Fatwa Imam Al-Kholili Tentang Ayat ke 32 Suroh Al-Fathir

Pada ayat ke-32 dari Suroh Al Fathir yang terletak pada juz 22 ini agaknya menjadi barometer dari kriteria para qori al Quran maupun penghafal Al Quran (al Hafidz / al Hamil). Akan tetapi dalam artikel ini, saya lebih memfokuskan pada karakter ahl Al Quran atau para pengahafalnya, sebab disini lebih berkaitan tanggung jawab secara personal maupun sosial, lebih tepatnya tanggung jawab dalam skala sosial keagamaan, yaitu dalam konteks penjagaan orisinilitas Kalamulloh dari tangan-tangan jahil yang dapat merusak kemurnian ajaran suci Ilahiyah yang termaktub didalamnya.

Dengan demikian, urgensi redaksi lafadznya dapat terjaga dan terdeteksi sepanjang masa jika terjadi distorsi pada lafadz-lafadznya sehingga sangat dikhawatirkan mempengaruhi makna jika saja Alloh SWT tidak “mengajak bekerja sama” dengan hamba-hamba yang telah dipilihnya.

Sebagaimana Hadist yang diriwayatkan Imam An-Nasai dalam kitabnya “Fadhoilul Qur’an”, Hal. 98 -99 ;

اخبرنا عبيد الله ابن سعيد عن عبد الرحمن قال : حدثني عبد الرحمن بن بديل ميسرة عن ابيه عن انس ابن مالك قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : ان لله اهلين من خلقه، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : اهل القرآن هم اهل الله وخاصته.

اسناده حسن فرجاله كلهم ثقات سوي عبد الرحمن بن بديل، قال عنه الحافظ لا بأس به انظر التقريب ١/٤٧٣ ووثقه الطيالسي وقد صحح هذا الحديث المنذري في الترغيب والترهيب انظر ٢/٣٥٤، والبوصيرى في مصباح الزجاجة بزوائد ابن ماجه ورقة ١٤. وقد اخرجه احمد في مسنده ٣/١٢٧ ،١٢٨، ٢٤٢ ، والحاكم في المستدرك ١/٥٥٦، وابن ماجه في سننه رقم ٢١٥، وابو داوود الطيالسي ذكره البوصيرى والدارمي في سننه رقم ٣٣٢٩، والبزار في مسنده ذكره القرطبي في تفسيره ١/١.

“Telah memberitahukan kepada kami ‘Ubaidulloh ibn Sa’id dari ‘Abdur Rohman, yang berkata: Abdur Rohman ibn Bidyl bercerita kepadaku dari ayahnya dari Anas ibn Malik, berkata Anas: Rosululloh SAW bersabda: “Sesungguhnya Alloh memiliki keluarga dari makhluk ciptaanNya “. Maka berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rosululloh ?, Rosululloh berkata; ” Ahlul Qur’an itulah keluarganya Alloh, dan orang-orang yang dikhususkanNya”.

Isnad Hadist ini hasan dan para rijalul hadistnya  semuanya terpercaya kecuali Abdur Rohman ibn Bidyl/ Budayl, Al Hafidz ibnu Hajar berkata tentangnya, “tidak ada masalah dengan Abdur Rahman ibn Bidyl” Lihat kitab At-Taqrib juz 1 / Hal. 473, dan Imam At-Thoyalisy menganggapnya sebagai rowi yang tsiqoh. Imam Al Hafidz Al-Mundziry mensohihkannya sebagaimana dalam kitabnya At-Targhib wat Tarhib, jilid 2, Hal. 354, serta Imam Al-Bushiry dalam kitabnya yang berjudul Mishbahuz Zujaajah bi Zawaaidi bni Majah, lembar ke 14. Imam Ahmad ibn Hanbal mengeluarkan riwayat hadist ini dalam Musnadnya, jilid 3, Hal. 127, 128, 242, dan Imam Al-Hakim dalam Mustadrok nya , jilid 1, Hal. 556. Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan nya pada No. 215, dan Imam Abu Dawud At-Thoyalisy sebagaimana yang dituturkan Imam Al-Bushiry dan Imam Ad-Darimi dalam Sunan Ad-Darimi, No. 3329, dan Imam Al-Bazzar didalam Musnad nya sebagaimana yang telah dituturkan Imam Al-Qurthuby didalam Tafsirnya jilid 1, Hal. 1.

Kata “Ahlul Quran” sangat bersifat spesifik yang terkait dengan spesialisasi dari keahlian tentang ke-Qur’an-an, bisa seorang hafidz ataupun pengkaji ayat-ayat Al Quran. Berkaitan dengan hal ini, Alloh memberi sebuah mandat berupa kepercayaan kepada sebagian dari hamba-hambaNya untuk ikut berinteraksi dalam penjagaan KalamNya, sebagimana Alloh tegaskan dalam sebuah ayat;

اِنَّا نَحْنُ  نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوْنَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”. [QS. Al-Hijr: Ayat 9]

Kata “Kami” (Nahnu: Arab) dalam pengertian ayat diatas, seakan Alloh SWT mengajak hamba-hambaNya untuk ikut andil dalam penjagaan ini, bukan berarti Alloh tidak mampu menjaga sendiri kitab suci-Nya, akan tetapi disinilah suatu pengajaran dari sebuah ketawaddhuan yang hendak Alloh ajarkan pada hambaNya, atau katakanlah Alloh telah menawarkan sebuah “proyek Ilahiyah” pada hamba-Nya untuk bekerja sama dalam penjagaan terhadap kemurnian Al Quran yang telah diwahyukan pada sang Rosul terkasihNya, Muhammad SAW.

