Buang Saja Madzhab, Cukup Al-Qur’an dan Hadits?

Mengapa kita harus bermadzhab, bukankah sudah cukup kita berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi? Bukankah madzhab itu hanya pendapat dan perkataan manusia yang bisa benar dan bisa salah. Kenapa harus dipegang dan dirujuk?

Madzhab adalah penjelasan yang asli, otentik, baku dan ilmiyah tentang kandungan hukum Allah yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ternyata Al-Qur’an dan Hadits yang kita dapat dari Rasulullah SAW itu masih harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum kita laksanakan. 

Kenapa harus ada penjelasan? Bukankah Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri sudah merupakan penjelasan? Pertanyaan agak lugu nan polos ini mungkin sering kita dengar dari mulut saudara kita yang sedang belajar ilmu agama. Tidak apa-apa, namanya saja masih belajar. Wajarlah kalau pertanyaannya agak polos.

Jawabannya adalah bahwa orang-orang terbaik dari generasi terbaik saja masih bermadzhab dan tidak sok tahu menafsir-nafsirkan ayat-ayat Allah SWT dengan akal pikiran dan nalar mereka sendiri. Mereka masih tetap bertanya tentang Al-Qur’an, Hadits dan hukum-hukum syariah kepada Rasulullah SAW. Mereke orang sekelas shahabat itu masih harus bertanya tentang Al-Qur’an, padahal mereka mengalami turunnya Al-Qur’an. Dan bahkan Al-Qur’an turun dalam bahasa mereka, yaitu bahasa Arab?

baca : Tanpa Wudhu Haram Menyentuh Mushaf Al-Qurโ€™an

Memang benar ayat-ayat Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab yang khas di masa Nabi SAW. Namun yang harus diketahui dengan kualitas level bahasa yang teramat tinggi sastranya. Sehingga terkadang tidak semua shahabat mampu memahami kata per kata, kalimat per kalimat serta redaksi-redaksi di ayat Al-Qur’an itu sendiri.

Seringkali mereka harus bertanya lagi kepada Rasulullah SAW tentang apa maksud suatu ayat. Jadi Al-Qur’an itu tidak otomatis jelas dan mudah dipahami, bahkan oleh merekea yang selevel para shahabat sekalipun. Tetap saja mereka masih harus mendapatkan penjelasan dulu dari Rasulullah SAW.

Bayangkan kalau sekelas shahabat saja masih harus bertanya tentang isi Al-Qur’an dan kandungan hukumnya, bagaimana mungkin orang di masa kini 15 abad setelah turunnya Al-Qur’an, tidak paham bahasa Arab, tidak tahu asal muasal turunnya ayat, tidak tahu jeluntrungannya, tiba-tiba mereka berhak untuk menafsirkan sendiri. Lalu bikin fatwa aneh-aneh sambil melarang orang bertanya kepada sumber rujukan aslinya, yaitu para shahabat. Sungguh aneh dan tidak masuk akal.

Syariat Islam di dalam Al-Qur’an tidak turun sekaligus, tetapi berproses. Berproses disini bukan sekedar ayat turun satu persatu, tetapi lebih dari itu, kadang ada proses perubahan hukum seiring dengan semakin banyaknya turun ayat.

Hukum yang sudah ditetapkan pada satu ayat bisa saja diangulir dan diubah menjadi hukum yang lain oleh ayat yang turun kemudian. Keharaman yang dibawa oleh suatu ayat bisa diubah menjadi kehalalan oleh turunnya ayat berikutnya. Sebaliknya, kehalalan yang didasarkan pada satu ayat, kemudian diharamkan oleh ayat yang turun kemudian.

baca : Hafalan Al-Qurโ€™an Dijadikan Mahar Nikah

Banyak sekali orang awam di masa kini yang sama sekali tidak tahu adanya ayat yang dinasakh atau dibatalkan hukumnya. Dengan segala keluguannya mereka mengira semua ayat itu berlaku hukumnya sama rata. Mereka tentu harus bertanya dulu kepada sumber rujukan utama yaitu para shahabat. Tidak boleh asal main keluarkan fatwa dan hukum seenaknya.

