Etika Mengkhitbah dan Beberapa Hal yang Berkaitan dengan Pinangan

Islam memandang penting pernikahan sehingga dalam Al-Qur’an telah banyak dibahas. Islam memerintahkan setiap orang yang hendak menikah dapat memahami terlebih dahulu keadaan seseorang yang akan dinikahinya. Setidaknya memahami bahwa pasangan yang dipilih adalah seorang yang secara syara’ boleh dilamar dan keadaannya baik. Di sini kedudukan khiṭbah menjadi signifikan untuk keberlangsungan pernikahan seseorang.

Kegiatan khiṭbah belum diketahui sejak kapan dimulai. Namun, tradisi khiṭbah ini sudah berkembang lama, bahkan sebelum Al-Qur’an diturunkan. tentu di setiap tempat berbeda-beda cara dan ritualnya. Pada zaman jahiliyah begitu banyak jenis perkawinan, yang hampir keseluruhannya adalah tidak mempertimbangkan hak-hak perempuan.

Meskipun begitu, masih ada jenis perkawinan yang dilakukan dengan cara-cara yang baik. Yaitu apabila seorang lelaki menghendaki menikah dengan seorang perempuan, maka ia melamarnya terlebih dahulu kepada ahli keluarga (walinya). Kegiatan melamar inilah dalam Islam disebut khiṭbah.

Setelah Islam datang, Rasulullah SAW menghapus semua jenis pernikahan jahiliyah kecuali jenis pernikahan syar’i, sebagaimana pernikahan Rasulullah dengan sayyidah Khadijah. Khitbah sendiri berasal dari dalam bahasa Indonesia dikenal dengan beberapa istilah yaitu lamaran, tunangan, pinangan. Sedangkan dalam bahasa arab Khitbah خطبة (huruf kha’ dibaca kasrah) artinya lamaran. Sedangkan Menurut istilah khiṭbah adalah sebuah permintaan atau pernyataan dari laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya untuk tujuan menikah, baik dilakukan secara sendiri maupun dengan perantara pihak lain yang sesuai dengan ketentuan agama. Khitbah sendiri masih harus dijawab “ya” atau “tidak”. Bila telah dijawab “ya”, maka jadilah perempuan tersebut sebagai akhthubah (perempuan yang telah dilamar).

Saat zaman pra-Islam tidak semua jenis pernikahan diawali dengan khiṭbah. Pada zaman pra-Islam begitu banyak jenis perkawinan, yang hampir keseluruhannya tidak mempertimbangkan hak-hak perempuan. Ketika itu, perempuan dipandang sebagai perwujudan dosa, aib, kesialan, dan hal-hal lain yang memalukan, sehingga ketika seseorang berhasrat kepada seorang perempuan tidak perlu izin kepadanya atau datang ke rumah orang tuanya untuk meminta persetujuannya.

Para lelaki sesukanya memilih dan mendatangi perempuan yang sesuai keinginannya. Demikian juga dalam pernikahan janda yang karena suaminya meninggal dunia, ia bagaikan harta, diwarisi oleh anak lelakinya atau saudara lelakinya dengan hanya memberi kain di atas kepalanya sebagai tanda bahwa ia telah dipersunting.

Bahkan dalam perkawinan rahtun, para pria datang dengan beramai-ramai dan menggauli seorang wanita. Apabila ia hamil maka pada saat kelahiran bayinya, si ibu tinggal menunjuk ayah anak tersebut yang mempunyai kemiripan wajah. Karena diposisikan rendah dan inferior tersebut, kelahiran bayi perempuan dipandang menjadi beban berat bagi keluarganya. Selain karena faktor ekonomi dan ketakutan akan kemiskinan, para orang tua sangat khawatir terhadap bayi-bayi perempuan mereka yang apabila membesar membuat aib keluarga dan kehilangan kehormatannya.

Maka sebagian besar orang arab mengubur bayi-bayi perempuan mereka karena tidak mau menanggung malu di kemudian hari. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an dalam Surat An-Nahl ayat 58-59.

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلۡأُنثَىٰ ظَلَّ وَجۡهُهُۥ مُسۡوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَٰرَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ مِن سُوٓءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓ ۚ أَيُمۡسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمۡ يَدُسُّهُۥ فِى ٱلتُّرَابِ ۗ أَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ

apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

Dalam khiṭbah sendiri tidak diperintahkan memberikan hadiah maupun tukar menukar benda (emas) sebagaimana tunangan pada era kontemporer ini, karena lelaki dilarang memakai emas dalam ajaran Islam. Tetapi apabila keluarga laki-laki atau perempuan datang dengan membawa bingkisan sekedarnya untuk tujuan bersadaqah atau dalam rangka silaturrahim, hal itu tiada larangan.

Selanjutnya sekiranya wali tersebut memberi respon positif, maka bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan dengan waktu yang disepakati bersama. Pernikahan dimulai dengan ijab qabul dan pemberian mahar dari mempelai laki-laki ke pengantin perempuan. Jenis proses pernikahan inilah yang telah dipraktekkan oleh Sayyidah Khadijah ketika melamar Rasulullah. Dasar hukum khiṭbah terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 235.

وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِىٓ أَنفُسِكُمۡ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ سَتَذۡكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُواْ قَوۡلًا مَّعۡرُوفًا ۚ وَلَا تَعۡزِمُواْ عُقۡدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتّٰى يَبۡلُغَ ٱلۡكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُ ۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan ketika akan mengkhitbah seorang wanita untuk calon pendamping hidup. Sebelum jatuh memilih, hendaknya calon memperhatikan beberapa kriteria yang tepat. Diantaranya adalah keshalehan pasangan.

Hal ini berdasarkan hadits bahwa Nabi bersabda: “Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”. Hal kedua suubur dan penyayang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Ketika pilihlah perempuan perawan. Nabi bersabda: “Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu” HR. Al-Bukhari dan Muslim.

Photo by Jacek Dylag on Unsplash

Dalam fiqh ada etika yang harus dlikakukan dalam mengajukan khiṭbah diantaranya lamaran kepada gadis atau kepada janda yang sudah habis masa ‘iddah-nya boleh dinyatakan secara terang-terangan. Selain itu amaran kepada wanita yang masih dalam masa ‘iddah (talak bain atau pasca kematian suaminya) tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dinyatakan secara sindiran saja. Dilarang melamar perempuan dalam masa ‘iddah talak raj’;i (pendapat Jumhur ulama). Dan juga dilarang meminang perempuan yang sedang dipinang orang lain. Selain itu dilarang melamar perempuan dalam kategori taḥrȋm muaqqat.

Demikianlah uraian singkat mengenai adab bagi seseorang yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nah, lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin menikah namun belum dimampukan oleh Allah?

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِ

Allah SWT berfirman (yang artinya),”Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (Q.S. An Nur: 33).

Allah memerintahkan orang yang belum mampu menikah untuk bersabar sampai ia mampu kelak. Apabila dorongan untuk menikah sudah bergejolak, mereka diperintahkan untuk semakin menjaga diri agar gejolak tersebut tidak membawa mereka untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.

Rasulullah SAW juga menyarankan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk bermaksiat, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Selama masih belum mampu untuk menikah, hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap menjerumuskannya. Kemudian, senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk segera menikah.

Bagikan artikel ini ke :