Dalam fasilitas kekhususan yang telah diberikan oleh Alloh kepada hamba terpilihnya sebagai “keluarga Alloh” ini, tidak semuanya bisa masuk pada kategori kelas VIP, artinya masih menyisakan kelas-kelas dibawahnya dengan predikat yang disematkan pada personal masing-masing dari hambaNya.

Dalam Al Quran, hal ini telah di isyaratkan dengan jelas oleh Alloh sebagaimana pada ayat berikut;

ثُمَّ اَوْرَثْنَا  الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۚ  فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚ   وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ   ۚ  وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ  ؕ  ذٰلِكَ  هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُ  ؕ 

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”. [QS. Fatir: Ayat 32]

Berkaitan dalam konteks ayat diatas, perlu adanya suatu pembahasan yang gamblang tentang kriteria “dzolimun linafsih, muqtashid dan sabiqun bil khoirot”. Dan dari beberapa referensi yang saya miliki, agaknya kitab fatwa al Kholily lah yang dapat saya jadikan rujukan dalam pembahasan ini. Kitab kumpulan fatwa Imam al Kholily ini disusun oleh beliau sendiri, al-Imam as Sayyid Muhammad Kholily yang wafat dipertengahan bulan Jumadits tsany, tahun 1147 H (beliau dimakamkan di dalam kompleks Masjidil Aqsho- Palestina, yang juga merupakan tempat kholwatnya).

Dalam kitab fatawa syikhul Islam wal muslimin al ‘Alim al ‘amil asy Syaikh Muhammad al Kholily asy Syafi’i ra, jilid 1, Hal. 7 , tertulis sebagaimana berikut;

(سئل) في قوله تعالى ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا فمنهم ظالم لنفسه ومنهم مقتصد ومنهم سابق بالخيرات ما معنى ذلك. ( أجاب ) المعنى أورثنا أعطينا لان الميراث اعطاء وقيل أورثنا أخرنا ومنه الميراث لانه تأخر عن الميت ومعناه أخرنا القرآن من الامم السالفة واعطيناكموه واهلناكم له الذين اصطفينا من عبادنا قال ابن عباس يريد امة محمد صلى الله عليه وسلم قسمهم ورتبهم واختلف المفسرون في معنى الظالم والمقتصد والسابق قال عقبة بن صهبان سألت عائشة رضي الله عنها عن قوله تعالى ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا، قالت يابنى كلهم فى الجنة اما السابق بالخيرات فمن مضى على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وشهد له رسول الله صلى الله عليه وسلم بالجنة واما المقتصد فمن اتبع اثره من اصحابه حتى لحق به واما الظالم فمثلى ومثلكم فحبطت نفسها معنا، وقال مجاهد والحسن وقتادة فمنهم ظالم لنفسه وهم اصحاب المشئمة ومنهم مقتصد هم اصحاب الميمنة ومنهم سابق بالخيرات باذن الله هم السابقون المقربون من الناس كلهم، وعن ابن عباس قال السابق المؤمن الخالص والمقتصد المرائى والظالم الكافر نعمة الله غير الجاحد لها لانه حكم الثالثة بدخول الجنة فقال جنات عدن يدخلونها وقال الحسن السابق من رجحت حسناته على سيئاته والمقتصد من استوت  حسناته وسيئاته والظالم من رجحت سيئاته على حسناته وقيل الظالم من كان ظاهره خيرا من باطنه والمقتصد الذى يستوى ظاهره وباطنه والسابق الذى باطنه خير من ظاهره وقيل الظالم من واحد الله تعالى بلسانه ولم يوافق فعله وقوله والمقتصد من واحد الله بلسانه واطاعه بجوارحه والسابق من واحد الله تعالى بلسانه واطاعه بجوارحه واخلص له عمله وقيل الظالم التالى للقرآن والمقتصد القارئ له العامل به والسابق القارئ له العامل بما فيه وقيل الظالم اصحاب الكبائر والمقتصد اصحاب الصغائر والسابق الذى لم يرتكب كبيرة ولا صغيرة  وقال سهل بن عبد الله السابق العالم والمقتصد المتعلم والظالم الجاهل انتهى بعونه والله تعالى اعلم. 

Imam Al Kholily as Syafi’i ditanya tentang firman Alloh Ta’ala “Tsumma aurotsnal kitaaballadziinas thofainaa min ‘ibaadinaa faminhum dzholimun linafsih wa minhum muqtashid wa minhum saabiqun bil khoirooti..” , apakah makna dari ayat tersebut.

