Al-Qur’an merupakan buku yang pertama kali ditulis dalam sejarah berdirinya Islam. Pembukuan Al-Qur’an ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan salah satu nama Al-Qur’an, yaitu Al-Kitab. Ketika Al-Qur’an belum diturunkan, Al-Qur’an itu tidak berwujud buku, melainkan hanya berupa suara Malaikat Jibril yang menirukan kalamullah (firman Allah SWT).
Jangan pernah membayangkan bahwa Malaikat Jibril turun ke bumi dengan membawa sebuah buku bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang berupa tulisan arab, yang berisi 6.236 ayat, 30 juz dan 114 surat. Apalagi turun dengan terjemahannya berbahasa Indonesia yang sudah direvisi. Tidak, itu sama sekali tidak mungkin.
Malaikat Jibril tidak membawa apa-apa di tangannya. Dia hanya membacakan Al-Qur’an melalui suaranya. Lalu didengarkan oleh Nabi Muhammad SAW, masuk ke hati sanubari Beliau dan tersimpan abadi. Begitu Jibril berlalu, Rasulullah SAW memanggil para penulis wahyu, seperti Zaid bin Tsabit, atau ketika di Madinah tambah lagi dengan Ubay bin Ka’ab, untuk segera menuliskan ayat terbaru di atas kulit, pelepah kurma, batu, tulang atau media lainnya.
Meskipun penulisannya tetap di bawah pengawasan Nabi SAW, namun mushaf Al-Qur’an pada generasi pertama itu 100% hasil tulisan tangan manusia, bukan tulisan yang turun dari langit. Namun para ulama Qura’ (ulama Al-Qur’an) sepakat bahwa tulisan tangan para shahabat itu bernilai tauqifi dan masuk dalam kategori sunnah Nabi. Meski bukan perkataan atau perbuatan Nabi secara langsung, namun penulisannya di bawah pengawasan Beliau langsung. Posisinya semacam taqrir.
Baca : Pembuatan Mushaf Al-Qur’an Seperti Menyusun Puzzel
Buktinya, selesai menuliskan suatu ayat, Nabi SAW memerintahkan Zaid untuk membaca ulang apa yang barusan dituliskannya. Kalau masih ada yang kurang tepat, Nabi masih upayakan koreksian. Ini merupakan sejarah pertama kali penulisan Al-Qur’an. Ditulis tangan-tangan manusia, turunnya tidak berupa tulisan dari atas langit. Walaupun ketika masih di langit, Al-Qur’an sudah bernama Al-Kitab, yang maknanya bukan buku.
Tulisan tangan para shabat dalam aksara Arab di masa itu belum seperti yang kita kenal saat ini. Aksara Arab saat itu belum mengenal titik dan harakat. Jadi buat kita yang hidup di masa kini, pasti akan kesulitan membedakan mana hurid ba’ (ب), ta’ (ت), tsa’ (ث) dan ya’ (ي), mana huruf ‘ain (ع) dan ghain (غ), mana huruf tha’ (ط) dan zha’ (ظ), mana huruf fa’ (ف) dan qaf (ق), mana huruf sin (س) dan syin (ش), mana huruf shad (ص) mana dha’ (ض). Namun bagi mereka para sahabat sama sekali tidak jadi masalah atas penulisan tersebut. Dan mereka tidak pernah keliru dalam membacanya.
baca juga sambungan tulisan ini pada “Pembukuan Al-Qur’an Tidak Pernah Dilakukan Dimasa Nabi”