Satu hal lagi yang harus dicatat juga bahwa tidak semua shahabat itu ahli dalam hukum agama, meskipun mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in (ุฅุนู„ุงู… ุงู„ู…ูˆู‚ุนูŠู†) memperkirakan hanya sekitar 130-an orang saja dari para shahabat yang punya kapasitas dalam mengistimbath hukum. Padahal kita tahu bahwa jumlah shahabat itu mencapai angka 124 ribu orang. Dibandingkan yang ahli dalam istimbath hukum, ternyata jauh lebih banyak mereka yang bukan ahlinya.

Oleh karena itu tidak bisa kita pungkiri bahwa sesungguhnya para shahabat itu meski bisa bahasa Arab, mengalami proses turunnya Al-Qur’an, bahkan menjadi tokoh langsung di dalam ayat yang diturunkan, namun tetap saja para sahabat harus bertanya kepada Rasulullah SAW atau kepada shahabat senior yang sudah berlevel ahli istimbath hukum. Maksudnya tetap harus bertanya kepada ahlinya tentang isi kandungan hukum di dalam Al-Qur’an. Dan proses bertanya itu yang kita sebut bermadzhab.

Mereka yang hidup bersama Rasulullah SAW saja masih harus bermadzhab, bagaimana mungkin orang di zaman sekarang merasa sudah pintar dan mereka berhak menafsir-nafsirkan ayat Al-Qur’an seenaknya. Apakah mereka merasa lebih pintar dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat?

baca : Al-Qurโ€™an Terjamin Keasliannya

Menarik untuk dicermati, para sebagian shahabat yang memang telah mendapatkan pendidikan khusus untuk menjadi ahli istimbath hukum ini kemudian mendapatkan legalitas dari Rasulullah SAW. Tentu tidak semua mereka mendapatkannya, melainkan hanya yang sudah mencapai derajat ilmunya. Rasulullah SAW bersabda :

ููŽุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ุจูุณูู†ูŽู‘ุชููŠ ูˆูŽุณูู†ูŽู‘ุฉู ุงู„ุฎูู„ูŽููŽุงุกู ุงู„ู…ูŽู‡ู’ุฏููŠูู‘ูŠู†ูŽ ุงู„ุฑูŽุงุดูุฏููŠู†ูŽ ุชูŽู…ูŽุณูŽู‘ูƒููˆุง ุจูู‡ูŽุง ูˆูŽุนูŽุถูู‘ูˆุง ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ูŽุง ุจูุงู„ู†ูŽู‘ูˆูŽุงุฌูุฐู

Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad)

Dengan hadits ini maka para shahabat ahli istimbath hukum itu telah menjadi juru fatwa resmi yang telah menandatangani ‘kontrak’ sebagai wakil Allah di muka bumi. Jabatannya tentu bukan sebagai pembawa wahyu tetapi sebagai juru tafsir resmi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Siapa saja yang mencoba menafsir-nafsirkan ayat Al-Qur’an ataupun sunnah Rasulullah SAW semata-mata hanya lewat akalnya sendiri, maka sudah dipastikan sesat, keliru dan tidak bisa diterima. Anehnya di zaman sekarang bisa-bisanya ada orang yang tidak mengerti Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi malah  mengaku-ngaku sebagai ahli fatwa, lalu bikin fatwa seenaknya. Lucunya sampai bilang begini :

Tinggalkan semua perkataan manusia dan cukup Al-Qur’an dan As-Sunnah saja yang kita pegang. Tidak usah merujuk kepada shahabat, tabi’in atau fuqaha, karena mereka manusia dan sangat mungkin mengalami kesalahan“.

baca : Akhlaq Imam An-Nawawi Terhadap Pencuri

Ungkapan ini kelihatannya benar, tetapi sekaligus juga banyak pesan menyesatkan tersirat di dalamnya. Dengan mencoret peran para shahabat, tabi’in dan para fuqaha, otomatis kita menutup penjelasan, ilmu dan pesan-pesan penting dari Rasulullah SAW yang dititipkan kepada mereka. Dan itu berarti sama saja kita mendustakan kenabian Muhammad SAW.

