Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa titik khilafiyyah dalam masalah tawassul terjadi jika yang dijadikan wasilah adalah kemulian dari suatu dzat, apakah manusia ataupun benda. Apakah dzat tersebut masih hidup ataupun sudah wafat, bahkan sekalipun dzat yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw ataupun orang-orang shalih dari kalangan shahabat dan para ulama. Di mana, dzat tersebut di dalam syariat memiliki kemulian yang tidak dipungkiri oleh setiap muslim.
Jika diperhatikan, tawassul jenis ini pada dasarnya merupakan salah satu ritual yang telah mentradisi di tengah masyarakat muslim. Bahkan tak jarang, tawassul ini selalu menjadi bacaan yang senantiasa dibaca sebelum dimulainya suatu kegiatan seperti dalam setiap doa berjama’ah, pengajian, taklim atau majlis ilmu. Di antara bacaan tawassul jenis ini, yang biasa dibaca adalah
ุงูููููููู ูู ุฅููููู ุฃูุชูููุณูููู ุฅููููููู ุจูููุจูููููู ู ูุญูู ููุฏู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู.
Ya Allah, aku bertawasul kepada-Mu melalui kemuliaan nabi-Mu, Nabi Muhammad SAW
ููุง ุฑูุจูู ุจูุงูู ูุตูุทูููู ุจููููุบู ู ูููุงุตูุฏูููุง ููุงุบูููุฑู ููููุง ู ูุง ู ูุถูู ููุง ููุงุณูุนู ุงูููุฑูู ู.
Tuhanku, berkat kemuliaan kekasih pilihan-Mu Rasulullah, sampaikanlah hajat kami. Ampunilah dosa kami yang telah lalu, wahai Tuhan Maha Pemurah.
ุชูููุณููููููุง ุจููุจููุณููู ู ุงููููู ููุจูุงูููููุงุฏูู ุฑูุณูููููู ุงูููู. ููููููููู ู ูุฌููุงูููุฏู ูููููู ุจูุงูููููู ุงููุจููุฏูุฑู ูููุงุงููููู
Kami berwasilah dengan berkah basmalah, dan dengan Nabi yang menunaikan lagi utusan Allah. Dan seluruh orang yang berjuang karena Allah, karena berkahnya ahli badar ya Allah.
Namun tawassul kepada Nabi, tidak secara mutlak diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama. Di mana para ulama sepakat bahwa akan dibolehkannya tawassul kepada Nabi dengan beberapa makna. Pertama, tawassul kepada Nabi dengan makna kecintaan kepadanya serta keimanan terhadap risalah Islam yang dibawanya. Kedua, tawassul kepada Nabi dengan makna memohon doa kepada Allah melalui doanya saat beliau masih hidup. Dan tawassul kepada Nabi dengan makna memohon syafa’atnya nanti di hari mahsyar setelah kebangkitan (ba’ts).
Sedangkan tawassul kepada Nabi dengan ungkapan seperti “bi haqq Muhammad” dan juga kepada selain Nabi yang mereka perselisihkan adalah jika tawassul atau bacaan tersebut mengandung makna menjadikan kemulian (haqq) Nabi dan selainnya sebagai wasilah doa kepada Allah.
Mayoritas ulama dari kalangan asy-Syafi’iyyah, al-Malikiyyah, al-Hanafiyyah, dan al-Hanabilah, serta selain para ulama empat mazhab seperti asy-Syawkani, mereka berpendapat bahwa bertawassul dengan kemulian Nabi dan orang-orang shalih saat mereka masih hidup ataupun telah meninggal merupakan ritual tawassul dalam doa yang dibolehkan.
