Setiap musim Maulid datang, kita selalu dibayangi kebingungan. Pasalnya, karena seringkali mendengar keterangan bahwa Maulid itu bid’ah, haram dan bentuk perbuatan yang mungkar. Katanya kita diharamkan mengadakan Maulid Nabi SAW, bahkan makan dari makanan yang dihidangkan pun haram juga. Termasuk menghadiri undangan Maulid pun dibilang haram. Padahal kita lihat banyak sekali umat Islam yang merayakan Maulid ini. Termasuk dihadiri oleh para ulama yang mengerti ilmu agama dan syariah.
Mencoba cari di google tentang jawabannya, mana yang benar di antara keduanya, tetapi malah tambah bingung. Mengingat ada sebagian tulisan menyatakan Maulid itu bid’ah, sesat, haram, dan dosa besar. Tetapi ada juga tulisan hasil pencarian yang menyatakan bahwa Maulid itu boleh, tidak bid’ah dan tidak haram. Nah, maka bingunglah kita. Niat mau belajar agama, tetapi kok pendapat-pendapatnya bisa berbeda-beda. Ini bagaimana solusinya?.
Ribut-ribut halal haramnya perayaan Maulid Nabi SAW adalah perkara yang sudah amat klasik sekali, dimana dua kubu yang berbeda sejak tujuh turunan atau zaman kuda gigit lontong sudah berseteru tanpa ada ujung pangkalnya. Yang satu membid’ahkan yang lain, kemudian yang dituduh bid’ah balas menohok dengan beragam dalil lainnya.
Kalau kita googling di internet, pasti ada begitu banyak orang yang menulis tentang hukum Maulidan ini. Sebagian besarnya memang sepertinya anti Maulid. Tapi tidak sedikit juga tulisan dan ulasan yang pro kepada Maulid. Tentu jumlahnya tidak bisa dijadikan alat ukur kebenaran, sebab ini bukan pentas panggung demokrasi.
Lagian kalau mau ‘membanjiri’ mesin pencari Google, mudah saja. Ada 1001 macam trik yang bisa dilakukan, agar sebuah opini bisa dapat hasil yang besar di Google. Bahkan ada perusahaan tertentu yang punya jasa khusus mengakali Google ini, maksudnya bisa kalau ada yang mencari di Google, hasilnya sesuai dengan yang kita inginkan.
Apalagi bila kita punya ‘pasukan’ yang bisa dikendalikan, maka akan semakin mantap ‘serbuan’ ke Google. Katakanlah seorang ustadz punya 1000 orang murid, yang semuanya diwajibkan untuk menulis artikel yang sesuai dengan selera dirinya. Baik tulisan itu asli atau cuma copy paste belaka, semua bisa dilakukan.
Maka dengan teknik dan trik tertentu, 1000 orang itu kemudian ‘menyerbu’ internet, lewat sosial media, atau blog, website, facebook, twitter atau apapun. Sehngga pada akhirnya tentu banyak dari tulisan itu yang nyangkut di mesin pencari Google. Sehingga mesin pencari itu pun dibanjiri dengan berbagai info yang telah digalang opini sebelumnya.
Inilah yang sebenarnya sedang dan sudah terjadi selama ini. Dan perlahan tapi pasti, opini bisa terbentuk. Kalangan yang anti Maulid memang selangkah lebih maju dan lebih sadar bahwa opini mereka sangat mudah disebarkan lewat jejaring media sosial ini. Maka mereka sangat terampil dalam memanfaatkannya.
Sementara, kalangan yang pro Maulid sebenarnya penulis yakin tidak kalah banyak jumlahnya. Sayangnya, mereka merayakan Maulid secara tradisional saja, atau malah hanya sekedar ikut-ikutan. Bahkan kadang ketika dihadapkan secara face to face dengan lawan debat yang anti Maulid, biasanya selalu kalah argumentasi. Maklumlah, mereka umumya sekedar ikut ramai-ramainya, tetapi belum tentu menguasai dengan detail argumentasi yang dimiliki.
Tetapi memang ada sebagian kecil dari kalangan yang pro Maulid yang benar-benar cerdas dan mengerti duduk masalah. SIkap pro adanya Maulid Nabi SAW itu dibangun di atas hujjah yang sangat kokoh tidak terbantahkan. Bahkan bisa ‘menyerang’ balik lawan debatnya secara mematikan. Penlis banyak menemukan tokoh yang seperti ini, dan penulis pun kagum dengan argumentasi yang mereka bangun.
Tetapi sayangnya, jumlah mereka amat sedikit. Dan sayangnya lagi, mereka agak kurang inovatif dalam menyebarkan argumen. Gerakan ‘penyerbuan’ jejaring media sosial atau ‘mengepung’ Google nyaris tidak pernah dilakukan. Saya tidak tahu kenapa hal tersebut tidak dilakukan.