Bila kita perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, lalu kita tafsiri sendiri semua isi kandungannya, seenak kita dan sesuai dengan selera kita sendiri, maka sesungguhnya kita telah menciptakan agama baru. Agama itu sama sekali bukan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tetapi kita cuma mendompleng saja, sementara isi dan ajarannya 100% buatan akal kita sendiri. Dan yang sangat menarik adalah meski sudah sah menjadi juru tafsir resmi Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh Rasulullah SAW, namun para shahabat ahli istimbath hukum tetap diberi ‘kebebasan’ untuk saling berbeda pendapat.

Dan sudah pasti bahwa perbedaan pendapat di tengah para shahabat tentu tidak datang dari hawa nafsu pribadi, atau kepentingan kelompok tertentu, atau motivasi uang, jabatan, kekayaan, popularitas dan hal-hal rendah lainnya. Tentu saja mereka suci dari semua tuduhan itu. Sebab Allah SWT menjamin bahwa mereka itu mendapat ridha dari Allah SWT dan dalam hadits yang shahih mereka 100% dipastikan masuk surga.

ุนูŽุดู’ุฑูŽุฉูŒ ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉ : ุฃูŽุจููˆ ุจูŽูƒู’ุฑ ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุนูู…ูŽุฑ ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุนูุซู’ู…ูŽุงู† ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุนูŽู„ููŠูŒู‘ ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุทูŽู„ู’ุญูŽุฉ ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูŽูˆุงู„ุฒูู‘ุจูŽูŠู’ุฑ ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุนูŽุจู’ุฏู ุงู„ุฑูŽู‘ุญู’ู…ูŽู† ุจู†ู ุนูŽูˆู’ูู ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุณูŽุนููŠุฏู ุจู’ู†ู ู…ูŽุงู„ููƒู ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู ูˆูŽุฃูŽุจููˆ ุนูุจูŽูŠู’ุฏูŽุฉ ุจู’ู†ู ุงู„ุฌูŽุฑูŽู‘ุงุญู ููŠู ุงู„ุฌูŽู†ูŽู‘ุฉู – ูˆูŽุณูŽูƒูŽุชูŽ ุนูŽู†ู ุงู„ุนูŽุงุดูู€ุฑู ุŒ ู‚ูŽุงู„ููˆุง : ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ู‡ููˆูŽ ุงู„ุนูŽุงุดูุฑ ุŸ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ : ” ุณูŽุนููŠุฏู ุจู’ู†ู ุฒูŽูŠู’ุฏู ” โ€“ ูŠุนู†ูŠ ู†ูุณู‡

Dari Said bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda,โ€Ada sepuluh orang di dalam surga : Abu Bakar di dalam surga, Umar di dalam surga, Utsman di dalam surga, Ali di dalam surga, Thalhah di dalam surga, Az-Zubair di dalam surga, Abdurrahman bin Auf di dalam surga, Said bin Malik di dalam surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah di dalam surga, kemudian Said terdiam. Orang-orang bertanya,โ€Siapa yang kesepuluh?โ€. Said menjawab,โ€Said bin Zaidโ€- yaitu dirinya sendiri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

baca : Kisah Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Tukang Roti

Ketika para shahabat yang sudah menjadi derajat ahli istimbath hukum ini punya pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya, maka para shahabat yang lain boleh memilih pendapat yang mana saja dari mereka. Rasulullah SAW telah bersabda :

ุฅูู†ูŽู‘ ุฃูŽุตู’ุญูŽุงุจููŠ ุจูู…ูŽู†ู’ุฒูู„ูŽุฉู ุงู„ู†ูู‘ุฌููˆู…ู ูููŠ ุงู„ุณูŽู‘ู…ูŽุงุกู ููŽุฃูŽูŠูู‘ู…ูŽุง ุฃูŽุฎูŽุฐู’ุชูู…ู’ ุจูู‡ู ุงู‡ู’ุชูŽุฏูŽูŠู’ุชูู…ู’ ูˆูŽุงุฎู’ุชูู„ุงูŽูู ุฃูŽุตู’ุญูŽุงุจููŠ ู„ูŽูƒูู…ู’ ุฑูŽุญู’ู…ูŽุฉูŒ

Para shahabatku bagaikan gemintang di langit. Pendapat siapapun yang kamu ambil tetap dapat petunjuk. Perbedaan pendapat mereka jadi rahmat bagi kamu. (HR. Al-Baihaqi)

Dalam kenyataannya ada madzhab Abu Bakar, madzhab Umar, madzhab Ustman, madzhab Ali, madzhab Ibnu Abbas, madzhab Ibnu Umar, madzhab Ibnu Mas’ud, madzhab Aisyah, madzhab Ummu Salamah dan lainnya. Mereka bisa saja berbeda pendapatnya, namun semuanya berada di dalam wilayah kebenaran dan petunjuk dari Rasulullah SAW.

