarat (denda).
Karena itulah, untuk memberikan merek yang khusus dan mendapatkan pahala yang cocok serta mengugurkan kewajiban, dalam puasa ini harus ada pembeda. Dan pembeda itu berada pada niat. Karena itulah muncul redaksi niat nawaitu shauma ghadin ….. ini berguna untuk memberikan ta’yin atau spesifikasi terhadap puasa yang kita kerjakan. Tentu gunanya agar pahal dapat dan gugur kewajiban. Tidak salah sasaran.
Ketika ia berniat puasa, puasa apa yang ia ingin kerjakan? Puasa sunnah atau wajib? Jika itu wajib, kewajiban mana yang akan ditunaikan? Kewajiban ramadhan, atau qadha ramadhan, atau malah kewajiban nadzar, atau bisa juga kewajiban puasa untuk bayar denda, kaffarat? Puasa mana yang ingin dikerjakan? Di sinilah kemudian niat itu bekerja. Karena itu jangan batalkan pekerjaan niat yang akhirnya membatalkan pekerjaan ibadah kita sendiri, karena niat itu juga bagian dari ibadah. Dan mensepsifikkan niat itu termasuk syarat sah-nya niat.
Kita tidak berbicara apakah harus dilafadzkan atau tidak? Aslinya niat itu di hati, tapi jika sulit hati meniatkan, maka bantu dengan mulut. Dan ulama 4 madzhab sunnj muktamad tidak ada yang menyalahkan pelafadzan niat, memakruhkan iya. Tapi tidak menyalahkan apalagi sampai membidahkan. Tapi tetap, niat itu di hati. Dan ulama mengajarkan kita tentang niat ibadah yang mana harus Ta’yin. Maka itu ulama mengajarkan ini.
Adanya ta’yin dalam niat ini gunanya agar malaikat tidak salah catat. Tentu bukan malaikat yang salah catat karena mereka tidak mungkin keliru dala melaksanakan tugasnya. Maksudnya adalah yang keliru kita semua. Maunya melakukan ibadah tertentu, tapi karena tidak diberikan merek ibadah itu, akhirnya malah tidak terhitung sebagai ibadah yang benar-benar dituju; karena ibadah itu tertukar dan bias dengan ibadah lain yang memang punya teknis sama.
Akhirnya yang mestinya kewajiban itu gugur, malah menjadi tanggungan dan hutang yang harus dibayar di waktu lain; karena sebab ketika mengerjakan ada syarat yang tidak terpenuhi, yakni niat yang ta’yin atau niat yang menspesifikkan.