Bahkan dalam dunia penerbitan buku, kalangan anti Maulid memang benar-benar injak pedal gas dalam-dalam, sampai pol mentok. Sedangkan kalangan pro Maulid hanya mengandalkan acara-acara perayaan Maulid itu sendiri, sembari pentas pidato para kiyai yang menghabisi argumentasi kalangan anti Maulid. Entah bagaimana, mereka tidak menerbitkan buku, majalah atau lembaran yang bisa dibaca. Barangkali mereka sudah merasa menang kalau sudah bisa menggelar acara Maulid.
Sikap Kita Bagaimana?
Nah ini inti dari jawaban ini. Sikap kita harus bagaimana?
Pertama : Tidak Terjebak Perseteruan
Tentu tidak bijak kalau kita terjebak dalam perseteruan di antara dua belah pihak yang bertikai. Sikap ini bukan berarti kita tidak boleh pro kepada salah satu pihak. Tetapi maksud penulis adalah kita menghindari perseteruannya. Misalnya, anda pilih pendapat yang anti Maulid, sehingga antum tidak mau ikutan Maulidan. Okelah, itu hak anda 100% untuk memilih.
Nah, yang harus dihindari adalah ikutan-ikutan menyerang dan menjelekkan saudara kita yang pro Maulid, dan juga sebaliknya. Itu yang penulis maksud dengan menghindari perseteruan. Kalau sikap itu bisa anda lakukan, insya Allah kita akan menjadi orang yang lebih bijak. Sayangnya, justru sikap bijak inilah yang telah hilang dari kebanyakan kita. Kita lebih doyan menyerang dan menjelekkan sesama muslim, ketimbang bersaudara dan menjaga silaturrahim. Entah iblis mana yang merasuki kebanyakan jiwa kita, yang pasti, saya merasa muak kalau melihat pemandangan buruk seperti ini.
Kedua : Jaga Sopan Santun dan Etika Berhujjah
Kalau pun terpaksanya kita harus bersikap dan harus menjelaskan dasar argumen sikap kita terhadap masalah Maulid yang kontroversial ini, pesan penulis adalah mari kita jaga sopan santun dan etika dalam berhujjah. Hindari kata-kata kotor dan kurang simpatik dalam berargumen.
Awali setiap pendapat dengan ‘CMIIW’ (correct me if I’m Wrong) dan akhiri dengan kalimat tawadhdhu’ bahwa bisa saja saya salah dalam hal ini. Ini ciri khas para ulama salaf di masa lalu kalau berhujjah. Dan dari ciri inilah biasanya kita mengukur level keilmuan seorang ahli ilmu. Biasanya makin dalam ilmunya, makin santun bahasanya. Wah luar biasa sekali bukan?
Memang ada sih satu dua tokoh yang kalau berargumen itu kasar, sok paling benar sendiri, dan julukan-julukan yang dikeluarkannya agak menyakitkan hati orang. Saya sama sekali tidak pernah kagum dengan tokoh-tokoh semacam ini. Dan ternyata di tengah dunia ulama, tokoh macam ini biasanya ditinggalkan pendapatnya, atau setidaknya dikucilkan atau dijauhkan.
Kenapa?
Bukan kita mau menerima esensi argumentasinya, tetapi cukup dengan melihat gaya bahasa dan tutur katanya, kita tahu bahwa orang ini kurang bijaksana, kurang santun, dan tidak mencerminkan akhlaq Rasulullah SAW yang kita perjuangkan ini. Bagaimana mungkin Islam yang menjunjung tinggi akhlaq mulia, disampaikan dengan cara yang tidak mulia? Sungguh sebuah sikap yang kontradiktif dan tidak prouktif.
Kalau pun ada orang yang mau mendengar dan mengikuti cara dan sikap ini, biasanya hanya akan menghasilkan lapis generasi yang kasar dan sombong, serta selalu punya niat mencaci maki siapa pun. Sebuah kemenangan yang semu dan tanpa makna.
Ketiga : Prinsip Keseimbangan dan Perbandingan
Karena masalah ini menjadi pro dan kontra di tengah para ulama, maka tidak ada salahnya kita sebagai penuntut ilmu agama untuk bersikap seimbang dan adil. Prinsip yang kita kembangkan bukan prinsip memihak atau mendukung kesana atau kemari.
Buat kita yang belajar ilmu agama, kita perlu selalu bersikap profesional, dan menimbang berbagai hujjah serta argumentasi yang berkembang. Inilah jenis disiplin ilmu yang agak langka di zaman kita sekarang ini. Dan tidak semua ustadz mahir dalam urusan ini, yaitu ilmu fiqih perbandingan atau muqaranatul madzahib.
Indahnya ilmu ini adalah kita bisa tahu semua argumentasi pihak-pihak yang bertikai, tanpa harus terjebak dengan pertikaian itu sendiri secara subjektif. Kita benar-benar seperti orang dewasa yang ada di atas mereka, melihat anak-anak kecil di bawah sana meributkan hal-hal kecil, dimana kita hanya senyum-senyum saja melihat mereka ribut.
Semoga Allah SWT selalu menurunkan kedamaian di hati kita, para penuntut ilmu. Dan semoga hati yang damai ini akan memperberat timbangan amal kita di akhirat nanti.