Bahkan Imam Taqiyyuddun as-Subki menyatakan bahwa perkara ini telah disepakati para ulama, dan tidaklah menyelisihinya kecuali Ibnu Taimiyyah dan pihak yang sepaham dengannya. Imam as-Subki berkata sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Abdin al-Hanafi dalam Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar
ููุญุณู ุงูุชูุณู ูุงูุงุณุชุนุงูุฉ ูุงูุชุดูุน ุจุงููุจู ุฅูู ุฑุจู ููู ูููุฑ ุฐูู ุฃุญุฏ ู ู ุงูุณูู ููุง ู ู ุงูุฎูู ุญุชู ุฌุงุก ุงุจู ุชูู ูุฉ ูุฃููุฑ ุฐูู ูุนุฏู ุนู ุงูุตุฑุงุท ุงูู ุณุชููู ูุงุจุชุฏุน ู ุง ูู ูููู ุนุงูู ูุจูู ูุตุงุฑ ุจูู ุฃูู ุงูุฅุณูุงู ู ุซูู.
Dinilai baik bertawassul, meminta pertolongan (istiโanah), dan meminta syafaโat dengan Nabi kepada Allah. Dan tidaklah perkara ini diingkari oleh seorangpun dari kalangan salaf dan khalaf, hingga datanglah Ibnu Taimiyyah yang mengingkarinya dan menyimpang dari jalan yang lurus, serta membuat suatu bid’ah (larangan tawassul kepada Nabi), di mana tidak seorangpun ulama perna mengucapkan bid’ah tersebut sebelumnya. Hingga bid’ah tersebut diikuti oleh sebagian umat Islam.
Imam al-Alusi (w. 1317 H) dari kalangan al-Hanafiyyah, berkata dalam kitabnya, Jala’ al-Ainain
ุฃู ูุง ุฃุฑู ุจุงุณุงู ูู ุงูุชูุณู ุฅูู ุงููู ุชุนุงูู ุจุฌุงู ุงููุจู – ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู – ุนูุฏ ุงููู ุญูุงู ูู ูุชุงู … ุฃู ุงูุชูุณู ุจุฌุงู ุบูุฑ ุงููุจู – ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู – ูุง ุจุฃุณ ุจู ุงูุถุงูุ ูุฅู ูุงู ุงูู ุชูุณู ุจุฌุงูู ู ู ู ุนูู ุฃู ูู ุฌุงูุงู ุนูุฏ ุงููู ุชุนุงููุ ูุงูู ูุทูุน ุจุตูุงุญูุ ูููุง ูุชู
Aku memandang, tidak masalah bertawassul kepada Allah dengan kemulian Nabi, saat beliau masih hidup ataupun setelah wafat โฆ begitu pula tidak mengapa bertawassul dengan kemulian selain Nabi . Namun dengan syarat bahwa dzat yang dijadikan wasilah memang diketahui secara pasti kemulianya di sisi Allah
Imam al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) dari kalangan al-Malikiyyah, menulis dalam kitabnya asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa
ุนู ุงุจู ุญู ูุฏ ูุงู: ูุงุธุฑุง ุฃูุจูู ุฌูุนูููุฑู ุฃูู ููุฑู ุงููู ูุคูู ููููู ู ูุงููููุง ููู ู ูุณูุฌูุฏู ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู . ููุงู ูููู ู ูุงูููู: ููุง ุฃูู ููุฑู ุงููู ูุคูู ูููููู ููุง ุชูุฑูููุนู ุตูููุชููู ููู ููุฐูุง ุงูู ูุณูุฌูุฏู ููุฅูููู ุงูููููู ุชูุนูุงููู ุฃูุฏููุจู ููููู ูุง ููููุงูู (ูุง ุชูุฑูููุนููุง ุฃูุตูููุงุชูููู ู ูููููู ุตูููุชู ุงููุจู) ุงูุขููุฉูุ ููู ูุฏูุญู ููููู ูุง ููููุงูู (ุฅูููู ุงูููุฐูููู ููุบูุถููููู ุฃูุตูููุงุชูููู ู ุนูููุฏู ุฑุณูู ุงููู) ุงูุขููุฉูุ ููุฐูู ูู ููููู ูุง ููููุงูู (ุฅูููู ุงูููุฐูููู