Beliau menjawab: “Yang dimaksud dari pengertian “aurotsnaa” adalah a’thoinaa, karena harta warisan (pusaka) adalah suatu pemberian. Dan dikatakan “aurotsnaa” adalah ” akhkhornaa (kami meninggalkan) dan dari pada itu (disebut) harta warisan atau tinggalan, karena itu merupakan tinggalan dari orang yang meninggal/mayyit, dan maknanya adalah kami meninggalkan kitab suci Al Quran dari orang-orang terdahulu dan kami memberikannya tinggalan itu kepadamu sekalian dan keluargamu dari orang-orang yang kami pilih dari hamba-hamba Kami (Alloh). Telah berkata Ibnu ‘Abbas, “Dimaksudkan kepada ummat Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam tiap divisi serta level mereka.”

Para ahli tafsir telah berbeda pendapat tentang makna “adz dzholim wal muqtashid dan as saabiq”. Telah berkata Uqbah bin Shohban, “Aku bertanya pada ‘Aisyah ra pada firman Alloh Ta’ala, “Tsumma aurotsnal kitaab alladzhiinas thofainaa min ‘ibaadinaa, maka berkata ‘Aisyah ra ‘anha: “Wahai anakku, mereka semua di surga, adapun “as Saabiqu bil khoiroot” adalah mereka yang telah dulu hidup dimasa Rosululloh SAW dan  beliau Rosululloh SAW telah memberi kesaksian kepada mereka dengan surga (sebagai ahli surga), adapun “al Muqtashid” yaitu mereka yang mengikuti jejak beliau dari golongan sahabat-sahabatnya sampai mereka berjumpa dengan beliau, sedangkan “adz dzholimu” adalah seumpama aku dan kalian, maka ‘Aisyah menjadikan (baca: mengumpamakan) dirinya termasuk kriteria ini.

Telah berkata Mujahid dan al Hasan serta Qotadah bahwa makna “faminhum dzholimun linafsihi” adalah golongan kiri, sedangkan “wa minhum muqtashid” adalah golongan kanan, adapun “sabiqun bil khoiroti bi idznillah” adalah mereka-mereka yang telah lalu yang telah mendekat pada Tuhannya dari golongan manusia seluruhnya (al Muqorrobin).

Dan dari Ibnu ‘Abbas ra telah berkata, “As sabiq adalah orang mukmin yang murni keimanannya, dan muqtashid adalah orang yang munafiq atau penipu, dan adz dzholim adalah orang yang kufur terhadap nikmat Alloh tanpa tahu rasa terima kasih atas pemberian nikmat tersebut, karena itu telah menjadi ketetapan bagi ketiganya dengan sebab dimasukkannya kedalam surga, maka berkata Ibnu ‘Abbas , “Yaitu surga ‘Adn yang  akan mereka masuki”.

Berkata al Hasan, “as Sabiq adalah orang yang kebaikannya mendominasi daripada keburukannya, dan al Muqtashid adalah orang yang kebaikan dan kejelekannya sama berimbang, sedangkan adz dzholimu adalah orang yang kejelekannya mendominasi daripada kebaikannya.”

Dan dikatakan, bahwa adz dzholim adalah orang yang lahiriyahnya lebih baik daripada bathiniyahnya, dan al muqtashid adalah orang yang lahir dan bathin nya sama, sedangkan as sabiq adalah orang yang bathiniyahnya lebih baik daripada lahiriyahnya.

Dan dikatakan bahwa “adz dzholim” adalah orang yang meng Esa kan Alloh Ta’ala dengan lisannya akan tetapi tidak sesuai dengan perilakunya (tidak sama antara ucapan dan perbuatannya), dan “al muqtashid” adalah orang yang meng Esa kan Alloh Ta’ala melalui lisannya dan menjalankannya dengan anggota tubuhnya (ucapan dan perbuatan sama), dan “as sabiq” adalah orang yang meng Esa kan Alloh Ta’ala melalui lisannya dan menjalankan dengan segenap anggota badannya serta memurnikan ke ikhlasan didalam setiap perbuatannya.

Dan dikatakan, bahwa “adz dzholim” adalah orang yang sekedar membaca Al Qur’an, dan “al muqtashid” adalah orang yang membaca Al Qur’an yang selalu berinteraksi dengannya, dan “as sabiq” adalah orang yang membaca Al Qur’an lalu mengamalkan isi kandungannya.

Dikatakan bahwa “adz dzholim” adalah golongan orang-orang yang berlebihan, “al muqtashid” adalah golongan orang-orang yang kekurangan, dan “as sabiq” adalah orang yang tidak berada diantara keduanya.

Telah berkata Sahl bin ‘Abdulloh , “As sabiq adalah guru, al muqtashid adalah pelajar dan al jahil adalah orang yang bodoh.”

Beliau mengakhiri fatwanya dengan perkataan “Telah selesai dengan pertolongan dari Alloh Ta’ala”.

Mudah-mudahan sekelumit kajian ini bisa memberikan kita pencerahan dalam memahami ayat-ayatNya. Amiin Yaa Arhamar rohimiin

Bagikan artikel ini ke :