Tentang bagaimana teknis turunnya Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan setidaknya ada tiga cara sebagaimana yang tertuang dalam Surat As-Syura
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآئِ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولًا فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ عَلِىٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS. Asy-Syura :51)
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga cara turunnya wahyu kepada para Nabi, yaitu pertama lewat wahyu alias mimpi, kedua dari balik tabir dan ketiga lewat malaikat Jibril. Yang dimaksud dengan perantaraan wahyu dalam ayat di atas adalah melalui mimpi atau ilham (ru’ya shadiqah). Wahyu dengan cara ini disampaikan langsung kepada para nabi tanpa perantara Malaikat. Contohnya adalah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih puteranya Ismail.
قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ
Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. (QS. Ash-Shaffat : 112)
Wahyu dari balik tabir juga disampaikan secara langsung kepada para nabi tanpa perantara Malaikat. Nabi yang menerima wahyu dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS
وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمًا
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung (QS. An-Nisa’ 164)
Allah SWT pun telah berbicara langsung kepada Nabi Muhammad SAW pada malam Isra’ Mi’raj. Nabi dapat mendengar firman Allah langsung tanpa perantara Jibril tetapi tidak dapat melihat-Nya. Namun di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang diterima nabi dengan cara ini
Cara yang ketiga wahyu Allah diturunkan kepada para nabi-Nya adalah melalui perantaraan malaikat penyampai wahyu seperti Malaikat Jibril AS. Keseluruhan ayat-ayat dari Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan dengan cara ini. Ada dua cara Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pertama datang kepada Nabi SAW suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga Nabi dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Apabila wahyu turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini maka beliau akan mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: “Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (H. R. Bukhari)
Cara kedua malaikat menjelma menjadi seorang laki-laki lalu datang menyampaikan wahyu kepada Nabi. Cara ini lebih ringan dari cara yang pertama, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar, seperti seseorang yang berbicara dengan saudaranya sendiri. Menurut Ibn Khaldun, seperti dikutip Manna’ Qaththan, dalam keadaan yang pertama Rasulullah, melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang sifatnya rohani. Sedangkan dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat merubah diri dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani. Tentang dua cara Malaikat Jibril datang membawa wahyu kepada Nabi ini disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah RA.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin RA, bahwasanya al-Harits ibn Hisyam RA bertanya kepada Rasulullah SAW. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana datang wahyu kepada engkau”. Rasulullah SAW menjawab: “Kadang-kadang datang kepadaku bagaimana gemerincing lonceng dan itulah yang paling berat bagiku. Lalu ia pergi dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan kadang pula Malaikat menjelma di hadapanku sebagai seorang laki-laki lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun memahami apa yag dia katakan. Aisyah RA mengatakan: “Aku pernah melihat beliau tatkala wahyu sedang turun kepadanya, pada suatu hari yang amat dingin. Lalu Malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah SAW.” (H.R. Bukhari)
Satu hal penting yang perlu dicatat terkait dengan kajian turunnya Al-Qur’an serta masa penurunannya, bahwa semua itu ternyata ada pengaruhnya dalam proses penafsiran. Misalnya dalam kajian dengan ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, ternyata para ulama banyak sekali melihat masa turunnya suatu ayat dengan menghubungkannya pada tafsir dan hukum-hukum yang akan digali. Salah satunya dalam menentukan kemansukhan suatu ayat.
Dengan mengetahui tempat dan priode turunnya ayat-ayat AlQur’an, para mufasir dapat menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan tepat dan benar. Lebih-lebih lagi jika terdapat kesan pertentangan antara makna satu ayat dengan ayat yang lainnya, seorang mufasir dapat menjelaskannya jika mengetahui tempat dan waktu turunnya baik dengan pendekatan attadarruj fi at-tasyri’ (tahapan penetapan hukum) maupun dengan pendekatan nasikh dan mansukh.