ููููุงุฏูููููู) ุงูุขููุฉู. ููุฅูููู ุญูุฑูู ูุชููู ู ููุชูุง ููุญูุฑูู ูุชููู ุญููููุง. ููุงุณูุชูููุงูู ููููุง ุฃูุจูู ุฌูุนูููุฑู ููููุงูู: ููุง ุฃูุจูุง ุนูุจูุฏู ุงูููููู ุฃูุณูุชูููุจููู ุงููููุจูููุฉู ููุฃูุฏูุนูู ุฃูู ู ุฃูุณูุชูููุจููู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู ูุ ููููุงูู: ูููู ุชูุตูุฑูู ููุฌููููู ุนููููู ูููููู ููุณููููุชููู ููููุณููููุฉู ุฃูุจูููู ุขุฏูู ู ุนูู ุงูุณููููุงู ู ุฅูููู ุงูููููู ุชูุนูุงููู ููููู ู ุงููููููุงู ูุฉูุ ุจููู ุงุณูุชูููุจููููู ูุงุณูุชูุดูููุนู ุจููู ููููุดููููุนูู ุงูููููู ููุงูู ุงูููููู ุชุนุงูู (ูููููู ุฃููููููู ู ุฅูุฐู ุธูู ูุง ุฃููุณูู ) ุงูุขููุฉู
Dari Ibnu Humaid, ia berkata: Suatu hari Amirul Mu’minin Abu Ja’far al-Manshur berdiskusi dengan imam Malik di Masjid Rasulillah. Lantas imam Malik berkata kepadanya: Wahai Amirul Mu’minin, janganlah engkau keraskan suaramu di masjid ini. Sebab Allah swt telah mendidik suatu kaum dengan firman-Nya, “Janganlah kalian mengeraskan suara melebihi suara sang Nabi.”
Di mana Dia memuji suatu kaum dengan firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suara mereka di hadapan Rasulullah.” Dan mencela kaum lainnya, dengan firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu” Hal ini karena kemulian Nabi setelah beliau wafat, sama nilainya dengan saat beliau masih hidup. Lantas tenanglah Abu Ja’far, lalu ia bertanya: Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), saat aku berdoa sebaiknya aku menghadap kiblat, atau menghadap Rasulullah?
Imam Malik menjawab: Mengapa engkau memalingkan wajahmu darinya, padahal Rasulullah adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu Ada as kepada Allah pada hari kiamat? Namun, hadapkanlah wajahmu kepadanya, dan mintalah syafaat kepadanya, maka ia akan menyampaikannya kepada Allah. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu.”
Imam al-Khurasyi (w. 1101 H) dari kalangan al-Malikiyyah, menulis dalam kitabnya Syarah Mukhtashar Khalil
ูุฃู ุง ุงูุชูุณู ุจุจุนุถ ู ุฎูููุงุชู ูุฌุงุฆุฒุ ูุฃู ุง ุงูุฅูุณุงู ุนูู ุงููู ุชุนุงูู ูู ุงูุฏุนุงุก ุจุจุนุถ ู ุฎูููุงุชู ููููู ุจุญู ู ุญู ุฏ ุงุบูุฑ ููุง ูุฎุงุต ุจู
Adapun bertawassul kepada sebagian makhluk maka boleh saja. Sedangkan bersumpah kepada Allah di dalam doa dengan sebagian makhluk seperti dengan berkata, “Demi hak Muhammad, ampunilah kami,” maka ini khusus baginya.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) dari kalangan asy-Syafi’iyyah, menulis dalam kitabnya al-Majmu’, tentang adab-adab saat berziarah ke kuburan Nabi Muhammad di Madinah, yang salah satu adab tersebut adalah bertawassul kepada Nab
