Bolehkan Saat ini Orang Berijtihad Menetapkan Status Hadits?

Kegiatan penelitian otentisitas hadits telah banyak dilakukan oleh para ulama, baik ulama mutaqaddimun maupun muta’akhirun. Ditinjau dari segi masanya, pada umumnya Ulama terbagi menjadi dua. Mutaqaddimun merujuk kepada periode awal, dikhususkan kepada mereka yang mencari, menulis, menghimpun, dan membukukan hadits. Mereka hidup di abad I, II, III seperti Malik bin Anas, as-Syaf’i, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, dan penulis kutub as-sitttah.

Sedangkan kategori kedua, muta’akhirun dikhususkan bagi Ulama’ yang mengoleksi, mengutip, dan melengkapi hadits dari kitab-kitab Ulama mutaqaddimun. Mereka hidup di abad IV dan setelahnya, seperti al-Hakim, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain. Kita temukan para ulama berbeda dalam menilai derajat suatu hadits. Hal itu menegaskan bahwa penilaian terhadap derajat suatu hadits adalah produk Ijtihady yang mempunyai dua kemungkinan, benar atau salah.

Diskursus seputar otentisitas hadits memang selalu menarik untuk dibahas, khususnya Hadits yang diriwayatkan secara Ahad atau belum sampai derajat mutawatir Hal itu dapat dipahami, secara normatif-teologis kaum Muslimin memandang hadits sebagai hujjah agama yang penting disamping Al-Qur’an. Tapi disisi lain, perjalanan sejarah telah menjadikan sebagian hadits nyaris kehilangan orisinalitasnya.

Interval waktu yang cukup panjang antara masa Nabi Muhammad SAW dengan para penghimpun Hadits, terjadinya periwayatan Hadits secara makna, pergolakan politik, perbedaan madzhab serta adanya ulah beberapa orang awam Muslim atau musuh Islam merupakan suatu persoalan yang menambah rumitnya pembuktian otentisitas Hadits.

Satu contoh Ahmad bin Shidiq al-Ghumari menjelaskan dalam kitab al-Mushim fi Bayan Hal Hadits Thalab al-Ilmi,: Hadits “Thalab al-ilmi faridhatun ala kulli muslim”. Hadits ini dinilai dhaif oleh para hafidz seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Daud, al-Bazzar, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abd al-Barr, Ibn as-Shalah, an-Nawawi, dan ad-Dzahabi. Dinilai Hasan oleh Ibn al-Qattan, as-Sakhawi, dan as-Suyuthi, tetapi dishahihkan oleh al-Hafidz al-Iraqi.

Ini menunjukkan bahwa perkembangan hadits dan ilmu Hadits sangat dinamis, di mana para ulama mempunyai sensitivitas dan respon yang tinggi terhadap hasil suatu penelitian

Siapakah Mujtahid Itu?

Suatu ketika, ada pertanyaan yang diajukan oleh teman tentang suatu hukum. Kemudian dijawab, bahwa menurut Madzhab Hanafi hukumnya seperti ini, Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah seperti ini. Diterangkan komplit dengan dalil dan sebab perbedaannya. Di akhir penjelasan, dia bertanya; “Trus, kalo menurut Nabi Muhammad bagaimana?” Wah, mati kutu yang jawab. Seolah pendapat para ulama yang diebutkan tadi bukan benar-benar dari Nabi Muhammad SAW

Hal yang sama pernah ada teman lain bertanya kepada penulis; “Kok yang ada itu kitab Shahih Bukhari, kitab Shahih Muslim. Kenapa tidak ada kitab Shahih Nabi ya?”

Imam Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud (w. 275 H), at-Tirmidzi (w. 279 H), an-Nasa’i (w. 302 H), Ibnu Majah (w. 273 H), ad-Darimi (w. 280 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan lainnya adalah para Mujtahid yang mencoba mengumpulkan hadits Nabi dan menelitinya. Mereka menuliskan kitab Hadits dalam format yang berbeda, ada yang berbentuk Musnad, Mushannaf, Jami’, Sunan, Mu’jam, Mustakhraj, Mustadrak dan lainnya

Maka kitab Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab shahih lainnya itulah “Kitab Shahih Nabi”. Dalam kasus, siapakah yang lebih berhak menilai keshahihan suatu hadits? Tentu ini kembali kepada syarat-syarat hadits shahih itu sendiri. Maksudnya, orang yang bisa mengetahui dengan mendalam terhadap ketersambungan sanad, mengerti al-Jarh dan at-Ta’dil, ‘adalah dan hafalan masing-masing rawi, mengetahui secara mendalam dan luas ilmu dirayah dan riwayah hadits, sehingga tahu ada ‘illat dalam sebuah hadits, dan syadznya sebuah riwayat, maka boleh bagi dia menghukumi suatu hadits.

Bolehkan Saat ini Orang Berijtihad Menetapkan Status Hadits?

Secara logis, orang yang hidupnya lebih dekat dengan masa Nabi, tentu lebih banyak tahu tentang keadaan rawi. Menurut Imam Mahmud at-Thahhan dalam kitab Taysir Mushthalah al-Hadits, menjelaskan sebuah sanad yang ‘ali atau yang tinggi tentu lebih didahulukan daripada sanad yang nazil atau yang rendah. Ulama sepakat bahwa Muhaddits yang tergolong Mutaqadimun, mereka boleh berijtihad dalam menetapkan status suatu hadits. Bagaimanakah dengan ulama saat ini?

Pada umumnya, ijtihad dalam menetapkan status suatu hadits masih terus terbuka. Ibnu as-Shalah (w.643 H) memang terkenal sebagai ulama yang menutup pintu ijtihad dalam menilai derajat suatu hadits. Tetapi sebenarnya bukanlah menutup pintu ijtihad itu, tetapi lebih kepada mengajak untuk berhati-hati dan teliti dalam menerima penshahihan dan pendhaifan suatu hadits pada zaman itu.

tafsir al misbah

Disebutkan dalam kitab Muqaddimahnya Ma’rifat ‘Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih terkenal dengan Muqaddimah Ibnu Shalah

إذا وجدنا فيما من يروى من أجزاء الحديث وغيرها حديثا صحيح الإسناد ولم نجده في أحد (الصحيحين) ولا منصوصا على صحة في شيئ من مصفنات أئمة الحديث المعتمدة المشهورة، فإنا لانتجاسر على جزم الحكم بصحته

Jika kita temukan suatu riwayat yang shahih sanadnya, tetapi kita tidak temukan dalam shahihain, tidak pula dishahihkan dalam kitab-kitab para Imam Hadits yang muktamad, maka kita tidak mudah dalam menetapkan keshahihannya.

Hal ini memang beralasan. Karena shahih secara sanad saja belum tentu shahih suatu hadits. Ibnu as-Shalah dalam penshahihan suatu hadits, lebih memilih mengambil hasil ijtihad Muhaddits yang sudah muktamad dan masyhur kredibiliasnya. Meskipun Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam kitabnya at-Taqrib wa at-Taisir punya pandangan lain, bahwa boleh saja setelah zaman Ibnu as-Shalah, orang berijtihad menetapkan keshahihan suatu hadits, asalkan mempunyai kemampuan akan hal itu dan bisa

Bagikan artikel ini ke :