Maka kepada pendapat, fatwa serta madzhab para shahabat itulah kita wajib berpegang-teguh. Sebab pada hakikatnya kita sedang kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan cara yang benar. Bukan dengan penafsiran hawa nafsu atau selera masing-masing.

Seratusan tahun sepeninggal para shahabat, Umar bin Abdul Aziz menyatakan sangat bahagia ketika mengetahui dahulu para shahabat ternyata berbeda pendapat. Saya kurang suka kalau para shahabat tidak berbeda pendapat. Bila hanya satu pendapat, pastilah orang merasakan kesempitan.

Sampai disini mungkin ada yang menyatakan keheranan, yang ditanya apakah kita harus bermadzhab, maksudnya adalah empat madzhab yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Kenapa penjelasannya malah menerangkan madzhab-madzhab para shahabat?

baca : Kisah Ketawadhuโ€™an Imam asy-Syafiโ€™i Terhadap Muridnya

Lalu apa hubungannya antara madzhab-madzhab para shahabat itu dengan empat madzhab yang kita kenal saat ini? Bukankah kalau begitu yang harus kita ikuti adalah madzhab-madzhab para shahabat dan bukan madzhab empat yang bukan dari kalangan shahabat?

Jawabannya sederhana saja, yaitu benar bahwa kita memang harus ikut kepada madzhab para shahabat. Asalkan kita hidup di masa para shahabat. Sayangnya kita hidup di 15 abad kemudian, dimana sudah tidak ada lagi para shahabat hidup di tengah-tengah kita.

Kita butuh sumber informasi yang valid dan benar-benar bisa dipercaya untuk bisa kontak dengan fatwa-fatwa para shahabat. Masalahnya, dimana kita bisa menemukan sumber-sumber fatwa para shahabat yang valid dan terjamin kemurniannya? Jawabannya ada para murid-murid dari para shahabat itu. Ya, murid-murid para shahabat adalah generasi yang paling amanah dan berkualitas dalam menjaga amanah fatwa dan ilmu dari para shahabat.

Kalau mau tahu fatwa para shahabat, maka rujukannya ada di tangan murid-murid mereka, yaitu generasi tabi’in. Mereka tersebar di tujuh penjuru peradaban Islam, karena para shahabat yang menjadi guru mereka memang tinggal berpencar-pencar, baik di Madinah, Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan Yaman.

Yang kita sepakati tentang istilah madzhab adalah kumpulan hasil ijtihad dari para shahabat, tabi’in, atba’uttabi’in, dan generasi salafus-shalih, dimana kapasitas mereka adalah ahli dalam menghistimbath ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

baca : Al-Qurโ€™an Memerintahkan Bunuh Semua Orang Kafir?

Tidak usah ditanyakan lagi apakah mereka mengerti hadits atau tidak, justru mereka adalah peletak dasar ilmu naqdul hadits (kritik hadits), yang hasilnya adalah metodologi baku dalam menshahihkan atau mendhaifkan suatu hadits. Di dalam kepala para ahli istimbath hukum itu, minimal ada lebih dari setengah juga hadits yang dihafal matan dan sanadnya.

Para hali istimbath hukum ini punya ratusan murid, dimana muridnya itu sudah menjadi guru dari ribuan murid lagi, dan murid dan murid itu sudah menjadi guru dari ratusan ribu murid. Dan murid dari murid dari murid dari murid itu sudah jadi guru dari jutaan murid lagi, yang mana semuanya juga sudah jadi guru besar dalam ilmu istimbath hukum.

Kapasitas ke-guru-an mereka itu bukan hanya gelar yang diberikan seenaknya, tetapi dibuktikan dengan jutaan jilid karya ilmiyah fatwa ilmu fiqih dalam segala aspek kehidupan. Karya-karya itu adalah bukti otentik ketinggian ilmu mereka, yang masih bisa kita baca hari ini.

Bagikan artikel ini ke :