ุซูู ูู ููุฑูุฌูุนู ุฅููู ู ููููููููู ุงููุฃูููููู ููุจูุงููุฉู ููุฌููู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู ู ููููุชูููุณูููู ุจููู ููู ุญูููู ููููุณููู ููููุณูุชูุดูููุนู ุจููู ุฅููู ุฑูุจูููู ุณูุจูุญูุงูููู ููุชูุนูุงููู ููู ููู ุฃูุญูุณููู ู ูุง ููููููู ู ูุง ุญูููุงูู ุงููู ูุงููุฑูุฏูููู ููุงููููุงุถูู ุฃูุจูู ุงูุทูููููุจู ููุณูุงุฆูุฑู ุฃูุตูุญูุงุจูููุง ุนููู ุงููุนูุชูุจูููู ู ูุณูุชูุญูุณูููููู ูููู ููุงูู (ููููุช ุฌูุงููุณูุง ุนูููุฏู ููุจูุฑู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู ู ููุฌูุงุกู ุฃูุนูุฑูุงุจูููู ููููุงูู ุงูุณููููุงู ู ุนูููููู ููุง ุฑูุณูููู ุงูููููู ุณูู ูุนูุช ุงูููููู ููููููู (ูููููู ุฃููููููู ู ุฅูุฐู ุธูููู ููุง ุฃูููููุณูููู ู ุฌูุงุกูููู ููุงุณูุชูุบูููุฑููุง ุงูููููู ููุงุณูุชูุบูููุฑู ููู ุงูุฑุณูู ููุฌุฏูุง ุงููู ุชูุงุจุง ุฑุญูู ุง) ููููุฏู ุฌูุฆูุชูู ู ูุณูุชูุบูููุฑูุง ู ููู ุฐูููุจูู ู ูุณูุชูุดูููุนูุง ุจูู ุฅููู ุฑูุจููู
Kemudian ia kembali ke posisi pertamanya, menghadapkan wajahnya kepada Rasulullah dan bertawassul dengan kemuliannya serta memohon syafa’atnya kepada Allah. Di mana di antara ungkapan yang paling baik, sebagaimana dihikayahkan oleh al-Mawardi, al-Qadhi Abu ath-Thayyib, dan dari para shahabat kami dari al-‘Utbi, di mana ia berkata: Aku duduk di samping kuburan Rasulullah. Lantas datanglah seorang Arab Badui dan berkata, “ASSALAMU ALAIKA YA RASULULLAH (keselamatan atasmu wahai Rasulullah).”
Aku mendengan Allah berfirman, “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Dan aku telah datang kepadamu untuk memohon ampunan dari dosaku melalui syafa’atmu kepada Tuhanku.”
Sebagaimana Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) dari kalangan al-Hanabilah, menulis pula hal yang sama dalam kitabnya al-Mughni
ุซู ุชุฃุชู ุงููุจุฑ ูุชููู ุธูุฑู ุงููุจูุฉุ ูุชุณุชูุจู ูุณุทู ูุชููู: ุงูููู ุฅูู ููุช ููููู ุงูุญู: {ููู ุฃููู ุฅุฐ ุธูู ูุง ุฃููุณูู ุฌุงุกูู ูุงุณุชุบูุฑูุง ุงููู ูุงุณุชุบูุฑ ููู ุงูุฑุณูู ููุฌุฏูุง ุงููู ุชูุงุจุง ุฑุญูู ุง} ููุฏ ุฃุชูุชู ู ุณุชุบูุฑุงู ู ู ุฐููุจูุ ู ุณุชุดูุนุงู ุจู ุฅูู ุฑุจู
Selanjutnya engkau mendatangi kuburan Rasulullah dengan memalingkan punggungmu dari kiblat, dan menghadap pada posisi tengah kuburan dan berkata: Ya Allah engkau berfirman, dan firman-Mu adalah kebenaran, “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Dan aku telah datang kepadamu untuk memohon ampunan dari dosaku melalui syafa’atmu kepada Tuhanku.”
Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) berkata dalam kumpulan fatwanya, al-Fath ar-Rabbani
ุฃู ุงูุชูุณู ุจู ูููู ูู ุญูุงุชู ูุจุนุฏ ู ูุชู ููู ุญุถุฑุชู ูู ุบูุจู
Bahwa tawassul kepadanya (Nabi Muhammad), bisa dilakukan saat beliau masih hidup atau telah wafat.